MENCINTA "Aku sudah memberikan sepenuhnya kepada Popi"

83 7 0
                                    

Sejak itu aku tidak pernah lagi melihat wajah kak Tristan di sekolah, banyak yang mengatakan kalau dia dan keluarganya pindah ke luar kota. Namun aku tahu persis dimana kak Tristan berada sekarang. Aku adalah satu-satunya orang luar yang ikut mendengarkan rencana keluarga mereka setelah mengetahui kak Tristan pecandu narkoba. Tante Selly dan om Herman langsung berinisiatif untuk memasukkan kak Tristan ke tempat rehabilitasi.
Aku adalah orang yang cukup menyayangkan kepergiannya, sebab sebentar lagi kak Tristan harus menghadapi ujian nasional. Seharusnya sekarang dia sedang mempersiapkan diri untuk itu. Tetapi yang dilakukan oleh tante Selly juga tepat, ini semua demi kebaikan kak Tristan sendiri.
Pyuh, aku menghela napas dalam-dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan.
Rayhan juga berkata kalau dia sudah jadian dengan Popi, nggak ada perasaan lain selain, aku ikut bahagia mengetahuinya. Akhirnya sahabatku itu bisa juga pacaran. Aku penasaran bagaimana Rayhan menjalani kisah cintanya. Mungkin akan sangat konyol. Dalam bayanganku pasti dia akan terus-terusan mengeluh karena merasa direpotkan oleh Popi, seperti yang selalu dia lakukan kepadaku.
Aku kangen Rayhan, entah kenapa sekarang perasaan itu menyeruak begitu saja mengiringi setiap detak jantungku. Aku merindukan laki-laki itu, laki-laki yang sekarang telah bahagia bersama orang lain.
Aku telah memutuskan untuk tidak pernah mengungkapkan perasaan ini kepadanya walaupun sebenarnya aku begitu merindukannya. Aku takut Rayhan akan menjauhiku jika aku mengatakan yang sebenarnya.
“Hey, ngalamun aja. Mikirin apa sih?” Rayhan mengejutkanku.
Laki-laki ini ada di sebelahku sejak tadi, tetapi entah kenapa tetap tidak dapat menghilangkan rasa rinduku. Justru membuatku semakin resah.
“Kamu nggak sama Popi?” Aku lebih memilih balik bertanya kepada Rayhan yang saat ini sedang mengoleskan minyak kayu putih ke tangannya.
“Dia lagi disuruh ngumpulin tugas kelasnya di meja guru.”
Aku mengangguk lemah, pandanganku masih menatap siswa-siswa yang masih asik bermain basket di lapangan. Mereka terlihat tetap bersemangat meskipun saat ini matahari bersinar cukup terik.
“Oh iya, Rayhan,”
“Ya?”
“Sekarang kan kamu sudah pacaran sama Popi. Emm, kalau misalnya kamu mau antar jemput dia waktu sekolah, nggak apa-apa kok. Aku bisa berangkat sendiri,” Aku sungguh-sungguh saat mengatakannya.
“Nggak harus gitu kok. Aku masih bisa berangkat dan pulang bareng sama kamu, Popi kan udah biasa pulang sendirian.”
“Rayhan, kamu harus bisa dong menjaga perasaan pacarmu. Aku nggak enak kalau misalnya nanti Popi cemburu karena aku masih berangkat dan pulang bareng kamu. Seharusnya itu sudah menjadi hak dia sebagai pacar seorang Rayhan,” Kupaksakan senyum melengkung di bibirku.
Rayhan terlihat tidak suka dengan usulku, tetapi memang seperti itu kenyataannya. Aku dan Popi sama-sama wanita, yang ingin setiap waktunya dihabiskan dengan orang yang dikasihi.
“Toh kemarin-kemarin juga seperti itu, kan?”
“Iya. Tetapi kemarin masih ada Tristan yang bisa nganterin kamu pulang.”
“Ada atau nggak ada dia, aku masih bisa pulang, Rayhan. Sekarang sudah beda keadaannya, kamu sudah ada Popi. Nggak enak rasanya kalau masih seperti biasanya.”
“Terserah kamu aja lah.”
Aku tahu Rayhan pasti kecewa dengan permintaanku, sama halnya dengan yang kurasakan sekarang. Jauh di dalam hatiku sama sekali tidak menginginkan apa yang baru saja aku katakan benar-benar terjadi. Aku masih ingin Rayhan menungguku saat berangkat dan pulang sekolah. Jika aku adalah orang yang egois, hal itu akan kulakukan tanpa memikirkan perasaan Popi.
“Kamu marah?”
“Nggak, siapa juga yang marah?”
“Nah itu, wajahnya manyun gitu. Kalau nggak marah, senyum dong.”
Rayhan memaksakan senyumnya, “Nih senyum nih,” itu membuatku tertawa gemas. Aku menjitak kepala Rayhan pelan.

Permintaan Disya yang menyuruhku untuk tidak menunggunya saat berangkat dan pulang sekolah terpaksa aku turuti. Sebagian dari diriku membenarkan apa yang Disya katakan tadi. Tetapi sebagian lagi merasa kalau itu akan berat untuk kulakukan, aku tidak pernah biasa berangkat dan pulang tanpa Disya di belakang boncengan motorku. Meskipun itu sudah terjadi beberapa kali waktu Tristan masih bersekolah di sini.
Meskipun secara resmi aku memang sudah berpacaran dengan Popi, tetapi hati ini sepenuhnya masih milik Disya. Tidak tergantikan sampai sekarang, oleh Popi sekalipun yang saat ini adalah kekasihku. Sampai detik ini aku belum benar-benar bisa untuk sepenuhnya mencintai gadis berkacamata itu.
“Sayang, kok diem aja sih?” Popi membuyarkan lamunanku. Aku dan dia sedang berhenti di sebuah kafe di daerah Unsoed.
“Eh, nggak apa-apa kok. Enak nggak minumannya?” buru-buru kuajukan pertanyaan agar Popi tidak curiga kepadaku.
“Enak kok, butternya kerasa banget. Manisnya juga pas.”
Aku tersenyum mendengar jawaban Popi, “Dulu aku dan Disya sering mampir ke sini habis pulang sekolah,” ucapku tanpa beban.
Popi sempat melirik sebal ke arahku, lagi-lagi aku merutuki kebodohanku yang tidak bisa menahan untuk tidak membicarakan Disya di depan Popi. Meskipun jarang ditunjukkan, tetapi aku tahu kalau gadis ini pasti merasa cemburu jika aku mulai membicarakan tentang Disya. Aku tidak sengaja, semua keluar begitu saja dari mulutku.
“Eh, sebentar lagi ulangan akhir semester, bagaimana kalau kita sering-sering belajar bareng? Biar belajarnya makin semangat.”
“Yang ada kita lebih banyak pacarannya dari pada belajar. Tapi ayo deh,” Lagi-lagi Popi sudah bisa merubah moodnya.
“Oke, mulai kapan?”
“Lebih cepat lebih baik,” jawabnya sambil tersenyum manis. Membuatku harus mengakui kalau senyum itu adalah salah satu yang membuatku memutuskan untuk menjadikan Popi sebagai kekasih.
“Baiklah, bagaimana kalau besok?”
Popi menempelkan ujung jari-jarinya ke pelipis kanannya, “Siap komandan,” serunya menirukan gaya hormat.
Aku membelai rambut Popi yang hitam dan sepanjang bahu, kulihat dia begitu menikmati apa yang sedang kulakukan kepadanya.
Popi, maaf, aku masih berusaha untuk bisa mencintaimu. Berilah waktu sebentar lagi buatku untuk menumbuhkan cinta untukmu. Janjiku kepada diri sendiri.

CINTA DALAM TELEPON KALENG (Sudah Beredar Di Toko Buku Di Seluruh Indonesia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang