HATI YANG LAIN "Tidak ada salahnya, mencoba membuka hati untuk orang lain."

94 8 0
                                    

Aku sedang berada di perpustakaan sekolah bersama, Popi. Yap, akhir-akhir ini aku lebih sering bersamanya jika di sekolah. Tidak seperti biasanya yang pasti ada Disya di sampingku. Biarkan saja, toh dia pasti sedang bersama Tristan sekarang. Tentu saja tidak salah kalau aku juga memilih untuk bersama Popi, bukan?
“Hey, lihat. Sekarang gadis-gadis di sekolah ini ganti menatapku dengan galak karena kedekatan kita,” Popi mengatakannya, lebih seperti berbisik tentu saja. Karena kami sedang berada di perpustakaan.
“Ah, cuekin aja. Anggep aja kamu putri kecantikan yang membuat mereka iri.”
“Tapi tetap nggak nyaman, Rayhan.”
“Lantas bagaimana? Apa kita nggak usah dekat-dekat?”
Kulihat wajah Popi menunjukkan mimik menolak setelah mendengar usulku. Dia menggeleng cepat-cepat, wajahnya seakan berharap aku tidak melakukan apa yang baru saja kukatakan.
“Ya udah, toh kamu nggak melakukan kesalahan apa-apa, kenapa harus merasa nggak nyaman? Disya aja bisa kok bersikap biasa aja.”
Entah kenapa aku merasa bicaraku sedikit keterlaluan. Popi tertunduk di depanku sekarang. Membuatku merasa tidak enak. Aku meletakkan telapak tangan di atas kepala Popi, lalu mengacak-acak rambutnya. Popi mengangkat wajah, langsung kuberikan senyuman saat itu juga kepadanya.
“Nanti pulang sekolah kita main yuk, kamu pengin kemana?”
Wajah Popi antusias menanggapi ajakanku, masam yang tadi ia tunjukkan telah berganti menjadi sebuah senyuman. Membuatku dapat bernapas lega. Sifat ini tidak jauh berbeda dengan Disya, sama-sama mudah untuk kembali ceria.
“Bagaimana kalau main time zone?”
Tanpa pikir panjang aku langsung menyetujui usulan gadis berkacamata ini. “Siip. Habis itu sekalian makan ya?”
Mata Popi semakin berbinar, ia menganggukan kepala dengan mantap. Aku tersenyum, dan kembali mengacak-acak rambutnya yang lembut. Membuat Popi harus kembali menata rambut yang sekarang berantakan akibat ulahku. Namun hal itu tidak menghilangkan senyum di bibirnya.
Aku kembali teringat dengan rencanaku dulu, mencoba untuk membuka hati kepada gadis selain Disya. Ah, mungkin saja Popi adalah gadis yang tepat. Dia tidak kalah menyenangkan seperti Disya.
“Eh, tapi bagaimana dengan Disya? Dia pulang sama siapa nanti?”
Pertanyaan Popi mengingatkan aku tentang gadis itu. Kami masih berangkat bersama tadi. Benar juga, dengan siapa Disya akan pulang nanti? Namun pertanyaan itu hanya terbersit beberapa detik, karena aku teringat sosok Tristan yang pasti bersedia mengantarkan Disya.
“Tenang, Disya bisa pulang sendiri kok.”
“Yakin?”
“Iya.” Kupaksakan senyum di bibirku untuk meyakinkan Popi agar dia tidak usah memikirkan Disya. Berhasil memang, gadis itu kembali asik dengan buku bacaan yang sejak tadi terabaikan karena percakapan kami.
Diam-diam aku memejamkan mata, benarkah yang sedang aku lakukan sekarang? Bagaimana cara untuk memulai cinta terhadap gadis ini? Lantas, apa yang harus aku lakukan kalau aku bisa mencintai Popi? Pikiranku benar-benar serba salah, bingung terhadap diriku sendiri.
Popi menatapku lagi sembari tersenyum, wajahnya benar-benar menunjukkan keceriaan. Senyuman yang ditunjukkan oleh orang yang berbeda, namun memiliki rasa yang sama. Senyuman Popi dan senyuman Disya sama-sama menghadirkan ketenangan bagi orang yang melihatnya, Bagiku. Dan aku membalas senyum Popi.
Bel listrik terdengar, membuat kami harus mengakhiri aktivitas membaca buku, atau lebih tepatnya aku hanya sekedar menemani Popi membaca buku karena sejak tadi hanya membolak-balik halaman tanpa membaca satu huruf pun dari buku yang kupegang

“Dari mana?” pertanyaan itu sama-sama terucap dari bibirku dan Disya ketika kami bertemu di bangku kelas. Membuat kami tersenyum canggung.
“Emm, kamu duluan deh.” Aku mempersilahkan Disya menjawab terlebih dahulu.
“Biasa, dari kantin. Aku nggak lihat kamu di sana tadi, kemana?”
“Perpustakaan.”
Aku melihat satu alis Disya terangkat, “Tumben? Lagi ada angin apa kok sampai kesasar di perpustakaan?”
Aku tertawa kaku, entah kenapa sejak tadi hanya ada rasa canggung yang tercipta di antara aku dan Disya. Tidak pernah seperti ini sebelumnya.
“Em, Popi yang mengajakku ke sana tadi.”
Lagi-lagi kulihat raut terkejut dari wajah Disya, “Popi?”
Percakapan kami sempat terhenti beberapa saat karena bu Mariana, guru IPS kami memasuki kelas. Membuat suasana yang semula gaduh tersihir oleh kedatangan beliau, semua siswa duduk di tempatnya masing-masing dengan keadaan tenang. Siap menerima materi pelajaran yang akan diberikan.
“Iya, Popi anak kelas dua IPA dua. Kenal kan?” Lanjutku setengah berbisik, sambil melirik penuh waspada kepada guru yang saat ini terlihat sedang menyiapkan buku-buku pelajaran.
Disya mengangguk, “Iya,”
“Sekarang aku lagi deket sama dia,” tuturku dengan jujur.
Senyum itu, walaupun masih tetap menenangkan tetapi kali ini terasa berbeda sekali, bukan senyum yang biasa menghiasi bibir Disya. Apa yang terjadi dengan Disya? Mungkinkah lagi-lagi dia patah hati?
“Akhirnya kamu bisa dekat juga sama cewek, Rayhan. Good job,” Disya mengacungkan dua jempolnya ke araku.
Aku tertawa kecil, “Iya dong, ntar malah rencananya aku mau main dulu sama dia pulang sekolah. Kamu pulang sama Tristan lagi, kan?”
Disya mengangguk setelah terlihat berpikir beberapa saat, “Iya, aku akan pulang bareng kak Tristan lagi nanti. Kamu tenang aja, sudah lama aku ingin melihatmu dekat sama cewek lain. Akhirnya sekarang terwujud juga.”
“Hahaha, ada-ada saja kamu. Aku kan baru masa penjajakan, sama seperti kamu dengan Tristan, semua masih belum pasti. Iya kan?”
“Iya, memang. Tetapi ini tetap saja sebuah peningkatan di dalam hidupmu. Udah ah, aku mau ndengerin penjelasan bu Mariana dulu.”

