dua puluh dua

4.2K 571 50
                                    

"Mommy ... Mommy ... aku mencintaimu. I love you, Mommy ...."

Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Cahaya putih menyilaukan langsung saja menusuk penglihatan, membuatku enggan membuka mata. Tetapi panggilan merdu dari suara Alessandria memaksaku untuk mengerjap dan perlahan membuka kelopak.

"Alessandria," panggilku pelan.

"Mommy." Suara Alessandria terdengar mulai gelisah.

"Alessandria," panggilku lagi.

"Mommy, kenapa Mommy tidak menjawab?" Alessandria benar-benar terdengar gelisah sekarang.

"Mommy disini Alessandria." Aku jadi ikut gelisah karena dia sepertinya tidak mendengarku.

"Alessandria tidak di sini, Kin." Suara berat dan dalam itu membisik di telinga. Seketika lampu yang terang tadi meredup. Aku memejamkan mata kembali, ada perasaan malas untuk membuka.

"Dia disini," keluhku, "dia memanggilku."

"Dia tidak ada, Kin ... Alessandria tidak ada," bisik suara itu, membuatku gusar.

"Dia ada disini." Aku mulai merasa kesal karena suara itu mulai menyebalkan.

"Tidak. Alessandria tidak ada. Percayalah, kau tidak bisa berkata dia ada kalau hanya kau yang bisa melihatnya." Sugesti! Suara itu berusaha memberikanku sebuah sugesti yang tidak dapat kuterima.

"Dia ada, dia ada di sini." Ada yang pecah dalam dada, membuatku terisak karena tersiksa. Rasanya pedih ketika tidak ada seorang pun yang mengakui Alessandria.

"Jangan menangis. Tidak perlu menangisi sesuatu yang tidak ada ...." Suara itu berusaha menenangkanku, tapi percuma. Saat ini aku sudah menangis dengan dramatis. Aku seperti merasakan sesuatu milikku direbut dengan paksa. Rasanya kesal sekaligus kecewa.

"Apa kau tidak mau membuka mata?" tanya suara itu lagi.

"Apa aku harus membuka mataku?" Pertanyaanku bercampur dengan isak. "Aku ingin menutup mataku saja selamanya. Untuk apa aku bangun kalau semua yang aku punya direnggut dariku?"

"Aku ingin kau melihat siapa aku. Aku ingin kita berteman. Kau bisa mengandalkanku mulai sekarang. Ayolah, buka matamu." Suara itu terdengar persuasif.

Dengan enggan aku membuka mata perlahan. Dan wajah Nico, dokter sialan itu, tersenyum dengan manis ke arahku.

Aku menegang, membelalak marah. Ini jebakkan. Dia menjebakku.

"Bagaimana aku bisa ada di sini?" tanyaku marah sambil mengusap air mataku kasar dengan tangan. Aku bangkit dari telentangku. Aku baru tau, kalau aku ternyata berada di atas sofa malas berwarna hitam, di dalam sebuah ruangan serba putih, dengan sebuah meja penuh dengan berkas, sebuah kursi, lemari tinggi kaca berisi berkas-berkas juga. Ada sebuah foto dengan ukuran sedang di dinding. Foto Nico dengan jubah putih khas dokter.

Aku yakin, ini adalah ruang kerjanya. Lalu, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa aku bisa sampai ada di tempat ini?

"Bagaimana?!" desakku kesal.

"Kau tidak ingat?" tanya Nico.

"Tidak!" Aku berteriak. Hal terakhir yang kuingat adalah aku berada di kantor polisi, sedang diintrogasi petugas menyebalkan yang mengatakan kalau aku berbohong mengenai keberadaan Alessandria malam itu. Dan dia juga menuduhku yang melukai Ryu.

Dan petugas itu mengatakan dia memiliki bukti kalau aku berbohong mengenai Alessandria, dan setelah itu ... setelah itu ... aku lupa!

"Kau histeris dan pingsan di kantor polisi, mereka membawamu kembali ke rumah sakit." Nico menjelaskan. "Karena sebelumnya kami sudah mengetahui alasan kau histeris dan berkeringat, maka kau langsung dirujuk ke tempatku."

My Beautiful Alessandria (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang