Chapter 12

481 35 0
                                    

Meminta maaf walaupun tidak benar-benar melakukan kesalahan, kurasa itu hal yang lebih dari kata baik.

-Kim Taeyeon-

Previous Chapter

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Previous Chapter

Suaranya terdengar bergetar hebat saat mengatakan semuanya, dan andai saja Tiffany melihat, airmata Taeyeon pun ikut menetes keluar dari mata coklatnya beriringan dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya, namun setelah ia merasakan bahwa Tiffany akan menyudahi pelukannya padanya, ia buru-buru menghapus airmata dipipinya itu dengan cepat, dan lagi-lagi Tiffany hanya berpura-pura bahwa dia tidak mengetahui semuanya, padahal jelas sekali ia bisa melihat mata Taeyeon yang berubah memerah dan berkaca-kaca, kali ini ia benar-benar sudah tak bisa  lagi mengeluarkan kata-katanya, ia hanya membingkai kembali wajah Teyeon lalu mengecup bibirnya ringan disana.

Now Chapter

Taeyeon Pov

Aku mengemasi semua barang-barangnya, lagipula barang-barangku tidak terlalu banyak dan sudah terlebih dahulu selesai dikemas sedari tadi, dia tidak memintaku agar aku melakukan ini melainkan aku ber-inisiatif sendiri untuk melakukannya.
Sembari masih mengemasi barang-barangnya aku terus memandangi punggungnya dari sini sejak tadi, sudah cukup lama ia terduduk di meja itu, seperti sedang menulis sesuatu yang aku rasa sudah pasti bahwa itu ungkapan permohonan maafnya untuk orang-orang diluar sana. Ya, akupun merasa bahwa tindakan yang ia lakukan ini tidak ada salahnya, meminta maaf walaupun tidak benar-benar melakukan kesalahan kurasa itu hal yang lebih dari kata baik.

Dari sini aku bisa merasakan apa yang ia rasakan,  sakit. Tak ada perasaan lain dari semua hal yang dia dan aku rasakan saat ini, hanya satu itu saja.
Aku tersadar dari menatap bagian punggungnya saat dia berbalik lalu berjalan kearahku, aku melihat wajahnya yang tak bersinar dari biasanya, pancaran matanya yang juga semakin meredup, juga bibir tanpa lipstiknya yang sangat pucat akibat tidak memasukan sedikitpun makanan kedalam mulutnya sejak tadi, bahkan jika aku ingat-ingat lagi ternyata sejak semalam.

Kulihat kini ia meraih handphone-nya yang berada didekatku, yang juga sudah aku persiapkan diatas koper pakaiannya, ia meraih handphone-nya tanpa berbicara sepatah katapun kepadaku.
Lalu ia kembali lagi ke meja tempat dimana ia bergelut dengan pikiran kacaunya sedari tadi, kulihat gerak-geriknya dari sini bahwa ia saat ini tengah mengambil gambar kertas yang sudah terisi tulisan tangannya itu, dan tak lama setelah itu ia kembali menuju ke arahku lalu terduduk tepat disampingku. Aku bisa melihat dari sini bahwa saat ini ia sedang mempersiapkan gambar yang ia foto barusan untuk ia posting di account instagram-nya. Aku tak bisa berkata-kata, hanya diam mematung seperti orang bodoh yang hanya terus memandangi wajah sampingnya. Lalu tak lama setelah itu ia bergerak kembali, kulihat tangan kanannya merogoh saku celana yang ia kenakan saat ini, lalu ia mengeluarkan sebuah kalung satu-satunya yang aku sudah tahu pasti bahwa itu kalung pemberian dariku.

Dia mencoba memakaikan kalung itu pada lehernya, aku masih tetap terdiam mematung seperti orang bodoh disampingnya, tapi tak lama akupun reflek segera menghampirinya, bagaikan serbuk besi yang selalu tiba-tiba saja menempel saat dimana terdapat sebuah magnet didekatnya.
Kuraih tangannya, lalu merebut rantai kalung itu dari tangannya. Segera kusibakkan pelan rambutnya yang terurai, lalu kucari kedua ujung pengait pada kalungnya itu, dan setelah ujungnya mengait satusamalain kurapihkan kembali tatanan rambutnya. Sama seperti aku, dia hanya diam tak berucap sejak tadi, kami seperti orang bisu yang selalu memiliki keinginan yang sangat untuk mengeluarkan sebuah kata-kata, namun apadaya, walaupun otakku selalu memaksa untuk memerintahkannya, tetapi mulut ini berbeda, ia seperti terkunci rapat sehingga hanya sang pemilik kunci lah yang bisa membukanya, ialah hatiku. Sakit rasanya saat hati ini harus menahan setiap keinginan yang tertahan.
Ibarat seorang sahabat yang selalu merasakan sakit saat sahabatnya terluka, otakku pun seperti ikut menjadi lemah saat hati ini berbisik mengadu padanya atas apa yang ia rasakan saat ini.

You Are Monster !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang