OBROLAN TENTANG CINTA "Semua memang tidak bisa ditebak."

87 5 0
                                    

Selesei bimbingan aku mampir ke kafe kak Sakti untuk sekedar duduk beristirahat, sambil menikmati kopi. Atau jika ada pekerjaan yang mungkin bisa kubantu, aku akan membantu. Tetapi hari ini rasanya cukup membuatku lelah juga.
Menjadi mahasiswa semester akhir memang butuh perjuangan, ketika harus seharian menunggu dosen yang sebenarnya telah membuat janji untuk melaksanakan bimbingan pada pagi hari. Nyatanya baru bisa terlaksana sore harinya, itu juga setelah aku mengejarnya di lorong kampus. Jika tidak, sudah dipastikan tidak ada bimbingan lagi hari ini.
“Suntuk banget wajahmu, nggak ketemu dosen lagi? Sabar, kakak juga dulu seperti itu waktu skripsi.”
Kak sakti duduk di hadapanku sambil membawa dua cangkir kopi yang masih mengepulkan asap.
“Ketemu kok, Kak. Tadi udah sempet bimbingan juga,” Jawabku sambil menyecap sedikit kopi pada tepian cangkir.
“Nah, kok masih cemberut gitu. Banyak revisiannya?”
“Nggak juga, cuma agak capek nunggu dosen dari pagi baru ketemu sore tadi.”
“Terus skripsinya?”
Aku tersenyum sekarang. Sambil meraih rokok dari dalam tas, dan menyalakannya. Sejenak aku mengambil jeda untuk menjawab pertanyaan kak Sakti yang nampak sedang menunggu.
“Alhamdulillah, udah ditandatangani, Kak. Minggu depan mungkin aku sidang,”
Sekarang, kulihat kak Sakti yang tersenyum, menggelengkan kepala, kemudian tertawa dengan cukup keras. Beruntung belum ada pelanggan yang datang ke kafe ini.
“Sudah di ACC kok masih ditekuk gitu wajahnya. Harusnya seneng dong.”
“Ya seneng lah, Kak. Tapi ya masih tetep ngerasa capek juga hari ini,”
Kak Sakti mengambil satu batang rokok dan menyalakannya.
“Selamat ya, Rayhan. Semoga kamu sukses menghadapi dosen-dosenmu itu di sidang nanti. Nggak perlu grogi, anggap saja ujian semester biasa.”
Saran yang asal, seperti biasa yang diucapkan oleh kakakku ini ketika memberikan saran kepadaku, atau kepada siapapun, dia seperti tidak pernah terlihat serius saat mengucapkannya. Tapi tak urung aku menganggukan kepala.
Lalu beberapa jenak kami terdiam, memilih untuk menikmati aroma kopi yang sudah habis separo cangkir ini. Juga menghisap nikotin dari batang rokok kesekian yang aku bakar sejak tadi sebagai teman obrolan kami berdua.
“Ray,”
Kulihat kak Sakti dengan wajahnya yang ragu, membuat aku mengerti bahwa setelah ini adalah obrolan yang mungkin akan lebih serius. Aku sudah paham dengan karakter laki-laki di hadapanku ini.
“Ya?”
“Eum, bagaimana mengatakannya sama kamu.”
Aku tertawa tentu saja, mendengar kak Sakti sampai bingung seperti ini jelas menjadi hal lucu buatku.
“Kakak ini, seperti sama orang lain saja. Memangnya seserius apa yang mau kak Sakti omongin ke aku, sampai membuatmu bingung.”
“Masalah Disya, bagaimana hubunganmu dengan dia sekarang?”
“Baik-baik saja, kami berteman seperti sebelumnya kalau itu yang kakak maksud. Kenapa memangnya, Kak?”
“Sepertinya kalian semakin jarang bersama sejak pertama masuk kuliah sampai sekarang , apa ada masalah diantara kalian?”
Aku mematikan bara rokok pada asbak di depanku, kemudian menyecap kembali kopi yang sudah menjadi dingin ini. Sejenak berpikir, bahwa pertanyaan kak Sakti kali ini memiliki tujuan yang belum bisa aku artikan.
“Tidak ada masalah apa-apa antara aku dan Disya, sebenarnya persahabatan kami baik-baik saja seperti sebelum kami kuliah. Kami hanya lebih sibuk dengan urusan kami masing-masing. Terlebih sekarang kita sedang fokus ke skripsi,”
Mungkin jika orang-orang menilai apa yang baru saja aku katakan hanyalah sebuah alasan, aku tidak akan menyangkalnya. Karena sebenarnya aku sendiri juga merasa bahwa hubungan persahabatanku dengan Disya sudah tidak sedekat dulu, saat kami masih bisa berangkat ke sekolah bersama.
Entahlah, mungkin hanya perasaanku saja yang merasa ini semua terjadi setelah aku memutuskan untuk mencintai Popi beberapa tahun yang lalu, Disya seakan menjauhiku setelah itu. Dan tanpa terasa kini semua sudah berlalu tanpa kusadari.
Dan ternyata kak Sakti pun menyadari perubahan ini, mungkin karena dia satu-satunya orang yang menyaksikan bagaimana kami tumbuh dan berkembang bersama sejak sekolah dasar dulu. Dan ketika ada yang tidak beres diantara kami, dia adalah orang pertama yang akan menyadarinya.
“Syukurlah kalau tidak ada masalah diantara kalian. Aku hanya merasa sedikit ada perbedaan diantara kalian,”
Ucapan kak Sakti menyadarkanku dari lamunan, lalu seulas senyum tersirat di bibirku.
“Kamu tahu kan, sudah sejak lama aku tidak bisa melupakan seorang gadis yang sebenarnya sangat ingin aku lupakan. Namun setiap kali aku mencoba menjalani dengan wanita lain, selalu bayangan Renata yang muncul dan kembali merobohkan tembok yang sudah susah payah aku bangun.”
“Pada akhirnya aku memutuskan untuk meninggalkan wanita-wanita itu tanpa alasan apapun.”
Kak Sakti nampak menghisap rokoknya lebih dalam dari sebelumnya, lalu menghembuskan asap dari mulutnya ke udara dengan sekali hembusan yang terdengar cukup berat di telingaku.
“Tetapi sekarang aku ingin benar-benar menjalani sebuah hubungan yang serius dengan seorang wanita. Seseorang yang aku harapkan bisa membantuku melupakan sosok Renata.”
Aku mendengarkan penuturan kak Sakti dengan seksama, tanpa berniat untuk menyela. Biarkan saja, sepertinya dia memang hanya ingin didengarkan sekarang.
“Dan kamu tahu, entah kenapa aku menemukan apa yang aku butuhkan pada sosok Disya,”
Meskipun terdengar ragu saat mengatakannya, namun aku tetap mampu mendengar apa yang baru saja kak Sakti katakan. Dan meskipun ada rasa terkejut yang menjalar, namun aku memutuskan untuk tidak menunjukkannya di hadapan kak Sakti.
Cukup sebuah senyuman.
“Dulu kakak pernah bertanya kepadamu tentang perasaanmu kepada Disya, dan kamu jawab tidak ada perasaan lebih dari sekedar sahabat. Bagaimana dengan sekarang?”
“Sampai sekarangpun masih seperti itu, Kak. Aku tetap menganggap Disya hanya seorang sahabat saja, tidak lebih dari itu.”
Satu batang rokok aku nyalakan lagi, sebelum melanjutkan jawaban atas pertanyaan kak Sakti tadi.
“Terlebih kakak tahu sendiri kalau aku sudah memiliki pacar, kan?”
Kak sakti mengangguk.
“Jadi kalau memang kak Sakti merasa Disya adalah orang yang tepat yang bisa membuatmu jatuh cinta, kakak harus mengatakan itu kepadanya. Aku pasti mendukung.”
“Apa menurutmu Disya akan menerimaku?”
Aku tertawa kecil.
“Tidak ada salahnya dicoba, Kak. Toh setauku gadis itu tidak memiliki pacar sampai sekarang, sejak terakhir saat SMA dulu.”
“Atau perlu aku yang ngomong dulu ke dia?” lanjutku.
Kak Sakti nampak berpikir di tempatnya. Aku menunggu dengan seulas senyum yang masih mengembang di bibirku.
“Sepertinya tidak perlu, biar aku saja yang akan mulai mendekatinya. Nanti kalau aku butuh bantuanmu, baru aku akan mengatakannya.”
Aku mengangguk, “Selamat berjuang, Kak.”

CINTA DALAM TELEPON KALENG (Sudah Beredar Di Toko Buku Di Seluruh Indonesia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang