Pertandingan final futsal putri di SMK Bina Bangsa berakhir ricuh.
Team dari kelas sebelas Marketing tidak terima kekalahan mereka, lalu menyalahkan wasit yang mereka tuduh berat sebelah. Sementara kelas sebelas Multimedia mengamuk tidak terima dituduh telah menyogok wasit sekolah. Padahal menurut mereka, team dari jurusan mereka lah yang terdzolimi oleh si wasit, walaupun team mereka yang akhirnya memenangkan pertandingan.
Oke jadi kita simpulkan kericuhan kali ini di sebabkan oleh si Wasit yang tidak konsisten ingin menyeberat sebelahi team dari jurusan yang mana.
Kericuhan baru mereda ketika beberapa guru BK turun ke lapangan. Bahkan Ibu kepala sekolah ikut datang di tengah kerumunan siswa dan siswi yang saling berteriak dan memaki. Guru-guru masuk ke tengan kerumunan itu dengan pengeras suara. Meneriaki sebagian murid yang masih saling menyalahkan.
Setelah di beri sedikit pencerahan oleh Guru BK barulah anak-anak itu bubar dengan keputusan yang tetap sama. Team jurusan Multimedia menang dan Team jurusan Marketing kalah dengan score 5-2.
Sementara Dinda yang dari jurusan Administrasi hanya diam di sisi lapangan bersama dengan murid lainnya yang juga bukan bagian dari kedua jurusan yang tengah ricuh itu.
Mau tak mau, senang tak senang. kerumunan ini akhirnya bubar dengan celotehan sebal dari team yang kalah dan celotehan senang dari team yang menang. Beberapa ada yang saling sindir, beberapa lagi mulai membicarakan pertandingan final untuk futsal putra esok hari, takut ricuh seperti ini lagi katanya. Dan hanya segelintir orang yang keluar dari area lapangan dengan anteung.
Dinda menatap sekeliling lapangan mencari satu gadis berseragam hijau cerah dengan nomor punggung angka sepuluh. Angka yang katanya keberuntungannya. Padahal, tanpa angka itu pun Dinda yakin team dari jurusannya akan menang. Toh ada dia, si bintang lapangan.
"Samantha!"
Gadis dengan ikat cepol dan bernomor punggung angka sepuluh itu tidak melihatnya sama sekali. Hanya mengangkat tangannya memberi tanda 'tunggu' sementara kepalanya masih berhadapan dan berbicara serius dengan seorang pria jangkung.
"Sasa ih!"
Sasa ini nama panggilan Samantha di rumah. Biasanya dia tidak begitu suka di panggil seperti itu, katanya seperti nama merk mecin. Dia lebih suka di panggil Sam.
Tapi, kali ini Dinda sangaja memanggilnya dengan nama itu. Siapa tahu gadis itu merasa kesal lalu menghampirinya untuk marah-marah. Itu lebih baik daripada Dinda di abaikan hanya karena laki-laki itu. Albiyyi Ramadhan.
Sementara Dinda berdiri di Tribun tengah, Samantha berada di seberang lapangan, berdiri berdua dengan Albi. Untuk menghampiri Samantha Dinda perlu melintasi lapangan yang masih dijejali murid-murid tidak sabaran. Padahal sudah masa bebas, tidak akan ada lagi jam pembelajaran. Matahari pun tidak bersinar terlalu terik, cuacanya sejuk malah terkesan mendung. Kantin pun masih lama tutup, tapi entah kenapa orang-orang ini begitu tidak sabaran untuk keluar dari area lapangan.
Dinda yang kecil itu harus terseret sana sini diantara manusia yang berjejal untuk bisa sampai di hadapan Samantha yang entah sedang membicarakan apa dengan Albi. Mereka terlihat serius dan mengabaikan orang-orang di sekitarnya, termasuk mengabaikan Dinda. Gadis itu mendecih sebal.
"Heh."
Itu sapaan pembuka dari Dinda untuk orang yang baru saja memenangkan pertandingan, diikuti lemparan handuk kecil yang berakhir tepat pada wajah Samantha.
"Apaan sih."
"Kamu yang apaan, dari tadi dipanggilin juga."
"Tunggu bentar kenapa sih."
"Tapi ini pentiiiiiiing."
Dinda bergelayut pada lengan Samantha, kemudian menggoyang-goyangkan lengan itu. Bibirnya mencuat, matanya mengerjap-ngerjap, Sebenarnya sekarang ini Dinda terlihat sangat lucu, tapi tetap saja menyebalkan dimata Samantha.
"Ehm, bentar dulu ya Din, kakak ada perlu soal pertandingan sama Samantha."
Dinda tersenyum canggung pada Albi, lalu melepaskan lengan Samantha yang tadi ia goyang-goyangkan. Sedikit malu rasanya bertingkah seperti tadi di hadapan kaka kelas.
"Yaudah deh, Aku tunggu di kelas."
Meskipun masih kesal pada akhirnya Dinda meninggalkan Samanta berdua dengan Albi. Kakinya berjalan sambil di hentak-hentakkan ketara sekali ingin mencari perhatian Samantha, meskipun gadis tinggi itu tetap saja fokus berdiskusi dengan kaka kelas kesayangannya.
Bukan hal aneh sebenarnya Samantha berdiskusi panjang dengan Albi, karena memang biasanya pun begitu. Tapi, sekarang pertandingan sudah selesai dan team Samantha menang, apalagi yang harus di bicarakan. Sudah jelas sekali jika itu akal-akal Albi agar bisa mengobrol dengan Samantha. Terus kenapa Samantha masih saja menanggapinya? Biasanya dia jarang merespon laki-laki kegantengan yang berusaha mendekatinya.
Tentu saja karena Albi istimewa di mata Samantha.
Setidaknya, itulah yang selama ini selalu di yakini Dinda. Kalau Samantha itu suka Kak Albi, dia bukan perempuan tidak normal yang menyukai sejenisnya. Menjadi semacam mantra agar Dinda tidak semakin kurang ajar soal perasaannya pada sahabatnya itu
"Heh pendek!"
Awalnya Dinda tidak merespon, karena meskipun banyak yang memanggilnya seperti itu, tapi yang pendek di sekolah ini bukan dia sendiri. Tapi panggilan itu semakin keras dan suara itu semakin mendekat. Kemudian tepukan di bahunya membuat dia menyadari jika panggilan itu memang untuknya.
"Apa sih?"
Dinda berbalik sambil melepas tangan orang itu yang masih ada di bahunya setelah tepukan tadi.
Akbar tidak pernah tahu kapan Dinda akan merasa sangat kesal. Seperti sekarang ini, dia pikir gadis itu akan tampak cerah dan ceria karena si pujaan hatinya itu berhasil membawa kemenangan untuk team futsal jurusannya. Tapi ternyata, wajahnya kusut kesal dan sepertinya tidak bisa di ajak bercanda.
Dan kesalahan besar Akbar adalah memanggilnya pendek.
"Bareng gak? Kasian lo luntang lantung-lantung sendirian kaya anak ilang, mana kecil lagi keseret-seret mulu."
"Lo bisa gak sih nawarin bantuan tanpa ngatain dulu?" Dinda menjawabnya datar.
"Gak bisa. Karna lo itu enak di katain."
"Tau ah, males."
Dinda beranjak mendahului Akbar biar saja badannya terseret-seret seperti yang Akbar katakan tadi. Gadis itu keburu kesal setengah mati.
Gak Samantha gak Akbar! Kenapa sih pada nyebelin! Gara-gara si Albi nih!
Dinda berjalan grasah-grusuh sambil bersungut dalam hati menyalahkan Albi yang sekarang masih asyik mengobrol dengan Samantha.
Sementara Akbar di belakangnya masih mengikuti Dinda. Sesekali menarik orang-orang yang ingin mendahului Dinda atau mendorong pelan orang yang hampir menubruk Dinda. Membiarkan Dinda menjadi penguasa jalan keluar dari lapangan yang masih padat penonton.
KAMU SEDANG MEMBACA
JUST FRIEND
Teen FictionTentang aku dan dia yang wanita. Tentang aku dan dia yang katanya sepasang sahabat. Tentang aku dan dia yang saling menepis perasaan. Ini semua tentang aku dan dia.