PERASAAN DISYA "Sahabat kecilku yang telah beranjak dewasa."

114 9 2
                                    

Disya turun dari boncengan motor setelah kami sampai di parkiran sekolah, aku menurunkan standar lalu mengajaknya berlalu dari tempat itu. Suasana sekolah sudah cukup ramai oleh berbagai aktivitas murid-murid lain yang sudah lebih dahulu datang. Disya berjalan dengan riang di sebelahku, sesekali mulutnya bergumam kecil menyanyikan sebuah lagu dari band favoritnya itu. Gadis ini senang sekali menyanyikan lagu-lagu Sheila On 7, semua lagunya sampai dia hapal di luar kepala.
“Cowok semalem itu, siapa namanya? Emm, Yoga. Dia SMA juga?”
“Nggak. Dia udah kuliah kok. Kenapa emangnya?” Aku menyelidiki wajah Disya, menatapnya dengan curiga.
“Jangan-jangan, kamu suka ya?” Lanjutku.
Disya terlihat menyembunyikan wajahnya, “Cuma sedikit tertarik, nggak lebih.”
Aku tersenyum kecil mendengar jawaban gadis itu. Sahabatku ini sedang beranjak dewasa rupanya, Disya mulai tertarik dengan lawan jenis. mungkin hanya menunggu waktu sampai dia akan sibuk dengan cowok lain, bermain-main dengan perasaannya.
“Aku punya nomor ponselnya, mau?” Tawarku kepada Disya yang kali ini sedang memberikan senyum kepada seorang murid lain.
Wajah Disya tersipu malu, aku bisa melihat itu. “Gengsi lah, mana ada cewek yang menghubungi lebih dulu.”
Dasar lugu, dari kalimatnya saja aku sudah mengerti kalau sebenarnya Disya ingin mengenal lebih jauh sosok Yoga. Aku tidak kuasa menahan senyum.
“Ya sudah kalau nggak mau.” Pancingku, ingin melihat reaksi Disya. Benar saja, cewek itu menunjukkan wajah protes ke arahku.
“Kenapa wajahmu? Katanya nggak mau.”
“Nggak apa-apa.” Jawabnya dengan mimik cemberut, ia berjalan cepat meninggalkanku.
Aku hanya tertawa kecil melihat sikap Disya seperti itu. Gadis itu benar-benar bertingkah seperti anak kecil yang menginginkan sebuah mainan baru namun tidak berhasil dia dapatkan. Aku menggelengkan kepala dan mengejar langkah Disya yang sudah berada agak jauh.
“Ngambekan banget. Nanti deh kalau aku ketemu Yoga di radio, aku kasih nomermu ke dia.” Ucapku ketika aku berhasil menyusulnya.
Disya berhenti melangkah dan menatapku, “Apaan sih, Rayhan. Aku kan sudah bilang kalau aku hanya sekedar tertarik. Nggak lebih.”
“Sudahlah, kamu nggak perlu malu-malu sama aku. Lagian memang seperti itu kan, awalnya cuma tertarik, terus lama-lama jadi lebih dari sekedar tertarik.”
“Gayamu kayak orang pernah jatuh cinta aja.”
Aha, tepat sasaran. Disya kena telak dengan pancinganku, aku berusaha sekuat tenaga untuk menahan senyum yang ingin merekah di bibirku.
“Siapa yang sedang ngomongin jatuh cinta coba?”
Gadis itu langsung meninju lenganku dengan pelan, wajahnya benar-benar merah kali ini. Dan aku tertawa keras ketika Disya kembali berjalan cepat meninggalkanku. Ah, sahabatku itu sedang jatuh cinta rupanya.

Aku memang bukan cowok yang paham tentang masalah cinta, bahkan sekalipun belum pernah aku merasakan yang namanya suka atau tertarik sama lawan jenis. Menurutku buat apa merasakan hal semacam itu, punya satu sahabat cewek saja sering membuatku kerepotan, apalagi ditambah satu dan dengan perasaan spesial pula.
Tetapi kalau melihat gelagat Disya, siapapun pasti bakal tahu kalau gadis itu sedang jatuh cinta.
Sepulang dari sekolah tadi dia terus bertanya tentang Yoga kepadaku. Mulai dari kuliah di mana, jurusannya apa, tinggalnya di mana, dan tentu saja tidak ketinggalan Disya bertanya Yoga sudah punya pasangan atau belum. Aku sampai kewalahan menanggapi semua pertanyaan yang dia ajukan kepadaku.
Oke aku memang berteman dengan Yoga, tetapi bukan berarti aku tahu segalanya tentang anak itu. Hari ini Disya lebih cerewet dari biasanya.
Aku menghentikan laju motor di depan gerobak penjual es buah yang sedang mangkal di daerah kampus Universitas Jendral Soedirman, atau orang-orang biasa menyebutnya Unsoed. Disya langsung melompat turun dan duduk di bangku panjang yang disediakan oleh penjual es buah.
“Bikinin dua ya, Bang. Seperti biasa.” Pesan Disya kepada bang Wawan, penjual es campur yang sudah sangat mengenal kami. Aku menyusul duduk di seberang meja.
“Oke, kamu bilang kamu nggak sedang jatuh cinta sama Yoga. Tapi kamu terus-terusan mencari tahu tentang dia, lantas?” Aku membuka topik pembicaraan.
“Memang kenyataannya kayak gitu, Rayhan. Gini, aku baru ketemu sama dia satu kali, nggak mungkin lah aku langsung jatuh cinta dalam waktu sesingkat itu. Aku bukan orang yang percaya sama istilah jatuh cinta pada pandangan pertama,” kalimat Disya terhenti oleh kedatangan bang Wawan yang memberikan pesanan kami.
“Ini yang nggak pakai susu,” Bang Wawan menyodorkan satu mangkok kepada Disya.
“Makasih, Bang.” Ucapku.
“Aku lanjutin ya. Yang namanya cinta itu bukan perasaan yang bisa tumbuh hanya dalam waktu satu atau dua detik saja, tidak juga satu hari. Tentu butuh proses buat menumbuhkan perasaan cinta.”
“Aku nggak ngerti masalah cinta.” Potongku sambil menyendok es buah dan menyuapkan ke mulutku sendiri.
“Makannya aku kasih tahu, dengerin dulu. Nggak segampang itu buat jatuh cinta, karena cinta itu butuh keyakinan dan kemantapan hati. Bukan karena dia tampan atau cantik terus kita memutuskan untuk begitu saja cinta sama dia. Nanti di tengah jalan kalau ternyata sifatnya nggak sesuai sama yang kita harapkan, gimana coba?”
“Bukannya kata orang-orang cinta itu harus menerima apa adanya ya? Berarti menerima sifat pasangan itu juga termasuk, bukan?”
Disya mengangguk, “Memang. Tetapi akan lebih baik kan kalau kita mengetahuinya sebelum memutuskan untuk jatuh cinta, karena perasaan cinta tidak sesederhana itu.”
Aku menggeledah isi tasku sendiri, mencari botol minyak kayu putih. “Jadi intinya?”
“Intinya jatuh cinta itu butuh proses. Pandangan pertama tidak pernah menumbuhkan perasaan cinta. Kecuali sekedar, suka.”
Aku tertawa mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Disya, tawa yang cukup keras ini membuat beberapa mata pembeli lain menatapku. Disya nampak salah tingkah di tempatnya.
“Jadi itu? Kamu belum jatuh cinta sama Yoga, tetapi baru sekedar suka sama dia?” Tanyaku di sela tawa. Disya masih menundukkan wajahnya, membiarkan es buahnya tak tersentuh.
Aku menggelengkan kepala sambil masih tertawa, “Ada-ada saja kamu, sampai-sampai bikin teori jatuh cinta seperti tadi.”
“Puas ketawanya?” Wajah Disya memerah.
“Nggak nyangka aku. Cewek galak, cerewet, sama keras kepala sepertimu bisa kayak gini juga”
“Aku juga cewek normal kali, Rayhan.”
“Iya-iya, jangan ngambek gitu dong. Heran aku, sensitif amat kalau orang lagi gandrung.” Aku menggoda Disya yang mulai menekuk wajahnya.
“Nanti deh aku bantu kamu biar bisa deket sama Yoga.”
Disya tersenyum simpul sekarang, aku hanya sanggup menarik napas dalam-dalam melihat tingkah sahabatku itu. Anak ini selalu saja merepotkan sejak dulu. Bahkan sampai masalah perasaan pun aku juga harus turun tangan, padahal aku sendiri tidak mempunyai pengalaman tentang hal-hal semacam ini. Tapi buat Disya, aku akan melakukannya.

CINTA DALAM TELEPON KALENG (Sudah Beredar Di Toko Buku Di Seluruh Indonesia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang