KECEWA "Seindah apapun, perasaan cinta tetap bisa menimbulkan luka."

142 11 0
                                    

Ternyata nggak susah menjadi mak comblang buat temen sendiri. Sampai saat ini semua kelihatan lancar-lancar saja ketika Disya sama Yoga akhirnya sering bertemu dan jalan berdua. Bahkan dua-duanya selalu cerita kepadaku tentang semua momen yang mereka lewati, seakan aku adalah orang yang paling bisa menjadi pendengar yang baik buat mereka. Disya sering mengatakan kalau Yoga adalah tipe cowok yang bisa membuat orang di sekitarnya merasa nyaman, sedangkan Yoga menilai Disya adalah cewek yang asik untuk dijadikan teman ngobrol.
Ini sudah dua minggu sejak kali pertama aku membantu mendekatkan mereka, dan intensitas pertemuan mereka pun semakin rutin. Tidak jarang Yoga sampai menjemput Disya sepulang sekolah dan mengantarkan ke rumah. Sebuah kebiasaan yang sejak dulu hanya dilakukan olehku.
Sore ini aku duduk di tepi jendela seorang diri. Kulihat jendela kamar Disya masih tertutup, menandakan penghuninya tidak berada di dalamnya. Tadi dia pergi bersama Yoga selepas sekolah. Entah kemana.
Aku membuka tutup botol minyak kayu putih yang sejak tadi berada dalam genggaman, lalu menempelkan ujung kepala botol ke hidung. Dengan perlahan kuhirup aroma kayu putih melalui hidung.
Suara mobil terdengar ketika aku hendak melangkah menuju ranjang. Kualihkan pandanganku. Nampak mobil Yoga berhenti tepat di depan gerbang rumah Disya. Gadis itu keluar dengan senyum yang terlihat merekah di bibirnya yang tipis. Membuat rasa penasaran dalam benakku muncul.
Langkah Disya mulai menapaki halaman ketika mobil Yoga telah berlalu, gadis itu sempat melihat ke arahku dan melambaikan tangan. Aku membalasnya. Sebentar lagi dia akan menceritakan semuanya, batinku menerka.
Lima menit kemudian jendela kamar gadis itu terbuka, menampakkan wajah dengan senyum yang belum hilang sejak aku melihatnya tadi. Ada apa gerangan sampai dia terus menerus tersenyum seperti itu.
Disya yang masih mengenakan seragam sekolah memberi kode untuk mulai bercerita melalui telepon kaleng. Aku membiarkannya berbicara terlebih dahulu.
“Kamu tahu, Yoga berjanji akan mengajakku makan malam nanti. Dia bilang sudah memesan tempat khusus untuk kami berdua.” Aku mendengarkan Disya bercerita dengan wajahnya yang berseri-seri, gadis itu sedang ceria sekali nampaknya.
“Bukankah itu sudah sering kalian lakukan?”
“Memang, tapi malam ini akan spesial kata Yoga.”
Begitu rupanya, akan ada yang spesial antara Yoga dan Disya nanti malam ketika mereka berencana untuk makan malam. Apa yang sedang direncanakan Yoga? Apa mungkin dia akan menyatakan cinta kepada gadis itu?
“Jadi, sudah mulai ada cinta yang tumbuh rupanya?” Tanyaku setelah beberapa jenak terdiam.
Senyum merekah di bibir Disya, aku dapat melihatnya dengan jelas ketika gadis itu akhirnya mengangguk untuk menjawab pertanyaanku. Ternyata secepat itu rasa tertarik yang sering Disya katakan, berkembang menjadi perasaan cinta. Aku ikut menyunggingkan senyum untuk sahabat kecilku itu.
“Ternyata hanya butuh waktu dua minggu saja bagimu untuk merubah suka menjadi cinta, Disya.” Ledekku.
“Seperti yang kubilang dulu, kita bisa memilih untuk jatuh cinta atau tidak setelah kita mengetahui sifat orang itu. Dan Yoga memenuhi segalanya untuk membuatku jatuh cinta.”
Tawa renyah Disya terdengar di telingaku sekarang, gadis berambut panjang itu benar-benar ceria hari ini.
“Ya-ya, aku berdoa yang terbaik buat kalian. Semoga cintamu itu bisa bersambut.”
“Terima kasih, Rayhan. Kamu memang sahabatku yang paling istimewa.” Gadis itu mengacungkan jempol tangannya kepadaku.
“Tapi ingat ya. Cinta itu bisa membawa kita ke arah bahagia, tetapi juga bisa membawa kekecewaan buat kita. Aku cuma pesen sama kamu, harus siap dengan semua kemungkinan yang akan terjadi ketika memutuskan untuk mencintai seseorang.”
“Aku mengerti kok. Seperti kata-kata di lagunya Sheila On 7 yang judulnya Jalan Terus, kan?”
“Yang mana?” Tentu saja aku tidak tahu lagu yang Disya maksud.
“Maka apapun yang terjadi akan ku jalani, akan ku hadapi dengan segenap hati walau ku terluka memang ku terluka tak pernah ku lari dari semua ini.” Lagi-lagi Disya mendendangkan lirik lagu dari band favoritnya itu.
“Sheila teruuus.”
“Iya dong, setiap lirik di lagu Sheila kan soundtrack hidupku.” Jawabnya sambil tertawa.
Aku menepuk jidat, benar-benar konyol anak ini.

“Baiklah sahabat muda, tidak terasa sudah dua jam VJ Rayhan menemani sahabat muda semua dalam sesi LDL, lagu dalam dan luar negeri. Terima kasih buat sahabat muda yang sudah mau bergabung dengan saya malam ini. Dan bagi sahabat muda yang request lagunya belum bisa di putar VJ Rayhan minta maaf, karena banyak sekali SMS yang masuk. Baiklah, untuk mengakhiri perjumpaan kita malam ini lagu terakhir yang akan saya putarkan, In The End dari Linkin Park. So, stay tund terus di 110.5 Bintang FM. Radionya anak muda. VJ Rayhan pamit. Asalamuallaikum warrahmatulahiwabarakatu.”
Aku memutar lagu yang kusebutkan tadi melalui mixer. Malam ini adalah jadwalku untuk menjadi penyiar di radio yang sudah sejak enam bulan ini kutekuni, sekedar hobi dan menambah uang saku tentu saja. Kulepas headphone yang sejak tadi menempel di telinga, aku menarik napas sejenak untuk menghilangkan penat.
Langkah kakiku membawaku keluar dari dalam ruang siaran. Ku rogoh saku celana dan mengambil sebungkus rokok dari dalamnya, memantik korek gas untuk menyalakan sebatang rokok. Asap putih berhembus dari mulutku, membawa sedikit rasa lelah akibat siaran tadi. Seorang teman nampak tersenyum sebelum masuk ke dalam ruang siaran, menggantikan waktuku yang sudah habis malam ini.
Jam yang melingkar di pergelangan tangan kiri menunjukkan pukul sembilan lebih lima belas menit, belum begitu malam untuk mencari makan di sekitar Stadion Satria. Aku beranjak menuju tempat motorku terparkir.
Jalanan malam ini tidak terlalu ramai, hujan memang baru reda sekitar setengah jam yang lalu. Aspal-aspal yang basah memantulkan bias cahaya kekuningan dari lampu kota, mengiringi laju motorku yang sengaja ku kemudiakan dengan pelan. Aku ingin menikmati malam ini.
Dua bungkus nasi kucing, dua mendoan hangat serta segelas teh tawar sudah berada di atas meja di depanku untuk mengisi perut yang sudah kelaparan sejak tadi, aku menikmatinya dengan lahap. Sesekali mataku melirik ke arah pengunjung lain, melihat wajah mereka satu persatu. Tidak ada wajah yang aku kenal di tempat ini.
Dering ponsel berbunyi ketika aku baru menghabiskan satu bungkus nasi kucing, ku ambil benda itu dari dalam celana. Wajahku berkerut, nama Disya tertera di layar, ada apa gadis ini menghubungiku. Bukannya dia sedang pergi makan bersama Yoga?
“Halo.” Sapaku ketika alat komunikasi itu sudah menempel di telinga.
Wajahku langsung berubah kaget ketika kudengar Disya berbicara sambil menangis. Kenapa dengan dia?
Aku menanyakan apa yang terjadi, dan kenapa dia menangis. Tetapi Disya hanya menyuruhku untuk bergegas menjemputnya di daerah alun-alun kota tanpa menjawab pertanyaanku. Dengan perasaan bingung dan khawatir kutinggalkan begitu saja makanan yang tersisa dan menuju kasir untuk membayar.
Aku segera melesat menuju ke tempat Disya sedang menunggu.
Ini yang kedua, selama aku mengenal gadis itu, ini kali kedua aku mengetahui dia menangis semenjak terakhir aku melihatnya saat kecil dulu. Kenapa dengamu, Disya?
Kudapati gadis itu sedang duduk seorang diri di pinggir jalan, di bawah pohon beringin yang tumbuh rindang di sudut alun-alun. Aku menghentikan motor dan berjalan menghampirinya. Mata Disya terlihat basah dan sendu, kujatuhkan pantat, duduk di sebelahnya.
“Ada apa?”
Disya masih terdiam dengan mata yang meneteskan air. Aku membelai rambutnya yang hitam dan panjang. Kubiarkan ia terus seperti itu sampai beberapa menit, menunggu Disya dapat menenangkan diri  dan mulai bercerita.
“Yoga ternyata sudah memiliki pacar, Rayhan. Tadi dia mengenalkannya kepadaku waktu makan malam.” Ucap Disya dengan lirih. Jelas sekali nada kecewa dari kalimatnya.
Aku menghela napas dalam-dalam, sahabatku sedang patah hati rupanya.
“Maaf, aku nggak tahu tentang itu.”
Disya mengangguk pelan, “Bukan salahmu kok. Yoga juga nggak salah, justru aku menghargai kejujurannya. Walaupun aku tetap tidak bisa menyembunyikan rasa kecewaku ini.”
“Lantas, apa yang akan kamu lakukan sekarang?”
Disya merengut, “Bukan seperti itu pertanyaannya, Rayhan.”
“Lalu?” Aku merasa bingung sekarang.
“Seharusnya kamu bertanya, apa yang harus aku lakukan untuk menghiburmu. Seperti itu harusnya.”
Aku tertawa kecil.
“Ya, ya. Bagaimana caraku untuk menghibur hatimu yang sedang patah hati itu?”
“Mungkin dengan membawaku ngebut sampai ke rumah.” Jawabnya dengan senyum kecil yang sudah kembali menghiasi bibirnya.
Aku terkejut mendengar permintaan Disya, tetapi tangan halus gadis ini sudah menarikku menuju motor sebelum aku bertanya lebih jauh lagi tentang permintaannya. Menyuruhku duduk dan menyalakan motor, lalu ia menyusul di boncengan.
Baiklah, kalau itu bisa membuatmu melupakan kesedihanmu, dengan senang hati akan kulakukan. Batinku berbisik.

CINTA DALAM TELEPON KALENG (Sudah Beredar Di Toko Buku Di Seluruh Indonesia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang