Samantha siap dengan seragam futsalnya. Rambutnya sudah di kuncir tinggi hasil ikatan Dinda sebelum latihan tadi. Dan sekarang, gadis itu setia menemaninya di pinggir lapangan dengan tangan menjinjing tas kecil berisi handuk dan botol air mineral. Dinda sendiri masih mengenakan seragam lengkapnya dengan sepatu yang sudah dia ganti menjadi sandal jepit.
Perhatian Dinda hanya tertuju pada Samantha, fokus pada setiap gerakan-gerakan kecil Samantha yang sedang melakukan pemanasan di lapangan sana. Anak itu benar-benar gila olahraga. Dulu, di SMP Samantha adalah atlet voli. Masuk SMK, dia lebih memilih futsal katanya sudah bosan bermain Voli. Sementara Dinda tidak pernah jelas masuk Ekstra-kurikuler apa. Dia lebih suka luntang-lantung tanpa ikut organisasi apapun.
Biasanya Samantha latihan dengan anggota club futsal. Tapi, kali ini dia berlatih bersama teman satu jurusannya untuk persiapan pertandingan futsal antar jurusan minggu depan. Lawannya kali ini anak-anak dari jurusan Marketing, dimana para siswinya terkenal gagah dan kuat. Maka dari itu persiapannya kali ini harus cukup matang.
Temannya yang lain baru berdatangan, padahal sudah lebih 10 menit Samantha berada di lapangan menunggu formasi lengkap. Karena Samantha satu-satunya anggota team inti dari club futsal sekolah, maka dari itu dia dinobatkan menjadi leader pada team jurusan kali ini. Jadi mau tidak mau Samantha harus bisa mengatur anggota teamnya yang lain.
Dinda bisa mendengar Samantha berteriak menyuruh anggotanya berlari dan cepat mengatur barisan untuk pemanasan. Sementara itu, dia masih setia menunggu di pinggir lapangan dengan malas memasang headset-nya. Dinda tidak suka menunggu, apalagi menunggu Samantha latihan futsal. Kebalikan dari Samnatha, Dinda benar-benar tidak menyukai olahraga yang satu ini. Lebih tepatnya, dia tidak suka semua bidang olahraga. Olahraga apapun itu yang membuat lelah, Dinda tidak suka.
Jadi percuma saja menonton Samantha latihan di sana, Dinda tidak mengerti. Dia lebih memilih mengambil ponselnya dari saku dan mulai mengotak-atik benda persegi itu.
Mata dan jemarinya lincah menelusuri galeri musik pada ponselnya, menimbang-nimbang lagu apa yang cocok di dengarkan ketika sedang menunggu seseorang pada suasana mendung seperti sore ini. Pilihannya jatuh pada sebuah lagu instrument. Biarkan melodi itu mengalun sementara Dinda mengarang bebas lirik-liriknya.
Matanya menutup merasakan angin sore yang bertiup ringan. Satu daun kering ikut terbang terhempas angin kemudian berakhir di pangkuan Dinda. Dia tidak memperdulikannya, matanya masih terpejam terhanyut musik yang sudah jalan setengahnya.
Sampai lagu itu habis, barulah Dinda membuka matanya menunggu lagu berikutnya mulai berputar. Matanya tertuju pada daun yang tadi jatuh di pangkuannya. Sebuah daun mahoni sebesar telapak tangannya dan berwarna kecoklatan karena mengering. Bahkan dalam sekali remasan daun itu berubah menjadi serpihan-serpihan kecil yang kemudian berterbangan setelah Dinda tiup.
Sementara Dinda ber-mellow dengan daun-daun itu, Samantha sudah bersimbah peluh dengan fokusnya yang tertuju pada bola dan teamnya. Gadis yang tinggi badannya selalu membuat Dinda iri itu berlari lincah dengan kaki jenjang. Meskipun Samantha berlarian seperti itu dengan seragam hijau terang dan rambut lepek karena keringat, dia masih terlihat cantik. Laki-laki mana yang tidak terpikat? Lihat saja di lantai dua dan beberapa sudut sekolahnya selalu ada laki-laki duduk santai memperhatikannya memainkan bola.
Dengan bakatnya bermain bola dan aksi super kerennya di lapangan. Samantha tetaplah seorang perempuan feminim. Di luar lapangan Samantha masih senang mengenakan rok dan gaun. Samantha masih senang mengenakan bermacam warna kutek. Samantha masih senang memanjangkan rambut dan merawatnya di salon.
KAMU SEDANG MEMBACA
JUST FRIEND
Teen FictionTentang aku dan dia yang wanita. Tentang aku dan dia yang katanya sepasang sahabat. Tentang aku dan dia yang saling menepis perasaan. Ini semua tentang aku dan dia.