RAHASIA TRISTAN "Sesuatu yang mengecewakan terjadi sekali lagi dalam hidupku."

86 8 0
                                    

Hari Minggu siang, tidak seperti biasanya yang akan kuhabiskan untuk tidur seharian, kenyataannya sekarang adalah aku sedang sibuk memilih baju yang akan kupakai untuk menghadiri acara ulang tahun mama kak Tristan nanti sore. Kemarin kak Tristan berpesan kepadaku agar tampil secantik mungkin karena akan menjadikan aku pasangan pestanya nanti. Sudah banyak gaun yang keluar dari lemari pakaian dan kini tergeletak begitu saja di atas tempat tidur.
“Masa Alloh, Disya. Kenapa sampai berantakan seperti itu?” Mama yang tiba-tiba muncul dari balik pintu menatapku dengan wajah galaknya, aku hanya tersenyum simpul.
“Mama, bantuin memilih gaun yang cocok untuk dipakai Disya dong,” setengah merajuk kutarik tangan mama untuk ikut memilih baju bersamaku.
“Memangnya kamu mau kemana? Ini kok sampai dikeluarin semua sih, pokoknya mama nggak mau tahu, nanti kamu harus beresin lagi.”
“iya, Ma. Nanti Disya beresin lagi. Tapi bantuin Disya dulu sekarang.”
Aku mengambil satu gaun terusan berwana hitam, menempelkan di badanku dan menunggu mama untuk memberikan penilaian. Wajahku berubah masam ketika mama menggelengkan kepala. Lalu tanganku kembali meraih satu gaun, kali ini berwarna krem dengan model bordiran melingkari leher. Mama kembali menggeleng, membuatku menggaruk sisi kening.
“Terserah mama aja deh.” Aku merasa jengah karena sudah hampir setengah jam memilih gaun dan belum menemukan yang akan membuatku tampil cantik nanti. Kujatuhkan pantat di tepi ranjang dengan wajah yang masam.
“Sayang, yang bikin kamu cantik itu bukan gaun yang akan kamu pakai. Itu kan hanya sekedar untuk mendukung penampilanmu saja. Yang lebih utama justru kecantikan hati, bagaimana perilakumu, dan bagaimana caramu memperlakukan orang lain. Itu akan membuatmu tidak hanya dipandang cantik oleh orang lain, tetapi akan lebih dari itu.”
Aku mendengarkan penuturan mama yang saat ini sedang duduk di sebelahku, tangannya yang halus membelai rambutku dengan lembut.
“Pakai ini saja, pasti kamu akan terlihat cantik dan anggun.” Mama menyodorkan sebuah gaun tanpa lengan berwarna putih kepadaku, gaun yang sebelumnya bahkan tidak aku coba.
Aku menerimanya, lalu menempelkan di badan. Menatap bayanganku pada cermin, berputar ke kanan dan kiri, sampai akhirnya aku tersenyum puas. Pilihan mama benar-benar tepat untukku.
“Makasih, mama,” aku memeluk wanita yang selalu memberikan kasih sayangnya kepadaku itu. Kukecup kedua pipi dan keningnya.
“Ya udah, ayo diberesin lagi. Masukin ke lemari,” perintah Mama seraya memungut beberapa baju-baju yang berserakan di atas tempat tidur. Aku melakukan hal serupa seperti beliau.
“Mama jarang lihat kamu pulang sekolah bareng Rayhan sekarang?”
Aku memasukkan baju yang sudah kurapikan ke dalam lemari. “Iya, ma. Beberapa minggu ini memang Disya lebih sering pulang bareng temen Disya yang kemarin Disya kenalkan ke mama itu. Rayhan juga sering ada acara sendiri.”
“Kalian lagi nggak berantem kan?”
Aku tersenyum mendengar pertanyaan mama, “Nggak, mama, aku sama Rayhan lagi nggak berantem kok.”
Aku melihat mama seakan tersenyum lega, “Syukurlah kalau begitu.”
“Emang kenapa sih, ma?”
Mama mengulurkan baju yang sudah dilipat rapi kepadaku, aku menyambutnya dan memasukkan ke dalam lemari yang tingginya sedikit di atasku itu.
“Nggak apa-apa. Kalian kan sudah berteman sejak kecil, kemana-mana selalu bareng. Jadinya ya mama sempat heran waktu mama lihat kalian jarang menghabiskan waktu bersama lagi.”
Mama memang benar, dulu aku dan Rayhan hampir setiap detik menghabiskan waktu bersama-sama. Mengerjakan pekerjaan rumah, bermain di belakang rumahnya, bersepeda keliling komplek, atau hanya untuk sekedar mengobrol melalui telepon kaleng. Aku melirik kaleng yang sudah beberapa hari ini tidak kusentuh, sudah cukup lama sepertinya aku dan Rayhan tidak melakukan kegiatan yang sudah kami lakukan sejak kecil itu.
Pyuh, aku mendesah pelan saat kurasakan ada jarak yang tercipta antara aku dan sahabatku itu. Seakan tercipta tembok tinggi di antara kami berdua sekarang. Tembok tinggi yang tidak terlihat namun menjauhkan aku dengan Rayhan.

Tepat pukul empat sore ketika kak Tristan menjemputku menggunakan Toyota Rush putih miliknya, aku yang sudah siap sejak lima belas menit yang lalu berpamitan kepada papa dan mama yang saat itu sedang menonton televisi berdua. Kak Tristan membuka pintu mobil untukku, aku mengembangkan senyum untuk mengucapkan terima kasih kepadanya.
“Kamu terlihat anggun sekali dengan gaun itu, Disya. Aku yakin nanti kamu akan menjadi pusat perhatian di pesta.”
Pujian yang diberikan kak Tristan sontak membuat wajahku berubah merah. Bibirku menampakkan senyum malu-malu.
“Belum apa-apa udah mulai gombal.” Balasku, mencoba untuk menutupi perasaan hatiku yang saat ini sudah bersayap, bersiap untuk terbang ke awing-awang.
Kak Tristan tertawa pelan, “Aku serius, kamu memang terlihat lebih cantik hari ini. Bikin betah yang memandang.” Cowok ini memang pintar sekali membuatku merasa tersanjung. Aku memukul lengannya pelan. Kami tertawa di dalam mobil yang membawaku dan kak Tristan menuju rumahnya.
“Kak Tristan juga keren kok.” Aku memberikan pujian jujur kepadanya yang saat itu mengenakan kemeja berwarna abu-abu. Rambutnya yang selalu ditata rapi juga tidak ketinggalan menunjang penampilan cowok itu. dan bulu-bulu tipis yang tumbuh di atas bibir dan di bawah dagu, semakin membuat aura laki-lakinya semakin terpancar.
“Kalau begitu, kita serasi dong,” mungkin kak Tristan hanya bermaksud bercanda saat mengucapkan kalimat itu, buktinya dia tertawa renyah saat ini. Membuatku juga ikut tertawa.
Kami berdua sampai di halaman rumah kak Tristan yang sudah ramai oleh orang-orang yang pasti diundang oleh mamanya untuk datang ke pesta. Beberapa dari Wajah-wajah itu pernah kulihat di sekolah. Mereka menatapku dengan berbagai ekspresi, membuatku sedikit tidak nyaman. Aku hanya mengenal kak Tristan di tempat ini, yang sekarang sibuk berbincang dengan tamu-tamu pestanya.
Kak Tristan menarik tanganku untuk masuk ke dalam rumah.
“Kenalin, ini mama dan papaku.”
Aku memberikan senyum kepada dua orang tua kak Tristan yang saat ini mengenakan pakaian yang menurutku pasti sangat mewah dan mahal. Mereka menyambutku dengan hangat, mencium kedua pipiku dengan lembut.
“Selamat ulang tahun, Tante,” ucapku seraya mencium kedua pipi wanita itu sekali lagi.
“Terima kasih. Cantik banget kamu, Disya,” lagi-lagi aku mendengar pujian untukku, kali ini keluar dari bibir tante Selly, mama kak Tristan. Om Herman nampak mengangguk setuju dengan pendapat istrinya.
“Terima kasih, Tante. Tante juga cantik.”
“Ya sudah, ayo langsung dimulai saja acaranya. Sepertinya tamu undangan sudah datang semua,” Komando Om Herman beberapa detik kemudian. Membuat kami menurutinya dan melangkah menuju kerumunan tamu.
Om Herman masih memberikan sambutan ketika kulihat wajah kak Tristan yang kembali memucat. Bibirnya gemetar, cowok itu terlihat sedang menahan sakit yang luar biasa sekarang. Berkali-kali mataku menangkap kak Tristan meremas dengan kuat jemari-jemari tangannya sendiri. Ada apa dengannya? Aku mulai khawatir dengan kondisinya.
Setengah berlari, pemuda itu meninggalkan pesta yang belum saja dimulai ini, mataku terus mengikuti arah langkah kaki kak Tristan yang terlihat sangat buru-buru. Setelah beberapa detik meragu, aku memutuskan untuk mengikutinya secara diam-diam. Sampai dia berhenti di sudut rumahnya yang sepi. Mata itu terlihat memandang sekitar dengan gelisah. Aku masih mengamati dari balik dinding, menyembunyikan kehadiranku darinya.
Sekarang kulihat kak Tristan sedang mengikatkan seutas tali ke tangan kirinya, lalu ia menusukkan jarum suntik. Aku sangat terkejut melihat apa yang sedang dilakukan oleh kak Tristan di depan mataku, air mata mengalir begitu saja tanpa bisa dicegah. Aku membungkam mulutku sendiri, dan berlari meninggalkan tempat itu. Meninggalkan laki-laki yang saat ini mungkin sedang menikmati pengaruh yang dia rasakan setelah menyuntikkan cairan haram itu ke tubuhnya sendiri. Rasa kecewa yang begitu besar membuatku tidak ingin melihatnya dalam kondisi seperti itu.
Aku kembali membaur dengan tamu undangan yang lain, serta merta kuhapus air mata di pipiku. Bersikap seolah-olah tidak pernah melihat apa-apa. Tante Selly berjalan menghampiriku. Kupaksakan senyum untuk menyambutnya.
“Tristan kemana ya? Kok malah ngilang.”
Aku berpura-pura mengedarkan mataku untuk mencari kak Tristan di antara tamu, sedetik kemudian kepalaku menggeleng. “Disya ngga tahu, Tante. Mungkin lagi ke kamar kecil,” aku terpaksa berbohong.
“Gimana sih, acara baru dimulai kok malah ngilang. Dasar Tristan.”
Aku hanya membisu, sekuat tenaga menahan perasaan kecewa yang benar-benar menghancurkan. Kenyataan yang baru saja terlihat memberikan jawaban untuk pertanyaanku selama ini. Alasan kenapa wajah Tristan terlihat pucat, tangannya selalu gemetar dan sorot matanya yang sayu.
“Nah, itu dia,” Tante Selly menunjuk ke satu arah, kak Tristan berjalan mendekati kami dengan sedikit sempoyongan.
“Dari mana sih, Sayang? Mama cariin dari tadi.”
Senyum tipis tercipta dari bibir pucat kak Tristan, ia mengulurkan sebuah kotak kecil dalam genggaman tangannya yang sejak tadi tersembunyi di balik punggung, “Selamat ulang tahun, ma,” tuturnya seraya membuka kotak itu.
Sebuah kalung berlian yang terlihat berkilau indah, kak Tristan mengalungkannya di leher tante Selly. Kedua mata wanita tua itu berbinar-binar sekarang. Aku masih menyaksikan kejadian itu dalam diam. Menatap kak Tristan dengan rasa tidak percaya akan apa yang sudah aku lihat beberapa menit lalu.
“Terima kasih, Tristan,” Tante Selly nampak sangat bahagia. Kemudian ia mencium kening dan pipi anaknya berkali-kali.
“Ya sudah, mama nemenin tamu yang lain dulu ya,” Tante Selly meninggalkan aku hanya berdua dengan kak Tristan.
“Something wrong?”
Aku tidak menunjukkan ekspresi apapun saat mendengar pertanyaan itu, mataku masih memandang tajam laki-laki yang kini sedang menatapku dengan keningnya yang berkerut. Rasa kecewa masih begitu besar bersarang di dalam hatiku.
“Aku mau pulang,”
Kak Tristan terlihat tercengang mendengar permintaanku, ia menatap dengan pandangan tidak percaya.
“Kenapa, Disya? Apa yang terjadi?”
“Aku bilang aku mau pulang. Sekarang.” Mataku yang mulai memanas menatap tajam ke arah kak Tristan, aku melepas cincin dari jari manisku dan melemparkan ke arahnya.
Ditempatnya, kak Tristan mematung dengan wajah yang menunjukkan kebingungan. Aku mendesah, lalu membawa langkahku menuju pintu rumah.
“Tunggu, Disya. Oke kamu pulang,  tapi aku anterin ya.”
“Nggak, aku nggak mau di anterin sama orang yang abis make,” suaraku tertahan, emosi benar-benar telah menguasaiku.
Wajahnya menunjukkan raut panik sekarang, “Kamu?”
“Iya, aku melihat apa yang kamu lakukan di belakang tadi. Kecewa aku sama kamu. Bener-bener nggak nyangka,” kulangkahkan kaki secepat mungkin, aku ingin segera meninggalkan tempat ini. Sebelum air mataku mengalir tanpa bisa ku bendung.
“Disya, aku minta maaf. Aku mohon dengerin penjelasanku dulu,” Kak Tristan menarik tanganku menuju sisi lain rumah. Menghindarkan kami dari pandangan tamu-tamu pesta.
“Apalagi, Tristan?” Pasti mataku sudah mulai basah sekarang.
“Aku mohon jangan marah sama aku,”
Senyum sinis kuberikan kepadanya, “Marah? Siapa yang marah kepadamu, mana berhak aku marah. Itu hidupmu, sama sekali bukan urusanku, bukan?”
“Lantas kenapa kamu bersikap seperti ini?”
Aku diam, tidak berminat menjawab pertanyaan itu. Kak Tristan duduk pada kursi kayu bercat putih, wajahnya tertunduk lesu. Ia seperti menunjukkan rasa penyesalan yang luar biasa dalam. Berkali-kali kudengar desahan napasnya yang berat.
“Orang yang kamu kenal di dalam itu, bukan papa kandungku. Dia menikahi mama tiga tahun yang lalu setelah mama resmi bercerai dengan papa kandungku. Aku menjadi pecandu sejak papa dan mama bertengkar setiap hari, membuatku jenuh. Sampai akhirnya aku lari ke barang itu.”
Kulihat matanya berkaca-kaca. Reflek ku lemparkan pandanganku ke arah lain, emosiku sedang tidak ingin mengasihinya.
“Aku terjebak dalam dunia hitam sejak keluargaku berantakan,”
“Itu bukan sebuah alasan. Dan memang nggak pernah ada alasan untuk membenarkan perbuatanmu,” aku berbicara tanpa menatap lawan bicaraku. Rasa enggan untuk menatapnya masih menyelimuti hati.
Kudengar kak Tristan mendesah dengan cukup berat, “Aku tahu, Disya. Aku tahu banget kalau apa yang aku lakukan itu salah. Hanya saja aku merasakan sakit yang luar biasa setiap kali mencoba untuk berhenti, aku tersiksa, Disya,” cowok itu meninju papan sandaran kursi dengan cukup keras.
“Kalau bisa berhenti, aku ingin sekali berhenti. Tetapi mana bisa kalau aku berusaha sendiri?”
Hatiku luluh mendengar pengakuannya, aku meletakkan pantatku di sebelahnya. Mungkin cowok ini justru merasa sangat menderita, aku jahat kalau meninggalkannya seorang diri sekarang.
“Kalau kamu memang benar-benar ingin berhenti, segeralah lakukan. Jangan cuma punya niat saja tanpa berusaha melakukan apapun. Dan kalau kamu merasa sendiri, kamu salah besar, Tristan. Apa kamu tidak menganggap mama kamu ada? Papa kandung kamu, papa tiri kamu, teman-teman kamu. Aku yakin mereka tidak akan meninggalkan kamu selama niat kamu memang ingin berhenti mengkonsumsi barang haram itu.”
Pelan-pelan aku menggenggam jemari kak Tristan. “Mumpung belum terlambat, jangan menunggu sampai sesuatu yang buruk terjadi sama kamu.” Senyum tulus ini kuberikan kepadanya. Dengan harapan bisa menyalurkan kekuatan untuk mendorongnya meninggalkan barang haram yang mungkin sudah lama dia konsumsi.
“Makasih, Disya. Aku janji sama kamu aku akan berhenti jadi pecandu.”
Aku menggeleng, “Jangan sama aku, tapi berjanjilah untuk dirimu sendiri. Juga untuk mama kamu,” aku menunjuk dengan mataku ke arah seorang wanita yang sejak tadi mendengarkan pembicaraanku dan kak Tristan. Wanita yang saat ini sedang menangis dalam diamnya.
Kak Tristan nampak terkejut melihat tante Selly sudah berada di dekatnya. Wajahnya menunjukkan penyesalan, membuatku juga ikut merasakan kesedihan ketika kak Tristan berlari untuk bersimpuh di kaki tante Selly. Air mataku kubiarkan tetap mengalir, tidak ingin aku mencegahnya membasahi pipiku.
Tante Selly mengangkat tubuh kak Tristan yang masih bersimpuh, menyuruhnya berdiri, lalu memeluknya dengan sangat erat. Aku bisa merasakan kasih sayang yang besar dari tante Selly untuk putranya itu. Perasaan lega menyentuh dinding hatiku sekarang. Berusahalah, Tristan.

CINTA DALAM TELEPON KALENG (Sudah Beredar Di Toko Buku Di Seluruh Indonesia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang