SEKOLAH BARU "Aku selalu berharap bisa bersahabat denganmu"

240 16 0
                                    

Aku berdiri dengan menyandarkan punggung pada tembok keliling rumahku sejak lima menit yang lalu. Rumah yang baru tiga hari ditempati oleh keluargaku ini memang lebih besar dari rumah kami sebelumnya, dengan halaman yang juga lebih luas. Cukup nyaman untukku.
Aku langsung merasa kerasan tinggal di rumah ini.
Ini hari pertamaku berangkat ke sekolah yang baru. Jantungku terasa berdetak lebih cepat dari biasanya, grogi untuk bertemu dengan teman-teman baru di sana. Karena itu aku memutuskan untuk berangkat bersama Rayhan. Yah, walaupun anak itu tidak menyambut ramah kehadiranku kemarin, paling tidak ada seseorang yang ku kenal nantinya.
Rumah Rayhan masih tertutup, pikiranku mengatakan anak itu pasti belum berangkat. Keluarga mereka benar-benar keluarga yang sangat ramah, kecuali Rayhan tentu saja. Entah kenapa dia selalu memasang wajah cemberut kemarin, mungkin karena kami baru pertama kali bertemu.
Tidak berapa lama pintu rumah Rayhan perlahan terbuka, menampakkan wajah anak laki-laki itu dari baliknya. Akhirnya dia muncul juga, aku bisa bernapas lega sekarang. Di belakang Rayhan tante Vita terlihat mengikuti anak bungsunya, membiarkan bocah itu mencium punggung tangan beliau.
Rayhan berjalan ke arahku. Ekspresi pertama yang aku lihat dari wajahnya pagi ini adalah bingung. Mungkin dia bertanya-tanya melihatku sedang berdiri di depan gerbang rumah lengkap dengan seragam sekolah putih dan merah.
“Sedang apa kamu di situ?”
“Menunggumu.”
Aku memasang senyum semanis mungkin agar Rayhan tidak menunjukkan sikap dinginnya lagi. Gagal total.
“Maksudmu?”
“Aku ingin berangkat sekolah bersamamu. Aku merasa sedikit grogi, ini hari pertamaku ke sekolah baru.”
Aku mendengarnya berdecak sambil menggelengkan kepala, lalu melanjutkan langkahnya. Membuatku hanya bisa menghela napas, kemudian membuntuti di belakangnya. Bagaimanapun, aku membutuhkan Rayhan hari ini untuk membantuku beradaptasi dengan lingkungan baru. Aku juga tidak berani berangkat sekolah seorang diri.
“Kenapa harus menungguku? Orang tuamu bisa mengantarkanmu, bukan?”
“Iya, tapi menurutku berangkat bareng kamu jauh lebih baik. Aku tidak perlu kebingungan mencari kelas nanti, karena tentu kita akan satu kelas.” Aku terus mencoba mensejajarkan langkahku dengan Rayhan. Anak ini cepat sekali ketika berjalan.
Rayhan terlihat mengeluarkan sesuatu dari dalam saku seragamnya, aku melirik. Ternyata sebotol minyak kayu putih ukuran kecil yang sekarang berada di tangan kanannya. Aku masih mengamati dengan penasaran.
Dia mengeluarkan sedikit cairan itu di telapak tangan, lalu mengoleskan ke bagian leher dan lengannya.
“Apa yang kamu lakukan?” Rasa penasaranku sudah terlanjur semakin besar.
“Kamu tidak melihatnya sendiri?”
Anak ini benar-benar tidak bisa bersikap ramah denganku.
“Aku melihatnya. Maksudku, kenapa kamu mengoleskan minyak kayu putih itu? Apa kamu sedang sakit?”
Dia menggeleng, “Aku hanya menyukai aromanya. Aku akan mengoleskan kayu putih ke tubuhku kapanpun saat aku ingin.”
Satu lagi hal aneh yang aku ketahui dari Rayhan. Bocah ini mengoleskan minyak kayu putih ke tubuhnya hanya karena menyukai aroma dari cairan itu. Selama ini yang aku tahu, mama mengoleskan kayu putih hanya ketika aku merasa gatal setelah digigit nyamuk. Atau ketika aku sedikit tidak enak badan.
“Ada-ada saja kamu. Dan kamu selalu membawa botol itu kemanapun?”
“Tentu saja, ini sudah menjadi kebiasaanku sejak dulu. Kenapa memang?”
Aku membenarkan letak tas punggungku yang sedikit melorot. Tas yang sudah aku miliki sejak kelas empat ini memang terlalu besar untukku yang bertubuh kecil.
“Lucu aja. Aku baru pernah melihat anak sepertimu.”
Mata Rayhan terlihat menatapku, “Sepertiku?”
“Ya, sepertimu. Suka memakai minyak kayu putih dan, galak.” Aku menunggu reaksi darinya. Mungkin perkataanku akan membuatnya tersinggung.
Rayhan justru tertawa kecil.
“Kamu bukan anak pertama yang mengucapkannya. Sudah banyak aku dengar penilaian seperti itu sebelumnya dari orang-orang di sekitarku. Kamu akan mendengarnya nanti dari anak-anak satu sekolah.”
Baru kali ini aku mendengar Rayhan berbicara sepanjang itu. Anak ini benar-benar anak yang unik, baru pernah aku bertemu anak seperti dia. Tetapi aku tetap berharap bisa berteman dengan Rayhan. Aku ingin cepat-cepat memiliki teman di tempat ini.
Kami terus berjalan menuju sekolah yang terlihat sudah ramai oleh murid-murid lain. Aku langsung merasa asing dengan lingkungan yang baru pertama kali ini ku datangi. Wajah-wajah yang tidak pernah aku lihat, ruang kelas yang belum pernah aku masuki, dan sudut-sudut lain yang membuatku merasa sendirian di tempat ini.
Rayhan terlihat memasuki sebuah kelas, aku masih membuntut di belakangnya. Aku satu kelas dengannya, tentu saja ini juga kelasku.
Semua anak-anak di dalam kelas menatapku dengan bertanya-tanya, mungkin mereka merasa asing. Tentu saja, akupun merasakan hal serupa, tidak ada yang aku kenal di sekolah ini kecuali bocah galak itu.
Rasa grogi ini semakin membesar mengingat nanti aku harus maju ke depan kelas untuk memperkenalkan diri.

“Kenapa kamu mau satu bangku dengan Rayhan. Anak itu kan tidak ramah sama sekali.” Tami, temanku yang baru, bertanya dengan sungguh-sungguh ketika istirahat.
Aku tersenyum mendengar pertanyaannya, menurutku itu sebuah pertanyaan yang lucu. Rayhan memang kurang ramah, tetapi itu bukan sebuah alasan untuk tidak berteman dengannya. Toh Rayhan tidak melakukan sesuatu yang membuatku marah.
“Memang harus ada alasan untuk berteman dengan seseorang ya?”
“Kamu nggak tahu ya, di sekolah ini kan jarang yang mau berteman sama dia. Anak itu bukan anak yang asik untuk dijadikan teman, kami semua tahu itu. Rayhan lebih suka berkelahi dari pada berteman.” Niken, teman baruku yang lain ikut menimpali.
“Iya, bahkan dia sering lho berantem sama anak kelas enam. Sudah sering di hukum sama guru tetapi Rayhan nggak pernah kapok. Dasarnya bandel sih.”
Jadi ini yang dimaksud Rayhan tadi pagi? Anak-anak di sekolah ini tidak terlalu menyukainya, pantas hanya bangku di sebelahnya yang kosong. Dan aku menempatinya sekarang.
Kami bertiga sedang memakan jajanan yang kami beli di kantin sekolah. Setelah sempat mengenalkan diri ketika sekolah baru mulai tadi pagi, aku akhirnya mendapatkan teman selain Rayhan. Mereka adalah Tami dan Niken. Kami membawa jajan dari kantin itu ke dalam kelas.
“Selama dia bersikap baik kepadaku, aku tidak masalah berteman dengannya. Sudahlah, tidak baik kan membicarakan kejelekan orang lain, mama selalu berkata seperti itu.”
Dua anak itu nampak tidak puas dengan kalimatku. Mungkin aku belum benar-benar tahu sifat Rayhan yang sebenarnya, dan memang kesan yang pertama aku dapat darinya adalah dia bukan anak yang ramah. Tetapi menurutku Rayhan tetap anak yang baik, buktinya dia membolehkan aku untuk bermain di halaman belakang rumahnya.
“Kamu kenapa pindah ke sini?”
“Kantor papaku pindah ke sini, jadi keluargaku juga harus pindah ke Purwokerto. Rumahku persis di sebelah rumah Rayhan.”
“Semoga kamu betah sekolah di sini.”
Aku mengangguk, “Iya. Semoga saja seperti itu.”
Memang mau tidak mau aku harus menyukai semua sudut di kota baruku ini, karena di sinilah aku akan tinggal untuk waktu yang lama. Tadi malam papa berkata kalau keluarga kami sudah tidak akan kembali ke Bandung, rumah di sanapun telah dijual oleh papa.
“Disya.”
Suara Rayhan membuyarkan lamunanku, aku menoleh dan menatap wajahnya.
“Ya?”
“Ayo ikut aku.”
Aku tidak tahu kemana Rayhan akan membawaku, tetapi pikiranku menyuruh untuk menerima ajakan itu. Aku sempat melirik ke arah Tami dan Niken yang kelihatan bingung, wajah mereka sama-sama terlihat menunjukkan rasa penasaran.
Langkah kakiku menyusul Rayhan yang telah berjalan terlebih dahulu, dia berjalan dengan sedikit tergesa-gesa.
“Cepatlah, sebentar lagi bel masuk berbunyi.” Perintahnya.
Aku mempercepat langkah, lambat-lambat Rayhan mulai dapat kususul. Kami berjalan menuju belakang sekolah. Beberapa murid lain memandang ke arah kami dengan heran. Aku tidak terlalu memperdulikan mereka.
“Kemana kita sebenarnya?”
“Kesini.” Jawab Rayhan seraya berbelok di ujung sekolah.
Kemudian ia berhenti beberapa langkah dari belokan tadi. Rayhan mendorong sebuah bangku panjang yang terlihat agak lapuk, menempelkannya di tembok keliling. Aku merasa ngeri waktu bocah itu memanjat ke atasnya, ia melongokkan kepala untuk melihat sesuatu di balik tembok.
“Lihatlah.”
Hatiku merasa ragu-ragu untuk naik ke atas bangku yang terlihat lapuk ini. Tetapi mata Rayhan yang masih menatapku memberikan keyakinan untuk menapakkan kaki di sebelahnya. Pelan-pelan aku menaiki bangku. Dengan sedikit bantuan dari Rayhan, akhirnya kedua kakiku sukses berdiri di atasnya.
Aku mengikuti Rayhan, menatap ke balik tembok.
Kedua mataku langsung terbelalak ketika mendapati hamparan sawah yang luas dan tertata dengan rapi. Warna hijau yang tergelar membuat aku yang baru pertama kali melihatnya merasa damai, ada ketenangan yang merasuki hati saat menatapnya. Angin sejuk menerpa wajah, aku memejamkan mata sejenak untuk menikmatinya.
Dan di ujung jauh sana, sebuah gunung nampak berdiri dengan gagah. Menjadi batas mata untuk hamparan sawah yang memanjakan mata ini. Puncaknya yang seakan menyentuh langit diselimuti oleh awan putih. Apa yang aku lihat saat ini benar-benar membuatku merasa damai.
“Itu gunung Slamet.” Rayhan tersenyum kali ini. Ternyata anak ini bisa bersikap manis juga rupanya.
“Indah banget, aku nggak tahu kalau di belakang sekolah ada pemandangan sebagus ini.”
“Ya, tidak semua anak mau ke tempat ini. Mungkin karena mereka tidak mau berada di dekatku.”
Aku terdiam, sebenarnya sejelek apa Rayhan di mata murid-murid sekolah ini sampai mereka tidak ingin berteman dengannya. Menurutku Rayhan tidak seburuk yang mereka pikirkan, sampai detik ini aku tidak melihat hal-hal buruk yang dia lakukan.
“Kamu sering ke sini?”
Rayhan mengangguk, “Setiap istirahat aku ke tempat ini, sendirian. Menghabiskan waktu dengan memandang sawah dan gunung itu akan membuatku merasa tenang.”
Baiklah, aku menyimpulkan bahwa sebenarnya anak ini merasa kesepian. Di sekolah ini tidak ada yang mau berteman dengan Rayhan.
Aku akan berteman dengannya, apapun yang terjadi. Aku akan selalu berteman dengannya.
“Sekarang kamu tidak perlu memandangi tempat ini seorang diri, aku bersedia menemanimu.”
Rayhan menatapku tajam, dia nampak berpikir beberapa jenak. Tiba-tiba aku melihat senyum itu lagi, senyum kedua yang aku lihat sejak mengenal Rayhan. Dia mengangguk, lalu mengacungkan kelingkingnya.
“Janji?”
Tanpa ragu aku langsung menautkan jari kelingkingku dengan jari kelingkingnya.
“Aku janji.”

CINTA DALAM TELEPON KALENG (Sudah Beredar Di Toko Buku Di Seluruh Indonesia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang