MEMILIHMU "Percayakan perasaanmu padaku, akan kujaga semampuku."

94 9 0
                                    

“Aku jadian sama Kak Tristan.”
Pengakuan Disya yang disertai dengan wajah berseri-seri itu cukup untuk menghilangkan semangatku mengikuti pelajaran hari ini. Aku harus tetap tersenyum meskipun ada pilu yang tiba-tiba terasa.
“Selamat ya,”
“Iya, Rayhan, terima kasih. Kamu ikut bahagia kan?”
“Tentu saja aku bahagia, karena aku tidak perlu khawatir akan terus-terusan dibuat repot olehmu. Sudah ada Tristan sekarang.”
Jam pelajaran sudah dimulai sejak sepuluh menit yang lalu, tetapi belum ada tanda-tanda kedatangan pak Daryono, guru sejarah yang akan mengajar pada jam pertama di kelas kami. Dasar, coba saja murid yang terlambat seperti itu, pasti sudah mendapat ceramah dan wejangan yang dapat membuat telinga memerah.
“Kak Tristan menyatakan cintanya dengan cara yang romantis, menurutku,” Disya masih terus mengucapkan kalimat yang semakin membuyarkan semangatku.
Aku berdiri, mengeluarkan kedua kaki keluar dari sela-sela antara bangku dan meja.
“Mau ke mana? Ceritaku belum selesei, Rayhan.”
“Keluar sebentar, pak Daryono juga nggak dateng-dateng.”
Kulangkahkan kaki keluar kelas, berjalan di lorong sekolah yang sepi, lalu menuruni anak tangga yang juga tidak ada orang selain aku. Suara-suara guru terdengar dari dalam kelas, sedang menerangkan materi pelajaran kepada siswa. Aku masih melangkahkan kaki menuju UKS, tiduran di ruangan itu pasti bukan ide yang buruk sekarang.
Namun langkahku berhenti sebelum aku sampai, kedua mataku menangkap sosok Popi yang nampak asik menikmati siomay di kantin. Pakaian olahraga menggantikan seragam pramuka yang wajib dipakai pada hari Jumat dan Sabtu. Aku mengurungkan niat menuju UKS, lebih memilih untuk mendekati Popi yang langsung sadar dengan kehadiranku.
“Kok disini?” Popi langsung menyambutku dengan mengajukan pertanyaan itu, aku duduk di seberang meja. Berhadapan dengannya.
“Pelajaran kosong, tadinya mau ke UKS buat tiduran. Eh malah ketemu kamu,” jawabku seraya merebut sendok dari tangan Popi, lalu menyuapkan satu potong siomay ke mulutku.
“Kamu sendiri, kenapa ada di sini?”
Popi menenggak air mineral dari botol, ia mengelap sudut bibirnya yang sedikit basah dengan punggung tangan, “Olahraganya renang. Aku ngga bisa ikut karena ini hari pertamaku,”
Aku sempat berpikir sejenak sebelum akhirnya mengerti dengan apa yang dimaksud hari pertama oleh Popi. Membuatku tersenyum, Popi mengucapkan itu seakan tanpa beban. Padahal dia berbicara dengan seorang cowok.
“Kamu udah lama di sini sendirian?”
“Lumayan, cukup untuk menghabiskan satu porsi siomay. Itu seharusnya porsi keduaku,” jawab Popi sambil menunjuk piring siomay yang kini beralih di bawah kekuasaanku.
Aku sedikit tersedak, beruntung Popi buru-buru menyodorkan botol air mineral yang sejak tadi berada dalam genggaman tangannya. Aku langsung menenggak air mineral itu sampai tandas.
“Gila kamu, makan siomay sampai dua porsi?” Aku berdecak heran.
“Satu setengah, karena yang setengah lagi sedang kamu makan.” Ralat Popi sambil tersenyum simpul. Ia masih menatapku yang kembali asik melahap siomay sisa miliknya.
“Kenapa?”
“wajahmu tidak tampan, tetapi juga tidak membosankan,”
Tawa meledak begitu saja ketika aku mendengar penilaian jujur tentangku dari Popi. Gadis ini benar-benar jujur, atau polos sebenarnya? Dia selalu mengatakan begitu saja apa yang ada dalam pikirannya, tanpa berpikir bagaimana reaksi dari orang yang diajak bicara. Beruntung aku sudah cukup hapal sifatnya itu.
“Wajahmu menyebalkan,” aku membalas omongan Popi dengan bercanda.
Gadis itu langsung menjulurkan lidah dilanjut dengan memasang wajah cemberut. Membuat tawa dari bibirku semakin renyah terdengar. Ah, lupakan saja tentang hubungan Disya dengan Tristan. Bersama Popi aku juga bisa merasa nyaman.
“Eh, ntar aku antar pulang ya. Mau?”
Popi mengangguk cepat, senyumnya semakin lebar terlihat.

“Kamu mau jadi pacar aku?” Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutku.
Sementara di hadapanku, Popi terlihat sedang mencoba percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Wajahnya menunjukkan itu. Sudah terlanjur, aku tidak akan menarik kata-kataku lagi.
Kami baru saja sampai di depan gerbang rumahnya.
“Kamu serius?”
Aku mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Popi, “Aku nyaman saat di deketmu, aku bisa tertawa, aku bisa tersenyum, dan aku yakin aku bisa bahagia bersamamu. Bagaimana, Popi?”
Gadis itu menggigit bibir bawahnya, nampak sedang menimbang. Aku tersenyum, menunggu dengan sabar. Kami sedang berada di depan pintu gerbang rumah gadis ini, aku baru saja mengantarnya pulang.
“Iya, aku mau,” jawab Popi akhirnya.
Kulihat wajahnya yang berseri-seri, aku tahu dia bahagia sekarang. Kedua matanya berbinar, semakin menambah keindahan yang memang sudah ada. Popi cantik, aku mengakuinya, hanya saja perasaan ini belum sepenuhnya bisa aku berikan kepada Popi. Masih ada tempat dalam hatiku untuk, Disya.
“Makasih ya, udah ngasih aku kesempatan.” Aku meraih kedua tangan mungil Popi ke dalam genggamanku, kuberikan senyum untuk meyakinkannya.
Popi meraih wajahku, mengusapnya dengan lembut beberapa kali. Membuatku sempat merasakan kenyamanan yang belum pernah kurasakan, aku menikmatinya.
“Aku sayang sama kamu,” ujarnya dengan lirih, membuat rasa bersalah langsung memenuhi hatiku dengan seketika.
“Begitu juga denganku, Popi. Aku menyayangimu.” Meskipun tidak sepenuh hati, namun aku berharap ucapanku barusan akan menjadi kenyataan suatu saat nanti. Semoga.
“Ya udah, aku pulang dulu ya. Udah sore,”
Popi mengangguk, ia memberikan senyumnya yang selalu membuat aku betah untuk menatapnya lama-lama. Kulajukan sepeda motor untuk meninggalkan Popi di depan pintu gerbang rumahnya. Ada perasaan menyesal yang tiba-tiba menghampiri, apakah benar yang aku lakukan? Atau, ini hanya pelarianku saja karena Disya sudah lebih dulu berpacaran dengan Tristan?
Aku menyatakan sesuatu yang sebenarnya tidak ingin kukatakan, sesuatu yang belum benar-benar aku rasakan kehadirannya. Belum ada cinta untuk Popi, hanya sekedar perasaan nyaman. Itu saja, tidak lebih. Dan sekarang semua sudah terlanjur. Aku tidak akan sampai hati untuk menyakiti hati gadis yang baru saja aku antar pulang itu. aku tidak sejahat itu.
Hati dan pikiranku berkecamuk memikirkannya. Sekarang, aku sudah berpacaran dengan Popi. Roda-roda sepeda motorku terus berputar, mengantarku menyusuri jalanan aspal menuju rumah dengan membawa berbagai pertanyaan yang tidak bisa kutemukan jawabannya. Aku mendesah pelan, membuang semua beban yang sekarang memenuhi hati. Popi, aku harap aku tidak akan pernah menyakitimu.

CINTA DALAM TELEPON KALENG (Sudah Beredar Di Toko Buku Di Seluruh Indonesia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang