"Mah, ke dokter aja mendingan."
Ajakan itu keluar dari mulut Naya, setelah beberapa menit ia memperhatikan mamahnya meringkuk di sofa, dengan kondisi hidung meler.Yeonhwa, demam.
"Heran. Lagi sakit juga, masih aja nonton drama india. Lagian, ini drama kapan tamatnya sih?"
Yeonhwa yang lagi membungkus dirinya dengan selimut, lantas menoleh ke arah Naya "Ish, mamah cuman demam doang Nay. Bukan lagi sekarat."
"Ya allah, ngomongnya."
"Ini mah cuman demam biasa. Lagian, mamah udah minum obat ntar juga sembuh. Don't worry. Santai aja, kaya di pantai. Jangan rusuh kaya di pasar."
"Bodo amat."
"Kualat lo, orang tua lagi ngomong di bodo-bodoin."
Naya merubah posisi duduknya, menghadap ke arah mamahnya "Soal beasiswa. Apa, ga usah Naya ambil aja ya, mah?"
"Kenapa? Kamu berangkat besok. Inget?"
Naya menghembuskan nafasnya pelan sebelum menjelaskan "Kitakan cuman tinggal berdua sekarang mah. Kalau Naya ke korea, nanti mamah sendiri dong? Kalau misalnya mamah sakit kaya gini, siapa yang bakal ngurusin?"
"Utututut... Cayang-cayang." Yeonhwa menarik anak semata wayangnya itu ke dalam pelukanya. Mengusap lembut puncak kepalanya "Jangan sia-siain apa yang udah kamu perjuangin. Dapetin beasiswa itu susah loh, apalagi ke luar negri."
"Di sana banyak oppa Nay. Yakin deh, kamu malah betah di sana. Bisa-bisa kamu malah ga mau pulang."
"Yeuh... Oppa mulu, mamah pikiranya."
"Udah, kamu ga usah mikirin apa-apa lagi. Kamu belajar aja yang bener di sana."
"Eh, Nay. Kok bau asem sih?" Yeonhwa, mengendus-ngendus karena mencium bau tidak enak.
"Hehehe... Naya belum mandi."
"Ewh... Jorok. Mandi sanah udah malem juga!" Yeonhwa mendorong pantat Naya dengan kakinya, agar ia bergegas mandi.
Mamah, macam apa Yeonhwa ini?
"Iya mah, iya."
Bukannya langsung mandi. Naya malah duduk di pinggir kasur.
Ia sudah memikirkanya berulang kali. Seharusnya, ia tidak ragu lagi.
Naya melihat koper besar miliknya di pojok kasur. Besok pagi, ia akaan berangkat ke korea.
Naya bersyukur karena nilai-nilai di rapotnya itu selalu naik, tidak ada yang turun. UN kemarin juga hasilnya memuaskan, ia berada di peringkat ke tiga dari seluruh siswa seangkatanya. Yang paling penting, ia mendapatkan beasiswa ke luar negri seperti apa yang ia inginkan.
Sedangkan Jimin, di akhir semester kemarin ia harus mati-matian ngejar guru mata pelajaran yang kosong, abis itu ngerjain tugas yang seabrek-abrek. Guru-guru itu, udah kelewat kesel sama Jimin. Jadi mau ngasih nilai aja, berat banget.
Bisa di pastikan, nilai rapot Jimin yang selalu terisi dari kelas sepuluh cuman pelajaran olahraga dan seni budaya.
Hal itu menguntungkan Naya, karena niatanya untuk menghindar dari Jimin sedikit terbantu.
Soal Naya berangkat besokpun, Jimin ga tau sama sekali.
Naya emang sengaja tidak ingin memberitahu Jimin. Ia ingin memberi tempe hehehe...
"Endingnya, gue sama Jimin emang ga bisa balik lagi kaya dulukan?"
Naya menyakinkan dirinya sendiri, bahwa pilihan yang ia ambil tidaklah salah. Meskipun dari kalimat yang ia ucapkan tadi masih ada keraguan.