“Ini, ini. Aku ingin main yang ini,”
Popi menunjuk ke sebuah mesin time zone yang berupa permainan untuk memukul lampu-lampu berbentuk semut yang akan menyala secara acak menggunakan palu karet. Aku menggesek kartu time zone di mesin itu untuk mulai bermain. Beberapa kali Popi memukulkan palu karet itu pada semut yang menyala, sedangkan aku menggunakan telapak tangan untuk memukulnya. Terkadang bahkan tanpa sengaja Popi justru memukul tanganku karena target kami ternyata sama. Membuat kami tertawa riang bersamaan.
Aku menarik beberapa lembar kupon yang keluar dari mesin time zone setelah waktu bermain kami habis. Kini Popi memintaku untuk berpindah pada mesin yang lain, dari satu permainan ke permainan yang lain. Sampai tidak terasa saldo dalam kartuku telah habis. Kulihat Popi menampakkan wajah kecewa.
“Aku isi saldo lagi aja ya?” Tidak tega juga memandang wajah kecewa gadis ini.
“Eh, nggak usah, boros itu namanya. Aku sudah puas banget kok.”
“Beneran?”
Popi mengangguk mantap.
“Ya udah, kita tukerin kuponnya yuk. Kamu aja yang milih mau dituker sama apaan,” aku menarik tangannya dengan lembut.
Popi nampak memilih-milih sesuatu yang akan ditukarkan dengan kupon yang kami dapatkan dari bermain time zone tadi, sampai akhirnya ia menjatuhkan pilihan kepada satu boneka beruang berukuran agak besar, menurutku. Seperti boneka yang ada di kamar Disya, batinku menebak.
Popi terus memeluk boneka itu dengan wajahnya yang ceria sampai kami tiba di sebuah restoran fast food yang terletak beberapa meter di sebelah tempat kami bermain time zone tadi.
Langkah kami disambut oleh sebuah lagu yang sudah sangat familiar bagi telingaku ketika kami berdua masuk ke dalam restoran tersebut. Seseorang sering bernyanyi lagu yang sama, yang saat ini sedang diputar di dalam tempat ini. Membuatku tanpa sadar tersenyum sendiri.
“Suka Sheila On 7?” Pertanyaan Popi tidak lantas membuat senyum di bibirku menghilang.
“Bukan aku, tapi Disya.” Jawabku sambil berdiri mengantri untuk memesan. Popi berdiri di sampingku.
“Oh,”
“Iya, Disya sangat suka Sheila On 7. Albumnya aja lengkap dari yang pertama sampai yang paling baru. Terus lagunya juga hapal semuanya, sampai-sampai tiap hari nyanyinya lagu Sheila. emang fanatik tuh anak.” Aku menjelaskan dengan penuh antusias meskipun kulihat Popi hanya tersenyum menanggapinya.
“Belum lagi poster-poster yang hampir nutupin dinding kamarnya, yang paling banyak tuh posternya si Duta. Pokoknya pernak pernik tentang Sheila udah lengkap deh dia.” Tanpa sadar aku terus bercerita mengenai Disya kepada Popi. Sampai akhirnya tiba giliran kami untuk memesan.
“Kok diem?” Kami berjalan menuju salah satu meja yang terdapat di sudut dalam restoran itu. Aku melihat Popi yang murung.
“Hah, eh, enggak kok. Aku lagi ndengerin ceritamu tentang Disya, kayaknya kamu semangat banget. Makannya aku ngga berani nyela.”
“Memang begitu, Disya tuh gadis yang konyol dan sedikit menyebalkan.”
“Sayangnya Disya nggak ikut kita ya sekarang,”
Aku langsung menyadari kebodohanku setelah mendengar penuturan Popi. Kalimat tadi seperti sebuah sindiran bagiku yang terus menerus membicarakan tentang Disya, terang saja Popi jadi murung seperti itu. Bodoh, bodoh, bodoh. Aku merutuki diriku sendiri yang tidak bisa peka dengan keadaan.
“Kalau kamu, sukanya sama band apa?” Aku harus segera mengusir kecanggungan yang aku buat sendiri ini.
“Kalau aku sih orangnya easy, musik apa aja bisa aku nikmati. Asalkan enak di dengernya. Kamu kan orang radio pasti paham lah.”
“Iya, aku ngerti. Kamu termasuk orang yang bisa menerima aliran musik apa aja, dari yang teriak-teriak seperti metal, underground, punk. Sampai yang berirama pelan layaknya keroncong atau campur sari sekalipun, begitu kan?”
Popi mengangguk dan tersenyum, “Tepat. Seratus buat kamu,” dia mengacungkan jempol tangannya.
Cepat sekali anak ini berubah ceria kembali. Sifatnya benar-benar sama persis dengan Disya yang tidak suka berlama-lama dalam kesedihan. Sama-sama tipe orang yang bisa mengatur emosi jiwanya agar cepat kembali stabil. Popi sering mengingatkan aku kepada Disya. Itu adalah salah satu alasan aku nyaman berada di dekatnya. Alasan yang sampai kapanpun tidak akan aku katakan kepada Popi.
Selanjutnya kami terdiam sejenak, aku menikmati santapan yang kini hanya tinggal tersisa setengahnya. Sedangkan milik Popi kulihat masih banyak yang belum dimakan. Gadis ini rupanya cukup lama ketika menikmati makan.
“Kamu masih sering main telepon kaleng sama Disya?” Pertanyaan yang tiba-tiba keluar dari mulut Popi membuatku terkejut. Aku tidak pernah menduga Popi akan menanyakan apapun yang berhubungan dengan Disya.
“Enggak, sudah lama kami tidak melakukannya. Bahkan sejak kita bertemu waktu aku membeli kaleng baru di toko ibumu dulu, kami belum menyentuhnya sampai sekarang,” jawabku sambil tersenyum kecut.
“Kenapa?”
“Yah, jelas karena kesibukan kami yang sekarang sudah berbeda. Disya sering pergi sama kakak kelas kita, Tristan. Aku juga sering siaran. Kadang Disya di rumah, aku ada jadwal siaran, saat aku libur, gantian Disya yang enggak di rumah.”
“Ada yang kurang?”
“Maksudmu?”
Popi menyeruput minuman bersoda dari gelasnya, “Kamu ngerasa ada yang kurang sejak kalian lama tidak melakukan itu?”
“Ya, ya, enggak juga sih,” aku bingung untuk menjawabnya, “Toh aku sama Disya kan bukan anak kecil lagi. Yang menganggap telepon kaleng itu adalah sesuatu yang benar-benar istimewa, jalan pikiranku sudah beda sekarang, mungkin begitu juga dengan Disya.”
“Lantas, kenapa kamu masih beli kaleng baru waktu itu?”
Skakmat, pertanyaan Popi tepat sekali untuk membuatku bungkam sekarang. Tidak ada jawaban tepat meskipun aku sudah memikirkannya bermenit-menit, aku tidak dapat menemukan alasan. Hanya diam yang kuberikan kepada Popi, yang saat ini sedang tersenyum di hadapanku.
“Tenang saja, Rayhan. Kamu tidak perlu panik seperti itu. Aku hanya sekedar bertanya kok, nggak harus dijawab,” gadis itu tersenyum penuh pengertian, yang justru membuatku merasa tidak nyaman.

CINTA DALAM TELEPON KALENG (Sudah Beredar Di Toko Buku Di Seluruh Indonesia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang