Daniel duduk di atas sofa dengan tegang. Mungkin dia masih mengira-ngira apakah yang dia dengar dari mulutku tadi adalah benar adanya. Sementara aku berdiri di depannya, mondar-mandir dengan gelisah.
"Jadi mengenai anak itu---" Daniel memecah keheningan di antara kami.
"Dia seseorang yang memanggilku Ibu," jawabku cepat tanpa menghentikan aktifitas mondar-mandir.
"Kin!" panggil Daniel yang otomatis membuatku menghentikan langkah, dan berbalik menatapnya.
"Ya," jawabku.
"Tidak bisakah kau duduk saja di sampingku?" pintanya, "aku ingin mendengar bantuan apa yang kau butuhkan terkait anakmu itu. Siapa namanya?"
"Alessandria," jawabku sambil mengambil tempat di sampingnya, memberikan sedikit jarak di antara kami. Aku belum merasa akrab dengannya.
"Jadi dia bukan anakmu yang sebenarnya?" Daniel menarikku mendekat.
"Apa-apaan?!" protesku.
"Aku sudah khawatir saja," katanya tanpa mengindahkan protes yang terlontar. "Aku sudah khawatir bakal dapat yang namanya buy one get one." Lalu dia terkekeh.
Aku memutar bola mata mendengar istilah pilihannya. Norak.
Daniel tersenyum. "Sudah seharusnya kamu single, seperti aku. Jadi permainan kita akan menyenangkan."
Wajah itu mendekat ke wajahku, kemudian tangan kanannya bergerak menyelipkan helai rambut ke balik telingaku.
Aku menatapnya datar. Tidak ingin dia tahu, kalau sebenarnya jantungku berdebar cepat.
"Apa kau, mulai menyukaiku?" tanyaku dengan intonasi yang dibuat-buat.
Daniel langsung menarik diri, memperbaiki letak duduknya. Siku tangannya diletakkan pada sandaran sofa, sementara punggung tangannya menopang dagu.
Pria di sampingku ini menatap dengan pandangan penuh makna. Aku bisa saja kehilangan napas karena pemandangan di depanku ini, sungguh lebih dari sempurna.
"Tidak," jawabnya. "Tidak lebih dari perjanjian itu." Dia mencibir. "Lagi pula aku tidak bermaksud menyelesaikan perjanjian kita dengan cepat," katanya lagi, "aku bermaksud mempertahankanmu dalam waktu lama".
Daniel cengengesan membuatku sebal.
"Kecuali kau mau menyerah kalah." Daniel menggeleng-gelengkan kepalanya tanda dia tidak akan membiarkan hal itu. "Kita sama-sama manusia egois pecinta kebebasan dan tidak percaya cinta. Jadi aku tau, kau tidak akan membiarkan dirimu kalah."
Kalau saja saat ini aku tidak sedang membutuhkan bantuan, mungkin aku sudah mengusirnya keluar. Tapi kenyataannya, aku sedang membutuhkannya.
"Sudahlah, aku memintamu kesini bukan untuk membahas itu!" ucapku ketus.
"Jadi?" Dia mengangkat salah satu alis.
"Alessandria menghilang, dan aku mencemaskannya," aku menjelaskan, "dia pernah menghilang sehari tapi kembali lagi. Namun kali ini, aku cemas."
"Mengapa?" tanya Daniel lagi.
"Karena ketika dia kembali dia bersembunyi di lemariku. Tubuhnya penuh memar keunguan. Ibunya menyiksanya." Aku bergidik, mengingat bagaimana memar di tubuh Alessandria tadi.
"Apa kau sudah lapor polisi?" Daniel seperti mengintograsi.
Aku menggeleng keras.
"Aku kuatir dianggap penculik." Aku berkata jujur. "Dia bukan anakku, bukan siapa-siapaku. Bagaimana mungkin polisi akan percaya kalau aku bilang aku mencemaskannya?" Kuhela napas. "Aku tidak punya bukti kalau ibunya menyiksanya."
Aku melihat Daniel. Dia sepertinya sedang berpikir keras.
"Kau punya ide?" tanyaku penuh harap.
"Tidak." Dia menggeleng, lalu bangkit dari duduk. Dia melangkah menuju dapur dan membuka kulkas.
"Hei! Siapa yang memberimu izin?" seruku, segera menghampirinya ke dapur.
Daniel menatap dengan acuh, lalu mengambil kaleng bir, membukanya dan langsung meneguknya habis sambil menatapku. Dia meremukkan kaleng yang kosong sebelum membuangnya ke tempat sampah di sisi kulkas.
"Aku haus," katanya, lalu berjalan menuju kamar mandi. Dia membuka pintunya, melongok ke dalam lalu ditutup kembali. Aku mengikuti dengan heran.
Daniel seperti menyelidik seluruh penjuru rumah. Dia membuka ruangan satu demi satu, tidak terkecuali gudang kecil di belakang dapur. Dan ketika terlihat dia menuju kamarku dan hendak membukanya, segera kudahului.
Tanganku merentang di hadapannya tepat di depan pintu. Mencegahnya untuk masuk.
"Ini privacy!" seruku sambil menunjukkan wajah tidak sukaku.
"Oke." Dia melipat kedua tangan di dada. "Tapi aku harus memastikan setiap sudut rumah sebelum memutuskan apa yang harus kita lakukan dengan Alessandriamu."
Bibirku mengerucut, tidak terima dengan penjelasan.
Daniel mengangkat bahu ketika aku tidak juga menurunkan tangan. Dia berbalik, menuju ruang depan. Lagi-lagi aku mengikutinya dengan tergopoh. Pria itu memiliki langkah yang panjang, aku jadi kesulitan mengikuti.
"Jadi bagaimana?" desakku masih mengekor. Daniel tidak ada ide sama sekalikah?
Aku tidak sempat menghindar ketika Daniel tiba-tiba menghentikan langkah. Aku menghantam punggungnya tanpa ampun.
Mencibir, kuusap kening yang bertubrukan dengan punggungnya tadi.
Daniel membalik tubuh menghadapku. Menatapku yang kesakitan dengan aneh. Tapi sepertinya dia tidak begitu peduli.
"Apa kau yakin sudah memeriksa setiap sudut rumah?" tanyanya seperti tidak yakin kalau aku sudah mencari Alessandria ke setiap sudut rumah.
"Tentu saja!" Aku menjawab yakin.
"Apa pintu rumahmu terbuka?" tanya Daniel lagi.
Aku menggeleng. Memang pada kenyataannya tidak ada satu pintu pun yang terbuka.
"Jendela?" Dia semakin menyelidik.
Aku mengerutkan kening mencoba mengingat.
"Aku tidak yakin ya ...," gumamku.
"Maaf Kin. " Daniel melangkah melewatiku. "Aku rasa dia masih di sini. Dan satu-satunya tempat yang belum kuperiksa adalah kamarmu."
Daniel melangkah cepat menuju kamar. Aku setengah berlari hendak menghentikannya masuk ke dalam. Tapi kali ini dia sungguh cepat.
Dia langsung membuka pintu kamar, kemudian menatap ke dalam dengan senyum mengembang.
Dengan marah aku menghampiri. Baru saja mau protes mengenai kelakukannya, tapi Daniel langsung meletakkan jari telunjuk di bibirku. Kemudian dengan jari yang sama, dia menunjuk ke arah tempat tidur.
Patuh, kuikuti arahannya.
Dan di sana, di atas tempat tidur, Alessandria sedang tidur dengan pulas. Aku bisa melihat napasnya naik turun dengan teratur.
Mataku membelalak, tidak percaya dengan apa yang kulihat.
"Ibu macam apa, kamu?" Daniel setengah berbisik. "Bisa-bisanya kamu tidak menyadari kalau malaikat kecilmu masih tertidur di ranjang yang sama denganmu?"
Aku tidak dapat berkata apa-apa. Mahluk kecil yang membuatku panik di tengah malam ini, benar-benar tertidur pulas di sana. Apa aku berhalusinasi? Aku bahkan tidak sempat mabuk hari ini.
Ini benar-benar ....
*******
vote vote vote!
⏬⏬
KAMU SEDANG MEMBACA
My Beautiful Alessandria (completed)
Ficção GeralRepublished. Bakal tayang tiap Rabu. #46 in GenFic (8 ags 2017) #82 in GenFic (5 ags 2017) #84 in GenFic (6 apr 2017) #81 in GenFic (14 apr 2017) Bagi Kin, kebebasan adalah yang utama. Dia ingin hidup yang bebas sebebas-bebasnya. Bahkan kata menikah...