SEPULUH

5.3K 564 40
                                    


Pagi itu Samantha berkendara mobil. Motornya masih ada di garasi rumah Dinda, katanya malas di ambil. Dan karena akhir-akhir ini sudah sering hujan, jadi sebaiknya menggunakan mobil saja.

Tidak banyak berbicara Dinda langsung memasuki mobil dan seperti kemarin matanya kembali sembab.

Dinda memutuskan untuk melupakan kejadian kemarin lusa, dia juga berniat berhenti marah kepada Samantha. Walaupun perihal gadis itu pergi berduaan degan Albi masih terbayang-bayang di fikirannya. Tapi lebih baik diam saja, bersikap seperti tidak terjadi apa-apa.

Walaupun kenyataannya hati terus meminta-minta penjelasan, tentang apa yang terjadi hari itu, tentang tempat apa yang mereka kunjungi hari itu, tentang apa tujuan mereka pergi berdua hari itu.

Samantha sendiri sepertinya tidak berniat untuk menjelaskan sesuatu kepada Dinda. Lebih tepatnya, dia masih belum tahu apa alasan Dinda marah-marah selama seharian kemarin.

Tadi Samantha sempat bertanya kembali soal mata sembab itu. Dan alasannya pun masih sama seperti yang kemarin. Padahal si asal muasal mata bengkak Dinda dari kemarin adalah Samantha sendiri. Jika ada penghargaan untuk manusia paling tidak peka di dunia, otomatis di menangi Samantha.

Dinda tertawa miris, sejak tadi dia memaki-maki Samantha dalam hati. Rasanya ingin meluapkan semuanya di depan gadis jangkung itu. Tapi saat Samantha bertanya kenapa, dia hanya menjawab dengan gelengan kepala, padahal tenggorokannya sudah perih seperti berusaha mendorong setiap kalimat dari mulutnya.

Diamnya Dinda benar-benar membuat Samantha jadi tidak fokus menyetir karena sedikit-sedikit melirik gadis yang sekarang dengan tenang menatap jalanan yang basah karena hujan semalam. Samantha menyalakan musik instrument karena suasana mobil yang sepi dan canggung, melodinya yang mendayu-dayu membuat Dinda semakin ingin menangis.

"Kamu kenapa sih? Dari kemaren loh"

Dinda mengalihkan perhatiannya dari jendela mobil kepada Samantha di sampingnya.

"Gakpapa ko."

Samantha memijat keningnya, frustasi. Semalam pun Dinda tidak membalas chat darinya, telepon juga tidak di angkat. Awalnya Samantha tebak Dinda marah-marah karena dia membiarkannya pulang sendiri dengan sepeda motor. Tapi, sepertinya bukan. Ada masalah yang lebih serius dari sekedar ketitipan motor. Meskipun kelewat manja dan kekanakkan, Dinda tidak akan marah besar hanya karena masalah sepele seperti itu.

Sampai tiba di parkiran sekolah Dinda masih diam tidak bergeming. Mobil Samantha benar-benar sunyi dari percakapan. Hanya diam di selimuti musik, tapi rasanya hening dan menyebalkan membuat Dinda mendengus sebal.

"Kemarin lusa kamu kemana?"

Pada akhirnya pertanyaan itu terlontar, karena tidak tahan dan terus mengganjali hatinya. Padahal beberapa menit yang lalu Dinda memutuskan untuk melupakannya, namun keingin tahuannya jauh lebih besar. Rasanya tidak nyaman jika harus menyimpan tanya sendirian. Meskipun jawabannya nanti tidak sesuai harapan, biarlah. Dinda hanya penasaran setengah mati.

"Hah?"

"Kamu pergi kemana sama kak Albi?"

Kernyitan Samantha semakin tebal saja saat mendengar nama Albi di sebut.

"Ko jadi Kak Albi?"

"Ih, Samantha! Kemarin kamu sama kak Albi pergi ke mana pas titipin motor ke aku?!"

Dinda berteriak geram, kadang Samantha suka lamban memahami sesuatu seperti sekarang ini. Pantas saja sinyal-sinyal yang sengaja dia kirim selama ini seolah tidak nampak di mata Samantha. Dasar gak peka!

"Aku gak pergi sama kak Albi Dinda."

"Ya terus sama siapa?"

"Aku pergi sama Ghea buat nyari hiasan kelas. Anak-anak mau bikin kejutan buat ulang tahunnya ibu Ratih hari ini."

BAM

Samantha diam menunggu Dinda berbicara. Di sisi lain Dinda juga terdiam merutuki kebodohannya. Walaupun merasa bodoh tapi ada rasa lega terselip disana. Segala pertanyaan yang selama ini mengganggu pikirannya sudah mendapatkan jawaban. Jawaban yang sangat memuaskan, Dinda beri seratus untuk si penjawab.

"Lagian dapet gosip dari mana aku pergi sama Kak Albi?"

Dinda memutar otaknya, mengingat-ingat kenapa Dinda bisa beranggapan bahwa Samantha pergi dengan Albi. Dan memang semuanya hsnys berasal dari feeling tidak jelas Dinda.

Bego banget sih gue

"Dulu kan kamu pernah kaya gitu. Nitipin motor ke aku, tau-tau lagi jalan sama kak Albi."

"Itu kan dulu. Gak akan aku ngulangin. Kapok dimarahin kamu di parkiran sekolah."

Dinda tertawa mengingat kejadian itu. Apalagi mengingat wajah Samantha yang sudah semerah tomat menahan malu. Dulu dia bisa mengutarakan kemarahannya dengan bebas, karena alasannya yang logis. Dinda yang marah karena tidak lancar mengendarai motor, tapi Samantha malah meninggalkannya seorang diri dengan motornya.

Lalu sekarang? Dinda sudah mahir mengendarai motor. Apa yang membuatnya semarah itu jika bukan karena cemburunya. Dan Dinda tidak mungkin mengatakan itu pada Samantha langsung.

"Jadi dari kemarin kamu marah sama aku cuma gara-gara ini? Emang kenapa sih kalo aku jalan sama kak Albi?"

"Gak apa-apa sih. Terserah kamu mau jalan sama dia atau gak."

"Tuh kan tiap ngomongin kak Albi bawaannya sensi."

Dinda mendengus kesal. Jika sudah tahu Dinda tidak suka berbicara mengenai Albi, lalu kenapa Samantha terus saja membicarakan laki-laki itu.

"Cemburu ya?"

Matanya mendelik, kemudian melotot pada Samnatha. Dinda yang sedang salah tingkang memang seperti itu. Pura-pura marah, padahal.

"Siapa yang cemburu sih?!"

"Halah ngeles terus."

Samantha terkekeh melihat ekspresi kikuk Dinda. Telunjuknya jail mencolek hidung gadis itu, membuat si pemilik hidung menahan nafas selama beberapa detik. Wajah Dinda sudah merah tidak karuan.

Ghost, kemana Samantha yang kalem itu? Kenapa dia jadi kaya gini?

"Nanti aku salamin gimana?"

"Ha?"

"Salamin ke kak Albi. Kamu suka sama kak Albi kan? Tenang aja aku sama dia cuman temen."

Anjir Samantha.

"Bodo amat ah!"

Dinda keluar dari mobil dengan kesal. Wajahnya yang tadi memerah karena malu sekarang semakin memerah karena menahan kesal. Sudah pusing dia menghadapi Samantha yang tidak pernah mengerti sinyal-sinyal yang dia kirim itu.

Sementara di dalam sana Samantha tersenyum. Senyuman yang tidak dapat di artikan, hanya Samantha sendiri yang mengerti senyuman itu.

JUST FRIENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang