KISAH SEMALAM "Semua perubahan yang terjadi dalam hidup kami."

114 7 0
                                    

SEGMEN TIGA: Tuhan selalu menyiapkan takdir cinta yang indah untuk semua manusia.




Sudah hampir lima tahun sejak aku di wisuda oleh universitas tempatku menuntut ilmu. Kafe milikku di Semarang sudah aku jual untuk modal membuka kafe di Purwokerto, aku masih ingin berbisnis di bidang itu meskipun sempat tidak diijinkan oleh ayah dan ibu. Mereka ingin aku bekerja di perusahaan ayah. Namun aku bersikeras, biarlah itu menjadi bagian Rayhan nanti.
Dan aku harus bersyukur karena usaha itu maju dengan pesat, sudah banyak pelanggan yang tidak ada habisnya datang setiap hari. setidaknya aku dapat membuktikan kepada mereka, bahwa semua usaha ini tidak akan sia-sia. Aku bangga dengan hasil yang aku dapatkan dari keringatku sendiri.
Banyak yang telah berubah di sekitarku sejak lima tahun ini. Rayhan, adikku satu-satunya itu sudah menjadi seorang mahasiswa semester akhir jurusan managemen di salah satu perguruan tinggi di kotaku. Dia sudah tumbuh menjadi laki-laki dewasa dengan setumpuk kesibukannya sebagai mahasiswa. Terkadang dia juga membantuku bekerja di kafe ketika mempunyai waktu senggang. Diapun sudah tidak lagi menjadi penyiar radio.
Disya, gadis itu juga sudah menjadi seorang mahasiswi ekonomi di perguruan tinggi yang sama seperti Rayhan, mereka berdua masih tetap menjadi sahabat meskipun kulihat sudah tidak sedekat dulu lagi. Aku tidak tahu, ada sesuatu yang membuat Disya menjadi sedikit menjauh dari Rayhan. Aku sudah sering bertanya kepada keduanya, tetapi mereka selalu menjawab tidak ada apa-apa di antara mereka.
Mungkin karena sekarang mereka sibuk dengan tugas kuliah mereka masing-masing.
Dan di antara yang tidak berubah, adalah ingatanku tentang Renata. Masih saja aku terjebak dengan masa laluku. Tidak bisa aku lupakan meskipun sudah berkali-kali berpacaran dengan beberapa wanita, tidak ada yang bisa menghilangkan rasa sakit karena kehilangan sosok Renata.
Tidak ada yang bisa membuat rinduku terobati. Tidak ada.
“Ini dipasang dimana, Mas?”
Ridwan, salah seorang karyawan yang aku pekerjakan untuk membantu melayani pelanggan membuyarkan lamunanku, ia menunjukkan sebuah poster bergambar pemain-pemain As Roma, klub bola kesukaanku, yang baru aku beli tadi siang.
Aku mengamati dinding-dinding kafe beberapa saat, mencari sudut yang paling bagus untuk ditempeli poster berukuran besar itu. Kakiku berjalan menuju pintu masuk kafe untuk semakin memudahkan mengatur sudut pandang, kutopangkan satu tangan di dagu.
“Pasang di situ aja, kayaknya bagus. Jadi setiap tamu yang datang bisa langsung melihatnya.”
Laki-laki berumur dua puluh lima tahun itu mengangguk dan berjalan menuju tempat yang aku tunjukkan, aku menghampirinya. Ridwan mulai memakukan gambar itu pada dinding yang tepat menghadap pintu masuk, kedua tanganku memegang salah satu sisi poster agar dia tidak mengalami kesulitan ketika memasangnya. Aku mundur beberapa langkah ketika Ridwan selesai, senyum puas mengembang di bibirku.
“Apa saya bilang, perfect,” aku mengacungkan dua jempol ke arah Ridwan yang juga sedang tersenyum puas.
“Buka kafe sekarang, Mas?”
Aku melihat jam berwarna hitam yang melingkar di pergelangan tangan, pukul tiga lebih lima belas menit. Sudah terlambat lima belas menit rupanya, biasanya aku membuka kafe tepat pukul tiga sore. Kembali pandanganku menatap Ridwan yang masih menunggu.
“Iya, memang sudah waktunya. Tolong kamu urus ya, saya mau menyelesaikan catatan kemarin terlebih dahulu.”
Aku berjalan menuju meja tempatku biasa mencatat semua tentang kafe. Mulai dari pemasukan dan pengeluaran, merekap setiap pesanan, sampai dengan menghitung jumlah gaji untuk tiga orang karyawan yang bekerja untukku. Ridwan adalah salah satu karyawan, selain Mona dan Widya. Dua gadis itu belum datang, aku maklum karena mereka adalah mahasiswi yang bekerja untuk menambah uang saku mereka.
“Selamat sore, mbak Disya.”
Suara sapaan Ridwan terdengar sampai ke telingaku, membuatku berhenti menulis dan mengalihkan pandangan. Aku melihat Disya sedang mengobrol dengannya.
“Hai,” kuputuskan untuk berhenti mencatat dan mendekati mereka.
Disya menoleh dan tersenyum, “Sore, kak. kebetulan tadi aku pulang dari rumah temenku, jadi mampir sekalian aja.”
“Kirain sama Rayhan juga.”
“Rayhan masih ada kuliah, mungkin nanti dia juga kesini. Emm, ada yang bisa aku kerjakan nggak, kak?”
“Eh, nggak usah. Udah beres semuanya kok, tinggal nunggu pelanggan aja.”
“Nggak apa-apa kok, Kak. Dari pada nggak ada kerjaan,” Disya nampak ngotot.
Pasrah juga aku akhirnya, mencoba mencari sesuatu yang mungkin dapat dikerjakan oleh Disya, “Ya sudah, bagaimana kalau kamu menggantikan Ridwan menyapu? Dia mau aku suruh untuk membeli gas elpiji soalnya.”
“Oke,” Disya membentuk bulatan menggunakan jempol dan telunjuknya, gadis itu melangkah riang menuju Ridwan yang masih menyapu lantai. Aku tersenyum memandang Disya.

Hari ini pelanggan yang datang ke kafe lebih banyak dari biasanya, membuat tiga orang karyawanku terlihat kerepotan untuk melayani mereka. Sehingga aku berinisiatif untuk meminta bantuan kepada Rayhan dan Disya yang sekarang juga masih sibuk melayani pesanan dari pengunjung kafe.
Kedatangan mereka berdua benar-benar membantu kami.
“Capek? Istirahat dulu nggak apa-apa kok,” aku berkata kepada Rayhan yang nampak kelelahan. Ia menyandarkan punggungnya pada tembok.
“Lumayan, kak. Malam ini bener-bener ramai banget, Alhamdulillah.”
“Iya, untung kamu bisa bantuin di sini. Makasih ya.”
“Santai. Tapi bentar lagi aku harus pergi, ada janji soalnya,” Rayhan nampak melihat jam tangannya.
“Iya, nggak apa-apa. Sudah ada Disya kok,”
“Nanti Disya pulang bareng kakak aja, ya. Aku mau langsung soalnya.”
“Beres. Ya udah, berangkat sana,” perintahku.
Rayhan menyeka wajahnya yang berkeringat di depan wastafel, ia menghampiri Disya terlebih dahulu sebelum melangkahkan kaki keluar kafe. Aku kembali melanjutkan pekerjaanku yang sempat tertunda.
Beberapa kali pengunjung datang dan pergi silih berganti sampai akhirnya semua orderan telah habis untuk hari ini. Waktu telah menunjukkan pukul dua belas malam ketika tiga orang karyawanku membereskan sisa-sisa yang berserakan di meja dan di lantai. Aku masih sibuk merekap, sementara Disya nampak duduk di salah satu kursi. Rautnya menunjukkan kelelahan.
Aku tersenyum, lalu bangkit dan berjalan menuju kulkas untuk mencari sesuatu yang mungkin tersisa untuk membuat minuman. Hanya bubuk mochacino yang kutemukan, tetapi setidaknya cukup untuk dua cangkir.
“Nih,”
“Makasih,” sedikit rasa sungkan tertangkap di telingaku, aku mengangguk. Disya menyeruput pelan minuman yang aku buat.
“Sampai malam gini, maaf ya,”
“Santai lagi, Kak. Besok juga aku janjian sama dosenku siang kok, jadi nggak perlu buru-buru bangun,” jawabnya sambil tersenyum.
“Gimana skripsinya?”
“Tinggal menunggu jadwal sidangku keluar, udah nggak sabar rasanya.”
“Wuih, cepet juga ya kamu ngerjain skripsi. Rayhan aja kayaknya baru sampai bab tiga deh.”
“Kebetulan aja dosen pembimbingku mudah, dan lagian tema skripsi yang ku ambil juga termasuk gampang. Jadinya bisa cepet selesai.”
Aku melirik sejenak ke arah tiga orang karyawanku yang sekarang juga terlihat sedang mengobrol sambil menikmati air mineral. Mungkin semua pekerjaan mereka malam ini sudah selesai, sebaiknya aku segera menyuruh mereka pulang, batinku.
“Udah malem, pulang yuk,”
Disya mengangguk untuk menerima ajakanku. Aku mengambil alih cangkir dari tangannya, lalu meletakan begitu saja di meja dapur.
“Udah beres semua?”
“Sudah, Mas,” Ridwan yang menjawab pertanyaanku.
“Kalau gitu ayo kita pulang. Ridwan, bantu aku menutup gerbang nanti. Kalian berdua pulang duluan aja, itu jemputannya udah pada datang.”
Mona dan Widya tersenyum. Jemputan yang aku maksud adalah pacar mereka masing-masing yang selalu datang untuk menjemput ketika kafe sudah akan tutup. Kadang membuatku takjub, setia sekali pacar mereka sampai mau menjemput dan menunggu mereka.
“Sudah semua, Mas. Saya pulang dulu,” Ridwan menyusul Mona dan Widya yang telah terlebih dahulu pulang bersama pacar mereka masing-masing.
“Iya, makasih ya.”
Aku dan Disya keluar paling terakhir dari dalam kafe, kami berjalan menuju mobil setelah aku mengunci gembok gerbang. Kulajukan mobil menembus malam yang masih cukup ramai oleh muda mudi yang sedang menghabiskan malam dengan berkumpul bersama teman-temannya.
Aku melirik Disya yang nampak sedang memejamkan mata, mungkin dia merasa begitu lelah setelah membantuku untuk melayani pelanggan yang memang cukup banyak hari ini. Disya menghembuskan napasnya dengan cukup keras sampai aku bisa mendengarnya.
“Capek juga ternyata ya, kak. Bagaimana sama Ridwan, Mona, dan Widya yang setiap malam melayani tamu,”
“Nyari duit emang capek kok, tapi semua capek yang dirasakan itu bakalan hilang setelah kita mendapatkan hasilnya. Pas udah bisa mendapatkan sesuatu dengan usaha kita sendiri, itu rasanya puas banget. Lupa sama capeknya.”
“Iya, Kak. Semoga nanti aku bisa langsung dapet kerja setelah wisuda,”
“Lho, nggak mau ngelanjutin lagi? Rayhan aja mau lanjutin S2 katanya.”
Disya menyandarkan kepalanya di sandaran jok mobil, “Kalaupun mau sekolah lagi aku pengin pakai uangku sendiri, kak. Biar nggak ngerepotin orang tua terus.”
“Mulia sekali niatmu, semoga bisa keturutan.”
Disya tertawa kecil, “Itu sekedar impian aja kok, tergantung nanti bagaimana. Biasanya kalau orang yang sudah bisa mendapat penghasilan dari usahanya sendiri jadi ngerasa keenakan, terus akhirnya nggak inget lagi niatnya mau ngelanjutin pendidikan. Kak Sakti juga gitu, kan?”
Aku tersenyum, “Iya sih memang. Aku jadi merasa sudah cukup nyaman dengan usahaku sekarang.”
“Nah, makannya itu.”
“Kalau gitu, nikah dulu aja,”
“Belum ada calonnya, Kak,” Disya mengambil jeda tawa untuk menanggapi candaanku.
“Bagaimana kalau sama kakak,” aku masih ingin bercanda untuk menghilangkan rasa lelah yang mendera kami berdua. Tawa kami semakin keras.
“Bercanda aja nih, Kak Sakti.”
“Kalau serius bagaimana?” mataku lekat-lekat memandang gadis di sebelahku itu.
Disya terdiam mendengar pertanyaanku, tawanya berhenti begitu saja. Pandangannya menatap tajam, membuatku tidak tahan lagi menahan tawa yang kini meledak di dalam mobil.
“Bercanda kok, Disya.”
Gadis itu tersenyum kecut, “Padahal aku berharap tadi itu serius.”
Sekarang tawaku yang menghilang begitu saja, aku terkejut mendengar pernyataan bernada kecewa yang diucapkan oleh Disya. Salah tingkah, itulah yang kualami saat ini.
“Satu-satu,” Disya tertawa riang di tempatnya. Tawanya terdengar begitu puas karena berhasil membalas candaanku.

CINTA DALAM TELEPON KALENG (Sudah Beredar Di Toko Buku Di Seluruh Indonesia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang