TELEPON KALENG "Benang yang kusut sekalipun masih bisa untuk menyatukan."

293 13 0
                                    

Aku sedang berada di halaman belakang rumahku bersama Disya. Walaupun sampai sekarang masih merasa heran mengapa aku bisa akrab dengannya, tetapi itu tidak terlalu kupikirkan. Yang jelas sekarang aku bisa tertawa bersamanya. Pertama kali dalam hidupku bisa tertawa bersama anak lain.
Kami berdua sedang membuat telepon kaleng, pelajaran yang didapat dari guru ketika sekolah tadi akan kami praktekkan sekarang. Disya yang pertama kali mengajak dengan rengekan manjanya. Tentu saja, karena bahkan sebelumnya aku tidak berpikir untuk membuatnya di rumah.
Dua buah kaleng kecil bekas susu dan benang sisa yang masih cukup panjang telah kami siapkan. Aku dan Disya sedang sama-sama sibuk dengan kegiatan yang harus menyita waktu tidur siangku.
“Ini, pakai ini untuk melubangi kalengnya.” Disya menyodorkan sebuah paku kepadaku.
Tanganku menyambutnya lalu meraih sebuah palu dan memukulkan ke ujung paku beberapa kali untuk membuat lubang. Cukup susah juga ternyata buat anak seumuranku.
“Hati-hati, Rayhan.” Wajah Disya terlihat khawatir, membuatku harus tertawa kecil.
Setelah beberapa kali pukulan, akhirnya sekarang kaleng bekas itu berlubang. Kemudian aku beralih kepada kaleng yang satu. Sementara Disya terlihat memasukkan benang ke dalam kaleng melalui lubang yang kubuat, lalu membuat simpul diujungnya.
“Kenapa kamu mau membuat telepon kaleng bersamaku?”
Aku bertanya kepada Disya di saat jeda memukul paku. Punggung tanganku mengusap peluh yang menempel pada kening, meraih botol minyak kayu putih yang tergeletak tidak jauh dariku, untuk sekedar mencium aroma dari ujung tutupnya sebelum kembali membuat lubang.
“Tentu saja karena rumah kita berdekatan. Dan kita sudah menjadi teman, bukan?”
“Maksudku, kamu tidak takut nanti kamu bakal dijauhin sama teman-teman sekolah karena kamu berteman denganku?”
“Aku bisa berteman dengan siapa saja, dan berteman denganmu seharusnya bukan alasan untuk menjauhiku. Aku percaya mereka adalah teman-teman yang baik, semestinya kamu pun bisa berteman dengan mereka semua.”
“Semoga saja seperti itu. Dan, terima kasih karena sudah mau berteman denganku.”
Disya hanya melemparkan senyum kepadaku, aku membalasnya.
Benar-benar suatu pengalaman yang baru. Sejak pertama bertemu dengan Disya aku merasa sikapku berbeda, tidak seperti yang biasa aku tunjukkan ke teman-teman sekolah yang lain. Aku menjadi lebih sering memberikan senyuman kepada anak ini, hal yang tidak pernah ku tunjukkan ke orang lain.
Beberapa menit kemudian kami tersenyum puas karena telah berhasil membuat telepon kaleng. Disya menyuruhku menjauh untuk mencobanya, aku menurut. Anak itu menempelkan kaleng tersebut ke mulutnya, sementara aku menempelkan di telinga.
“Tes, tes.”
Samar-samar kudengar suara Disya dari dalam kaleng yang kupegang.
Aku berganti memindahkan kaleng ke mulutku, dan Disya menempelkan kaleng itu di telinganya.
“Aku bisa mendengar suaramu.”
Sekarang aku dapat melihat Disya yang sedang melompat kegirangan dengan tawa lebarnya, apa dia tidak malu dengan gigi ompongnya? Benar-benar bocah yang aneh.
Tapi sebenarnya aku juga merasakan hal yang serupa, kepuasan karena telah berhasil membuat sesuatu yang baru dengan tangan kami sendiri. Hanya saja ku putuskan untuk tidak melompat seperti yang sekarang masih dilakukan gadis kecil itu. Disya memberikan kode untuk kembali menempelkan kaleng di telinga.
“Sekarang, ayo kita letakkan di kamar kita masing-masing.”
“Maksudmu?”
Disya berjalan mendekatiku, “Kamar kita bersebelahan bukan, tentu kita bisa memakai telepon ini dari dalam kamar. Satu kaleng di kamarmu, dan satu kaleng di kamarku. Kita bisa mengobrol melalui telepon kaleng ini dari dalam kamar kapanpun kita mau.”
Untuk masalah ide, aku mengakui kalau Disya satu langkah di depanku. Rumah kami memang berdekatan, bahkan ada sedikit bagiannya yang menjadi satu, tepatnya pada balkon kecil di lantai dua. Dan memang kebetulan kamarku dan kamar Disya sama-sama di lantai dua, berjejer di antara balkon tersebut.
“Bagaimana caranya?”
“Kamu masuklah ke kamarmu, bawa telepon kaleng ini. Aku akan menunggu dari kamarku, nanti lemparkan satu kaleng ke arahku.”
Aku belum begitu paham dengan rencana yang dikatakan olehnya, tapi bocah itu keburu menarik tanganku untuk masuk ke dalam rumah. Disya bergegas pulang dan aku langsung menuju lantai dua, menunggu sampai ada aba-aba darinya sambil merebahkan tubuh di atas ranjang. Entah kenapa aku merasa ingin tersenyum sekarang.
“Rayhan, aku sudah sampai di kamar.”
Suara cempreng Disya membuatku bangkit, aku melangkah ke arah jendela dan melongokkan kepala. Wajah Disya nampak menyembul dari balik jendela kamarnya.
“Lalu bagaimana?”
“Lemparkan satu kaleng kesini, aku akan menangkapnya.”
Ada-ada saja anak ini, aku menggenggam satu kaleng bekas itu, lalu mencoba melemparkannya ke arah Disya. Gagal, kaleng itu sama sekali tidak sampai ke tangan Disya. Aku mencobanya sekali lagi, tetapi tetap gagal.
“Tangkap dong, Disya.”
“Bagaimana bisa, lemparanmu terlalu lemah, Rayhan. Lebih keras lagi.”
Aku mendesis, mencoba kembali melakukan lemparan dengan lebih kuat dari sebelumnya. Namun lagi-lagi hanya sia-sia, kaleng itu tetap tidak sampai ke tangan Disya. Anak itu terlihat cemberut, membuatku tidak sabar juga akhirnya.
Dengan keberanian yang kukumpulkan, aku keluar melompati jendela. Meskipun harus menggunakan kaki yang gemetar, tetap kususuri balkon yang tidak terlalu luas tersebut. Disya nampak terkejut melihat tindakanku, wajahnya ketakutan.
“Apa yang kamu lakukan? Kamu bisa jatuh nanti. Hati-hati.”
Aku sudah terlanjur berada di tengah balkon ketika mendengar Disya memperingatkanku. Kusandarkan tubuh ke tembok, lalu dengan keberanian dan tenaga yang tersisa, kulemparkan kaleng yang sejak tadi berada di tanganku.
Hup, akhirnya benda itu sampai juga di tangan Disya. Aku berbalik dan kembali berjalan menuju kamar. Keringat membanjiri kening, aku menghela napas lega. Lalu kulihat Disya menempelkan kaleng ke mulutnya, membuatku bergegas meraih kaleng satunya dan menempelkan di telinga.
“Berani sekali kamu, bagaimana kalau tadi kamu sampai jatuh?”
Walaupun samar, tetapi aku dapat mendengar suara bocah itu. Nadanya masih terdengar khawatir meskipun aku sudah berhasil kembali masuk ke dalam kamar.
“Tenang saja lah, aku sudah sering duduk di balkon itu.” Aku berbohong untuk menghilangkan rasa khawatir dalam diri Disya. Padahal tadi jantungku berdegup sangat cepat karena ketakutan.
“Kamu benar-benar anak yang nekat.” Suara Disya terdengar lebih tenang sekarang.
Tiba-tiba aku menyadari sesuatu. Jadi ini ide yang dimaksud Disya tadi, menyimpan satu-satu kaleng yang dihubungkan dengan benang ini, lalu berbicara dari dalam kamar kami masing-masing. Benar-benar tidak kusangka kalau aku masih bisa mendengar suaranya dari jarak sejauh ini.
Aku menoleh ke arah Disya yang masih menyembulkan wajahnya dari balik jendela. Bocah itu nampak tersenyum. Aku harus mengakuinya, Disya adalah bocah yang cerdas.

Disya memintaku untuk menemaninya memutari komplek perumahan, alasannya ia ingin lebih mengenal lingkungan tempat tinggalnya yang baru. Bocah itu merengek di depan ibu, tentu saja ibu langsung menyuruhku mengiyakan keinginan Disya. Jadilah kami sedang mengelilingi perumahan rumah kami dengan menggunakan sepeda.
Disya mengayuh sepedanya untuk mengiringi laju sepedaku, kami sudah jauh meninggalkan rumah. Roda-roda sepeda berputar cepat menyusuri jalan aspal sore ini, membawa kami melewati setiap sudut dengan berbagai aktivitas orang-orang yang kami temui di sepanjang jalan.
“Kemana lagi kita?” Tanya Disya dengan tetap mengayuh pedal sepedanya. Bocah itu tidak terlihat lelah, padahal kami sudah bersepeda sejak setengah jam yang lalu.
Aku berpikir sejenak, “Bagaimana kalau kita berhenti sejenak untuk istirahat di TK waktu aku kecil dulu?”
Disya menyambut antusias saran yang aku ajukan. Dia mengangguk dengan cepat. Aku membawa kami menuju TK tempatku dulu bersekolah, bocah itu mengikuti di belakang. Beberapa menit kemudian, kami berdua sampai.
Aku meletakkan sepedaku di halaman rumput di depan TK, Disya melakukan hal serupa. Kami mengambil duduk di dekat sepeda, beralaskan rumput yang tumbuh rapi dan terawat.
Aku mengambil botol kayu putih yang selalu ku bawa kemanapun. Aku tahu Disya melirik, lalu hanya seulas senyuman yang mengembang di bibirnya. Mungkin dia sudah bosan mengomentari kebiasaanku ini.
“Dulu kamu sekolah di TK ini?” Disya mengedarkan pandangannya ke setiap sudut tempat itu.
“Iya. Dulu, waktu aku masih kecil.”
Disya tersenyum mendengar jawabanku, “Apa kamu pikir sekarang kamu sudah besar?”
Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal, benar juga apa yang dikatakan oleh bocah perempuan ini. Aku masih tetap anak kecil sampai sekarang, umurku hanya bertambah beberapa tahun saja. Kalimat Disya sedikit membuat tersipu. Beruntung wajahku tidak berubah merah. Atau mungkin wajahku memerah tetapi aku tidak menyadarinya, entahlah.
“Apa kamu punya banyak teman di Bandung?”
Disya mengangguk, “Tentu. Ada Indri, Nita, Alan, Reza, Rafka, Ariani, dan banyak lagi teman sekolahku yang lainnya. Aku kangen bermain bersama mereka.”
“Mungkin nanti kamu bisa bermain bersama teman-temanmu itu kembali.”
“Aku berharap seperti itu.”
Aku mengamati Disya yang sedang menatap kosong ke arah ruang kelas, ia pasti sedang memikirkan teman-temannya. Batinku berkata demikian.
“Hey, bagaimana kota Bandung itu?”
Disya terpancing, ia kembali menoleh dan tersenyum kepadaku. “Menyenangkan, di sana lebih sejuk dari pada di kota ini. Juga lebih banyak bangunan-bangunan tinggi. Bandung lebih besar dari pada Purwokerto.”
“Sebesar apa?” Aku merasa tertarik dengan perkataan Disya.
Gadis itu menggaruk dagunya, “Emm, sebesar apa ya? Pokoknya lebih luas dari kota ini.”
“Baiklah, aku cari tahu sendiri saja nanti. Suatu saat aku akan ke Bandung.” Ujarku mantap.
Disya tersenyum dan menganggukan kepala mendukung niatku.
Dari kejauhan, nampak tiga anak laki-laki berjalan mendekat. Aku mengenal mereka. Tomi, Rino, dan Zaenal, mereka adalah anak-anak kelas enam yang sering mencari gara-gara denganku di sekolah. Beberapa kali aku berkelahi dengan mereka dengan berbagai alasan.
“Hey, lihat. Ada anak mama di sini.” Tomi langsung mengeluarkan ejekan andalan yang sering dia ucapkan kepadaku.
“Anak manja sepertimu, kenapa bisa pergi jauh-jauh dari rumah. Apa kamu tidak takut tersesat nanti?” Rino menambahkan, membuat dua anak yang lainnya tertawa mengejek.
Disya nampak bingung dengan apa yang sedang terjadi di antara kami. Sementara aku masih berusaha menahan amarahku, tidak enak bila harus berkelahi di hadapan anak perempuan. Sekuat tenaga aku berusaha supaya emosiku tidak terpancing.
“Ada apa denganmu, anak manja? Kenapa kamu tidak emosi seperti biasanya?” Wajah Zaenal menatapku dengan heran, aku balas menatap tajam ke arahnya.
Tomi mengalihkan pandangannya kepada Disya, keningnya berkerut. “Siapa dia?”
“Anak pindahan, aku dengar rumahnya persis di sebelah rumah anak manja ini.”
“Oh, Pantas saja kamu tidak emosi seperti biasanya.  Tetapi, bagaimana kalau seperti ini?” Tanpa diduga Tomi menendang keras sepeda milik Disya hingga terjatuh.
Kali ini emosiku mencapai puncaknya, aku berdiri dan langsung menerjang tubuh Tomi. Kami saling pukul, bergumul di atas rumput. Dua orang lainnya berusaha membantu Tomi. Meski samar-samar kudengar tangisan Disya, namun perkelahian tidak seimbang ini tetap berlanjut.
Aku terus melayangkan tinju dengan serampangan. Melawan tiga orang sekaligus tentu bukan hal yang mudah, apalagi mereka lebih besar dariku. Tetapi emosi yang sudah terlanjur besar membuatku tidak merasa takut, aku terus mencoba melawan Tomi dan teman-temannya. Hingga mereka merasa lelah, lalu berlari pergi.
Di tempatnya, Disya masih ketakutan. Tangisannya belum mereda ketika aku berjalan menghampiri. Kedua tangannya memeluk lutut, aku berjongkok di hadapannya. Hampir semua badanku terasa sakit dan pegal, dan aku belum tahu bagaimana kondisi wajahku sekarang.
“Hey,” aku meletakkan kedua tangan di atas lututnya, membuatku langsung menyadari bahwa seluruh tubuh Disya gemetar.
“Sudah, mereka sudah pergi sekarang. Jangan menangis lagi.”
“Aku takut, kalian saling memukul.” Katanya tanpa menatapku. Tangisannya juga belum mereda.
“Aku minta maaf telah membuatmu ketakutan. Tapi sekarang aku minta berhentilah menangis. Semua telah selesei dan sekarang sudah sore, kita harus pulang.”
Disya menatapku sekarang, aku menangkap kekhawatiran dari kedua matanya yang basah. Dan entah mengapa aku tidak ingin melihat tatapan mata seperti itu lagi.
“Berjanjilah apapun yang terjadi, kamu tidak akan berkelahi lagi.” Tuturnya tiba-tiba. Membuatku terkejut. Wajahnya terlihat bersungguh-sungguh.
Dengan pelan aku mengangguk, “Baiklah, Disya. Aku janji.”

CINTA DALAM TELEPON KALENG (Sudah Beredar Di Toko Buku Di Seluruh Indonesia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang