TETANGGA BARU "Seorang gadis kecil yang menyebalkan."

567 26 11
                                    

SEGMEN SATU : Aku datang, maka bersahabatlah denganku.

Ting tong,
Bel rumahku berbunyi beberapa kali. Siapa yang datang bertamu sepagi ini? Aku yang sedang menonton serial kartun di televisi hanya menengok sejenak, lalu kembali asik menyaksikan tokoh seekor kucing dan tikus yang sedang berkejaran. Biarlah itu menjadi urusan orang tuaku, atau kakak laki-lakiku saja.
Aku hanya bocah yang baru berumur sebelas tahun.
"Iya, sebentar,"
Suara ibu terdengar dari dapur, disusul langkah kakinya yang berjalan terburu-buru. Kemudian terdengar pintu yang berdecit terbuka. Kedua mataku mendapati dua orang tua dan satu anak perempuan seusiaku berdiri di luar. Wajah mereka asing, belum pernah kulihat orang-orang ini di komplek rumah.
Sekarang konsentrasiku benar-benar teralih kepada mereka. Aku penasaran siapa orang-orang ini, terutama kepada gadis kecil yang memakai baju warna merah dan rok sependek lutut itu. Aku juga tidak pernah melihatnya di sekolah.
Ibu membawa mereka ke ruang tamu yang tidak begitu jauh dari tempatku sekarang, membuatku dapat mendengar percakapan mereka dengan jelas.
"Silakan duduk, saya panggil suami saya dulu."
Aku sudah melewatkan beberapa adegan pada kartun yang sudah ku tonton sejak lima belas menit yang lalu itu. Mataku sibuk mengawasi mereka yang sekarang terlihat mengedarkan pandangan ke seluruh sudut rumah. Dahiku berkerut ketika pandanganku dan anak perempuan itu bertemu, dia tersenyum. Padahal ini pertama kali kami bertemu.
"Selamat pagi, Pak. Maaf bertamu sepagi ini."
Salah seorang dari mereka nampak menyapa ayah ketika beliau sudah berada di ruang tamu, duduk di depan mereka.
"Iya, Pak. Silahkan duduk kembali. Ngomong-ngomong ada keperluan apa?"
Laki-laki itu tersenyum, "Sebelumnya perkenalkan, saya Hermawan. Ini istri dan anak saya. Kami penghuni baru di rumah sebelah, baru pindah dari Bandung dua hari yang lalu. Maksud kami bertamu adalah ingin berkenalan dengan para tetangga."
"Oh, iya-iya. Saya mendengar dari pak RT bahwa akan ada warga baru, pindahan dari luar kota."
Aku melihat laki-laki berkumis itu mengangguk.
"Kami sekeluarga harus pindah dari Bandung karena saya dipindahtugaskan oleh kantor untuk memegang salah satu cabang perusahaan di Purwokerto. Kebetulan kami disediakan rumah di daerah ini oleh perusahaan."
Pantas aku tidak pernah melihat mereka di sekitar rumah, baru pindah ternyata. Aku masih mencuri dengar apa yang sedang mereka bicarakan ketika ibu berjalan dari dapur dengan membawa empat gelas minuman dan meletakkan di meja. Ibu duduk di samping ayah.
"Ini lho, Bu. Pak Hermawan dan keluarganya adalah tetangga kita yang baru, pindah dari Bandung. Rumah di sebelah kita yang sudah lama kosong itu sekarang ditempati oleh mereka."
"Wah, saya ucapkan selamat datang kalau begitu. Kita malah belum tahu kalau sudah ditinggali. Maaf lho kami belum sempet berkunjung." Ibu terlihat antusias menyambut mereka.
"Nggak apa-apa, Bu. Kami yang minta maaf karena baru sempat memperkenalkan diri, kemarin masih sibuk beres-beres rumah soalnya. Ini saja sebetulnya belum selesai semua." Sekarang istri dari laki-laki berkumis itu yang menanggapi omongan ibu.
"Silahkan sambil diminum," ibu menawarkan.
"Ini putrinya ya? Cantik sekali. Siapa namanya?"
"Disya," anak itu menjawab sendiri pertanyaan ibuku.
"Wah, nama yang cantik, benar-benar pas untuk anak secantik kamu. Kelas berapa?"
Bocah perempuan berambut panjang itu menatap ibunya, membuat wanita itu tersenyum.
"Kelas lima, Bu. Kami sudah mengurus kepindahan sekolahnya kemarin, Disya akan sekolah di SD Harapan Bangsa di ujung jalan sana."
Aku mendengar nama sekolahku disebut oleh perempuan yang usianya mungkin hampir sama dengan ibu. Kelas lima? Berarti sama denganku, aku juga kelas lima. Kalau begitu pasti anak itu akan satu kelas denganku.
"Kebetulan sekali. Anak saya yang kedua juga sekolah di SD Harapan Bangsa, kelas lima juga lho."
Ibu benar-benar pandai mengakrabkan diri. Baru beberapa menit tetapi beliau sudah terlihat seperti sudah lama kenal dengan mereka.
"Oh iya? Syukurlah, anak saya jadi punya teman nanti. Maklum, Jeng, pindahan jadi belum kenal siapa-siapa."
"Sebentar, saya panggil anak saya dulu. Rayhan, kesini sayang."
Aku sedikit kaget waktu ibu memanggil namaku. Dengan malas aku berdiri dan mendekat ke arah mereka. Ibu menyuruhku duduk di sampingnya, lalu mengenalkan aku kepada mereka. Anak perempuan ini kembali melemparkan senyum.
Aku memutuskan untuk tidak membalas senyumnya.
"Ini Disya. Dia akan jadi teman sekolahmu yang baru, kenalkan dia pada teman-teman sekolah, ya."
Aku hanya mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah katapun, hanya sekedar menyebutkan nama untuk memperkenalkan diri beberapa menit yang lalu. Anak perempuan itu masih terus menatapku dengan senyum yang tetap terpasang di bibirnya, membuatku jengkel. Menyebalkan sekali wajahnya.
Aku memang bukan anak yang bisa cepat ramah, terlebih dengan orang yang baru kenal. Sifat ibu yang satu ini sama sekali tidak menurun kepadaku.
"Rayhan, ajak Disya bermain gih."
Aku menatap wajah ibu, heran. "Kemana?"
"Di halaman belakang rumah saja, kan banyak mainan di sana."
Aku langsung merasa khawatir begitu mendengar jawaban ibu.
Halaman belakang rumah adalah tempat favoritku setiap hari. Aku sering menghabiskan waktu di tempat itu untuk bermain seorang diri. Aku memang bukan anak yang pandai bergaul sehingga tidak banyak memiliki teman. Bagiku, halaman belakang adalah daerah yang tidak boleh sembarangan orang dapat berada di tempat itu. Sekarang ibu menyuruh untuk mengajak Disya bermain di sana, aku takut dia akan merusak mainan-mainan di tempat itu.
Dengan terpaksa aku mengangguk, lalu mengajak Disya beranjak. Ia mengikuti langkahku menuju halaman belakang. Wajahnya terlihat ceria, sementara aku masih berlagak dingin. Aku ingin membuat gadis cilik ini tahu bahwa aku adalah anak yang galak sehingga dia akan takut dan tidak merusak mainanku nanti.
"Kenapa kamu cemberut terus?" Pertanyaan Disya menghentikan langkahku, aku membalikkan tubuh.
"Kenapa kamu tersenyum terus?" Aku balik bertanya.
"Senyum lebih baik dari pada cemberut, bukan?"
Aku mendesis mendengarnya, rasa sebalku meningkat dua puluh persen sekarang. Disya bukan hanya sok akrab, tapi juga sok tahu. Langkahku kembali membawa kami ke halaman rumah. Menurutku, itu bukan pertanyaan yang harus dijawab. Bukan sesuatu yang penting.
"Kamu punya kakak?"
"Punya." jawabku tanpa menatapnya.
"Senangnya, aku anak tunggal jadi tidak punya teman main di rumah."
Pantas saja dia terlihat sangat senang waktu ibu menyuruhku bermain dengannya. Mungkin dia belum tahu kalau punya saudara itu tidak selalu menyenangkan. Apalagi kalau sama-sama laki-laki, selalu ada alasan yang membuat kami bertengkar.
Kami sampai di halaman belakang rumah, rasa khawatirku menjadi semakin besar sekarang. Ini adalah daerah teritorial milikku, tidak sembarang orang boleh memasukinya. Dan sekarang anak perempuan asing ini telah berada di sini.
"Menyenangkan sekali, banyak mainan di halaman belakang rumahmu." Dia terlihat begitu takjub.
Memang ada banyak mainan di tempat ini. Ayunan, perosotan, terampolin, kolam renang kecil yang terbuat dari plastik, sepeda roda tiga, kuda-kudaan kayu, dan ada pula sebuah mobil mini yang menggunakan pedal untuk menjalankannya. Itu semua adalah mainan milikku, teman mainku sehari-hari.
Aku tidak sempat mencegah ketika dia secara tiba-tiba berlari ke arah perosotan, lalu menaiki tangga. Sedetik kemudian anak perempuan itu berteriak girang sambil meluncurkan badan. Tidak ada yang berani melakukan itu tanpa seijinku sebelumnya. Disya benar-benar membuatku jengkel, aku sangat sebal dengannya.
Dari perosotan dia berlari menuju ayunan, duduk di atas papan dan mengayun-ayunkan kakinya. Disya terlihat sangat senang berada di tempat ini, seperti anak TK yang mendapatkan mainan baru saja.
Kali ini dia berpindah kepada terampolin, melompat-lompat di atasnya. Suara tawa yang keluar dari mulutnya benar-benar menyebalkan. Ingin sekali aku menjitak kepalanya dengan keras, tapi pasti akan dimarahi ibu nanti.
Aku hanya bisa diam mengawasi anak itu dengan memasang wajah segalak mungkin.
"Hey, ayo kemari." Perintahnya kepadaku.
Cih, sekarang dia menyuruhku untuk menghampirinya. Anak itu benar-benar membuatku sebal, sangat sok akrab. Dia telah berani masuk ke dalam wilayahku dan sekarang dia menyuruh untuk mendekat.
"Ada apa?"
"Tempat ini benar-benar menyenangkan, bolehkah aku bermain ke sini setiap hari?"
Kekhawatiranku menjadi kenyataan sekarang, dia akan mengambil alih semua mainan yang selama ini aku gunakan seorang diri. Aku harus membagi wilayahku, aku tidak suka itu. Aku tidak suka bermain dengan anak perempuan, mereka benar-benar cengeng dan manja.
"Bolehkah?"
Disya kembali bertanya. Kali ini wajahnya terlihat ragu-ragu.
"Asalkan kamu berjanji tidak akan merusak ini semua."
Aku terkejut sendiri dengan jawaban yang baru saja aku ucapkan, benar-benar tidak menyangka. Aku membiarkan anak ini bermain di halaman belakang rumah, dan sekarang mengijinkannya untuk kembali ke tempat ini setiap hari. Ada apa denganku sebenarnya?
"Yeeaay. Terima kasih, Rayhan."
Di hadapanku gadis itu melompat dengan girang. Dia tertawa dengan lebar, hingga mempertontonkan giginya. Aku baru menyadari kalau gigi tengah bagian bawahnya ompong. Sontak aku tertawa terpingkal-pingkal dibuatnya, sampai air mata sedikit mengisi sudut-sudut mata.
Anak perempuan ini benar-benar menyebalkan dan, unik.
"Kenapa kamu tertawa sampai seperti itu?"
Aku masih tertawa ketika mendengarnya bertanya, membuat Disya terlihat tidak sabar menunggu jawaban. Kutarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan tawa yang sekarang sudah tidak sekeras tadi.
Aku menunjuk ke arah mulutnya.
"Gigimu, siapa yang menyembunyikan gigi-gigimu itu?"
Kali ini wajahnya terlihat cemberut karena mendengar pertanyaanku. Dia menjulurkan lidahnya, membuatku kembali tertawa dengan keras. Aku sampai merobohkan badanku di atas terampolin sambil memegang perut, baru kali ini aku tertawa sampai perutku terasa sedikit sakit.

"Bagaimana dengan teman barumu itu?"
Ibu bertanya kepadaku ketika keluarga kami sedang makan malam. Lengkap, ada ayah, ibu, dan kakakku.
"Siapa, Bu?"
"Ya Disya. Tetangga baru kita itu. Tadi kan kamu bermain dengannya."
"Tetangga baru?"
Kakak terlihat heran mendengar pertanyaan ibu. Benar juga, dia lari pagi dan baru pulang ketika keluarga Disya sudah berkunjung ke tetangga yang lain.
"Iya, yang sekarang menempati rumah di sebelah kita itu." Ayah menanggapi pertanyaan kakak.
Kakak hanya mengangguk-anggukan kepalanya.
"Kamu sudah akrab dengan Disya?" ibu kembali bertanya kepadaku.
"Disya sedikit menyebalkan," jawabku jujur.
"Lho, kenapa? Sepertinya dia anak yang menyenangkan."
"Disya memakai semua mainan di halaman belakang tanpa meminta ijin kepadaku. Tentu saja aku sebal."
Aku mendengar ayah, ibu, dan kakak tertawa kecil karena jawabanku, padahal aku tidak merasa ada yang salah dengan kalimat yang baru saja aku ucapkan.
"Bukankah memang seperti itu sifatmu, tidak bisa berteman dengan siapa saja," penuturan kakak lebih terdengar sebagai sebuah sindiran di telingaku. Aku meliriknya dengan sebal.
Dia adalah satu-satunya kakakku. Namanya Sakti, dan umurnya berbeda tiga tahun dariku. Kami memiliki sifat yang jauh berbeda, dia bisa dengan mudah akrab dengan orang yang baru saja dia kenal, dia memiliki banyak teman. Tidak sepertiku yang hanya bisa bermain dengan mainan-mainan yang ada di halaman belakang rumah.
"Jangan seperti itu dong, Rayhan. Kamu harus bersikap baik dengan teman-temanmu, tidak baik kalau kamu selalu memasang wajah cemberut setiap kali bertemu dengan seseorang. Nanti tidak ada yang mau berteman denganmu," ibu menasehatiku dengan panjang.
"Iya, Nak. Ayah kan sudah sering mengajarkan untuk bersikap baik dengan siapa saja, biar orang lain juga bersikap baik dengan kita. Kamu tidak ingin orang lain membencimu, kan?"
Aku menggelengkan kepala untuk menjawab pertanyaan ayah.
"Karena itu kita juga jangan membenci orang lain. Menyenangkan kalau punya banyak teman untuk bermain. Ayah pikir tidak masalah kalau Disya, atau siapapun memakai mainanmu,"
Aku mendengarkan nasehat yang diberikan oleh ayah. "Tapi tadi Rayhan sempat tertawa karena melihat gigi Disya yang ompong. Dia terlihat lucu ketika tertawa."
"Baru kali ini kamu tertawa karena orang yang baru kamu kenal," kakak kembali mengeluarkan pendapat yang terdengar seperti sindiran di telingaku.
"Makannya kamu harus rajin gosok gigi setiap hari, biar tidak ompong seperti Disya."
"Iya, Bu."
"Dan kamu juga tidak boleh menertawakan orang lain seperti itu, ngga baik itu namanya," aku mengangguk pelan.
Makan malam keluargaku memang selalu seperti ini, tidak pernah sepi dari percakapan di antara kami sekeluarga. Selalu ada topik yang akan terus mengalir hangat disetiap malamnya.

CINTA DALAM TELEPON KALENG (Sudah Beredar Di Toko Buku Di Seluruh Indonesia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang