"Jimin koma."
Mata Naya perih, sedangkan telinganya seakaan tuli untuk suara apapun kecuali suara Hoseok. Jimin koma.
"Hah, lo bilang apa tadi?"
Naya mendengar dengan sangat jelas, apa yang baru saja Hoseok sampaikan tadi.
Walaupun begitu, ia masih menanyakanya lagi. Naya hanya berharap bahwa dia salah denger.
"Jimin koma?" Naya tertawa getir "Jangan becanda, ga lucu."
"Gue serius. Jimin tuh selama ini sakit Nay."
"Sakit apa? kok gue ga tau." Tanya Naya panik, dan berusaha menahan tangisnya. Meskipun kakinya lemes, Naya tetep maksain nyari taxi.
"Gagal ginjal. Dia itu harusnya cuci darah tiap dua hari sekali, tapi akhir-akhir ini dia ga ngelakuin rutinitas itu."
"Kirimin alamat rumah sakitnya ya." Kata Naya berusaha kalem.
"Oke. Lo ke sininya ati-ati, Jimin bakalan baik-baik aja ko."
Jimin koma.
Gue serius.
Jimin tuh selama ini sakit Nay.
Kalimat-kalimat itu terasa memenuhi pikiran Naya, bahkan sampai ia udah duduk di dalem taxi.
Naya masih berharap kalo Hoseok itu bohong. Naya berharap kalau yang ada di rumah sakit itu bukan Jimin.
--
Jimin mengerjap-ngerjap, perlahan-lahan matanya mulai membuka.
Ia merubah posisinya menjadi duduk, kepalanya yang masih terasa sedikit pusing ia sandarkan di kepala ranjang.
Hal pertama yang ia cari adalah ketiga temanya.
Seingatnya sebelum ia ketiduran, ketiga curut itu berisik banget. Tingkat berisiknya ngalahin ibu-ibu yang lagi tawuran.
Hal kedua yang ia cari adalah ponselnya, ia meraih benda itu yang terletak di atas nakas.
"Anjir" ia mengusap wajahnya kasar, saat mendapati ponselnya penuh dengan pesan dan panggilan tak terjawab dari Naya.
"Ya allah apa yang harus Imin lakukan sekarang. Njir... ini mah kanjeng mamih ngamuk lagi."
Untuk saat ini aja, Jimin berharap dirinya tiba-tiba koma, kemudian bangun setelah beberapa hari. Ia yakin pasti sikap Naya akan kembali seperti biasanya.
Bruak.
Baru aja Jimin menurunkan kedua kakinya ke lantai, pintu kamar rawat Jimin di buka dengan tidak sabaran oleh Naya.
Satu detik
Dua detik
Tiga detik
Hening. Mereka saling melihat satu sama lain.
Jimin menelan ludahnya dengan susah payah, ia tidak bisa memprediksi hal apa yang selanjutnya akaan terjadi.
Entah Naya akaan marah-marah karena Jimin setelah membuat janji malah sakit, atau Naya akaan menjadi Naya yang baik hati.
Dan hal selanjutnya yang terjadi justru membuat Jimin mengangkat alisnya tinggi-tinggi, Naya nangis.
Jimin ga ngerti tu anak kenapa nangis seakan-akan Jimin udah ga ada di dunia ini, padahalkan Jimin cuman sakit tifus.
Jimin turun dari ranjangnya tak lupa menyeret tiang infusan menghampiri Naya yang masih berdiri di depan pintu.