NAMAKU SAKTI "Aku bahagia atas perubahan adikku."

124 13 0
                                    

Aku melangkahkan kaki menyusuri jalanan di komplek perumahan, siang ini udara memang cukup panas. Perjalanan dari sekolah ke rumah pun terasa dua kali lebih melelahkan dari biasanya. Ingin sekali buru-buru sampai rumah dan menenggak air dingin dari dalam kulkas.
Beberapa kali aku menyeka peluh yang mengalir di kening.
Dahiku berkerut ketika sampai di depan gerbang rumah, melihat Rayhan sedang duduk di daun jendela sambil melakukan sesuatu yang tidak begitu aku mengerti. Kutajamkan mata untuk melihat dengan semakin jelas. Ia menempelkan sebuah kaleng di telinganya, membuatku semakin penasaran. Apa yang sebenarnya sedang dia lakukan?
Mataku mengikuti pandangan Rayhan yang melihat ke arah rumah penghuni baru itu. Aku semakin terkejut ketika mendapati Disya juga sedang berdiri, menyandarkan tangannya di bibir jendela sambil memegang kaleng dan menempelkannya di mulut. Pikiranku terus menebak apa yang sedang dilakukan oleh dua anak itu.
Butuh beberapa menit untuk berpikir, sampai akhirnya aku mengerti bahwa mereka sedang berbicara melalui telepon kaleng. Ku gelengkan kepala sembari tersenyum, lalu kembali melanjutkan langkah. “Kreatif juga mereka berdua.” Batinku.
“Asalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.” Ibu menjawab salam sembari tersenyum. Aku berjalan menghampiri, lalu mencium punggung tangan beliau.
“Bagaimana sekolahmu hari ini, Sakti?”
“Seperti biasa, Bu. Menerima pelajaran-pelajaran yang diberikan oleh guru dan mencatat. Setelah itu mendapatkan tugas rumah.”
Ibu mengelus rambutku, “Ya sudah. Ganti pakaian dulu sana, setelah itu makan siang.”
Aku mengangguk dan berjalan menuju kamar. Kurebahkan tubuh di atas tempat tidur setelah sampai di dalam, mencoba untuk menghilangkan lelah yang melanda selepas sekolah hari ini.
Menjadi murid kelas tiga di sekolah menengah pertama memang melelahkan. Setelah sekolah usai aku harus menerima pelajaran tambahan sampai sore. Kata kepala sekolah, itu untuk menyambut ujian nasional yang tinggal hitungan bulan lagi. Kami para siswa kelas tiga semakin banyak diberikan materi-materi yang mungkin akan diujikan nantinya. Benar-benar menguras tenaga dan pikiran.
Aku duduk di tepi ranjang, melepaskan satu persatu seragam sekolah dan menggantinya dengan pakaian santai. Tiba-tiba pikiranku kembali teringat dengan aktivitas yang sedang dilakukan oleh Rayhan dan Disya. Dengan rasa penasaran aku memutuskan untuk melangkah menuju kamarnya yang berada persis di sebelah kamarku.
Pintu kamarnya terbuka, dan aku melihat Rayhan masih asik berbicara dengan Disya melalui telepon kaleng itu.
“Hey, sedang apa kamu di tepi jendela?”
Rayhan nampak terkejut karena kehadiranku yang tiba-tiba dan sudah berdiri di belakangnya.
“Kakak ini mengagetkan saja. Aku sedang bermain telepon kaleng bersama Disya.” Jawabnya seraya menunjukkan kaleng yang sejak tadi berada dalam genggaman tangannya. Kemudian kembali asik berbicara melalui telepon kaleng bersama Disya.
Bagiku yang sudah sangat mengenal sifat Rayhan tentu saja merasa heran ketika mengetahui adikku bisa sedekat ini dengan orang lain, terlebih dengan bocah perempuan yang baru beberapa minggu di kenalnya. Yah, walaupun rumah kami berdekatan dan Disya merupakan teman satu kelas Rayhan, tetap saja ini adalah sesuatu yang aneh buatku.
Kemarin sore Rayhan pulang dengan wajah yang lebam, bajunya terlihat lusuh dan kotor. Sebenarnya itu bukan hal baru bagi keluarga kami, mendapati Rayhan pulang ke rumah dengan kondisi seperti itu. Sudah pasti dia habis berkelahi dengan anak-anak yang sering mengganggunya.
Rayhan memiliki sifat yang temperamental, dia gampang sekali tersulut emosi jika merasa dihina atau diledek oleh anak lain. Siapapun akan dia lawan, meskipun mereka jauh lebih besar darinya. Rayhan memang anak yang pemberani, namun juga sering ceroboh dalam mengambil sikap. Ah, tentu saja, dia adalah bocah yang masih kecil yang tidak bisa membedakan baik dan buruk dari apa yang dia lakukan.
“Kakak masih di sini?”
Pertanyaan Rayhan menyadarkanku. Aku melamun rupanya, mungkin karena terlalu terkejut dengan perubahan sikap adikku itu. Tetapi bagaimanapun, aku senang Rayhan akhirnya memiliki teman yang mau diajak bermain.
“Kenapa harus seperti itu, bukankah kamu tetap bisa mendengar suaranya meskipun tanpa menggunakan telepon kaleng?”
“Kata Disya, biar orang lain nggak mendengar pembicaraan kami,” Rayhan menjawab dengan polosnya.
Aku hanya mampu tersenyum, Disya benar-benar berhasil membuat Rayhan mengalami perubahan sebanyak ini.
“Kamu sudah makan, Rayhan?”
“Sudah, kak. Tadi pulang dari sekolah aku langsung disuruh makan sama ibu.” Rayhan menjawab pertanyaanku sambil berjalan ke ranjang, setelah sebelumnya meletakkan kaleng itu di sisi jendela kamar.
“Lho, sudah tidak bermain telepon kaleng lagi?”
“Disya di panggil mamanya.”
“Oh, begitu? Kakak seneng kamu bisa mempunyai teman bermain, Rayhan.”
Aku bisa melihat wajah Rayhan yang tersipu, ia nampak menyembunyikan senyumnya. Geli juga rasanya melihat raut wajah adikku sekarang, Rayhan menjadi lebih ceria dari sebelumnya.
“Disya keras kepala, kak. Dia memaksaku untuk menjadi temannya.” Jawaban konyol Rayhan membuatku tertawa kecil. Ada-ada saja bocah ini.
“Mana mungkin seperti itu, berteman seharusnya tidak dengan paksaan.”
“Aku tahu, kak Sakti. Tadi aku hanya bercanda kok. Aku senang bisa berteman dengan Disya, dia tidak manja seperti bocah perempuan lainnya.”
Benar-benar perubahan yang besar, Rayhan sampai memuji Disya. Aku semakin penasaran dengan bocah perempuan itu, apa yang dia lakukan sampai mampu membuat adikku seperti ini.
“Baguslah. Semoga kamu bisa berteman baik dengan Disya, bahkan mungkin dengan siapa saja. Punya banyak teman itu menyenangkan lho, Rayhan.”
“Iya, kak.”
“Ya sudah, kakak lapar. Mau makan dulu ya. Kamu mau ikut turun?”
Rayhan menggelengkan kepalanya, “Nggak. Aku mau tidur siang saja.”
Aku mengangguk sebelum melangkah keluar dari kamar Rayhan. Meskipun kadang menyebalkan dengan sifat temperamentalnya, tetapi aku sangat menyayangi satu-satunya adikku itu. Lebih dari apapun.

“Kak Sakti, Rayhan kemana?” Disya bertanya kepadaku ketika aku sedang membaca komik di teras rumah.
Aku menutup halaman komik di bagian yang belum selesai aku baca itu, lalu meletakkannya di meja.
“Rayhan sedang pergi bersama ibu ke supermarket.”
Wajah Disya terlihat cemberut begitu mendengar jawabanku.
“Memangnya ada apa?”
“Aku pengin main terampolin di belakang rumah, hehehe.” Jawabnya.
Cepat sekali wajah bocah ini berubah. Tadi cemberut dan sekarang kembali tertawa dengan riangnya, benar-benar anak yang ceria.
“Kalau gitu masuk saja, sambil nungguin Rayhan pulang.”
“Boleh, kak?”
Aku tersenyum, “Ya boleh lah. Berani kan main sendirian di belakang?”
Disya terlihat berpikir sejenak sebelum akhirnya tersenyum dan mengangguk.
Aku membiarkannya masuk ke dalam rumah dan berjalan menuju halaman belakang, perhatianku kembali teralih kepada komik yang tergeletak di meja, melanjutkan aktivitas yang sempat terhenti karena kedatangan Disya.
“Kyaaaaaa.”
Tiba-tiba kudengar suara jeritan Disya dari halaman belakang. Aku langsung melemparkan komik dan berlari menghampiri bocah perempuan itu. Disya nampak meringis kesakitan sambil memegang keningnya yang mengeluarkan darah. Ia duduk di sebelah ayunan. Kepanikan langsung merasuki pikiranku.
“Disya, apa yang terjadi dengan keningmu?” kupapah tubuh Disya masuk ke dalam rumah. Gadis kecil itu terus menangis sambil terus memegang keningnya.
Walaupun hanya luka kecil dan tidak mengeluarkan banyak darah, tetapi bagi anak seusianya tentu saja itu tetap sakit. Aku mendudukkan Disya di sofa sebelum menghambur ke dapur. Beberapa menit kemudian aku kembali dengan membawa air hangat dan kain bersih untuk membersihkan luka di kening Disya.
Pelan-pelan kuusapkan kain yang sudah kubasahi dengan air hangat untuk menghilangkan bercak darah Disya. Bocah itu masih menangis, kali ini wajahnya meringis setiap aku mengusapkan kain basah.
“Apa yang terjadi, Disya?”
aku meletakkan kain di dalam gayung yang berisi air hangat. Tanganku menyobek ujung hansaplast, lalu merekatkannya pada bagian yang luka di kening Disya.
“Waktu bermain ayunan, tiba-tiba kakiku tersangkut di besi. Aku terjatuh dan keningku membentur tanah.” Tangisan Disya mulai mereda, hanya menyisakan kedua matanya yang sembab.
“Bagaimana sekarang?”
“Sudah tidak sakit lagi. Makasih, kak Sakti.”
Aku tersenyum dan mengangguk pelan.
Sementara dari depan rumah terdengar suara mobil. Ibu dan Rayhan sudah pulang rupanya.
“Itu Rayhan pulang.” Ucapku kepada Disya.
Ibu dan adikku masuk ke dalam rumah dengan membawa hasil belanjaan. Rayhan langsung bergegas menghampiri Disya, wajahnya terlihat cemas.
“Kening kamu kenapa?”
“Aku jatuh dari ayunan tadi.”
“Aduh, Disya. Kamu tidak apa-apa? Mana lagi yang luka?” Ibuku juga terdengar panik. Beliau meneliti seluruh tubuh Disya.
“Nggak apa-apa kok tante, tadi sudah diobatin sama kak Sakti.”
“Oh, Syukurlah kalau gitu. Lain kali lebih hati-hati lagi ya kalau bermain.”
Disya mengangguk untuk menjawab nasehat ibu. Ibu melangkah ke dapur, aku membuntuti di belakangnya. Meninggalkan Rayhan dan Disya di ruang tengah.
“Beli apa saja, Bu?”
Aku duduk di kursi plastik, memperhatikan ibu yang sedang mengeluarkan belanjaan. Ada yang dimasukkan ke dalam kulkas, ada pula yang dimasukkan ke dalam kabinet.
“Ini, keperluan bulanan. Sayuran sama yang lainnya kan sudah hampir habis.”
“Rayhan beli minyak kayu putih lagi?”
Ibu menggeleng, “Yang kemarin masih banyak katanya, toh terakhir juga ibu beli dua botol sekaligus.”
Aku membolak-balik halaman pada buku resep yang tergeletak di meja. Hanya memandang sekilas tanpa membacanya.
“Apa yang sedang kamu pikirkan, Nak?”
“Maksud ibu?”
“Ibu tahu kamu sedang memikirkan sesuatu, ibu bisa melihatnya dari wajahmu. Masalah ujian nasional?”
“Bukan bu,” aku berhenti sejenak, “Maksudku, itu juga kupikirkan. Tetapi sekarang aku sedang merasa heran dengan perubahan Rayhan sejak dia mengenal Disya. Ibu kan tahu sendiri kalau anak itu susah bergaul.”
“Itu kan malah bagus, adikmu jadi punya teman bermain.”
“Ya iya sih memang, tetapi kok aku yang kakaknya aja susah banget bikin Rayhan tersenyum. Nah Disya, jangankan senyum, Rayhan kalau lagi bareng dia sering tertawa.”
“Namanya juga anak kecil, emosinya masih labil. Dulu waktu kamu kecil juga seperti itu. Kadang gampang menangis, kadang juga sering ketawa kalau lagi bercanda sama temanmu.”
“Ibu malah dari dulu berharap adikmu punya banyak teman, biar tidak bermain sendirian terus di belakang rumah. Sekarang ada Disya yang mau menemani Rayhan bermain, tentu saja ayah sama ibu merasa senang.” Lanjut ibu.
“Iya, Sakti juga senang Rayhan bisa mendapatkan teman kok.” Aku melempar senyum ke arah ibuku.

CINTA DALAM TELEPON KALENG (Sudah Beredar Di Toko Buku Di Seluruh Indonesia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang