SENYUM MILIK POPI "senyuman yang sama dari dua orang yang berbeda"

95 8 0
                                    

“Rayhan, tungguin dong.”
Aku membalikkan badan ketika teriakan Disya terdengar dengan cukup keras, padahal jarak kami hanya berjarak sekitar lima meter saja. Langsung ku jitak kepalanya dengan pelan saat gadis itu sudah mensejajarkan langkah.
“Nggak usah teriak-teriak kenapa, sih? Ini sekolahan bukan hutan.”
“Habis kamu jalannya cepet banget kayak dukun beranak. Kan aku udah bilang, tungguin. Eh kamu malah ngeloyor aja.”
“Kamu mberesin buku aja lama banget, aku udah kelaperan nih.” Sanggahku sambil terus melangkah menuju kantin. Perutku sudah keroncongan karena tadi pagi tidak sempat untuk sarapan.
“Laperan banget sih kamu, dasar cowok gembul.” Disya menepuk perutku pelan, matanya melirik dengan raut mencela. Dan mulutnya tertawa renyah. Gadis ini memang paling senang kalau menghinaku.
“Bagaimana hubunganmu sama Tristan? Nampaknya kalian semakin sering pergi berdua.” Kulirik wajah Disya yang kini sedang tersenyum, langkahnya berubah riang setelah mendengar pertanyaanku.
“So far so good,”
“Tapi tenang aja, aku tidak akan buru-buru seperti dulu kok. Tidak sebelum aku tahu lebih banyak tentang Kak Tristan.” Ucapnya dengan penuh kemantapan.
“Iya, jangan sampai aku harus menjemputmu di alun-alun dengan kondisi menangis lagi seperti dulu. Dasar cengeng.”
“Aah, Rayhan. Jangan diungkit-ungkit lagi dong, malu tahu.”
Kami berdua sampai di dalam kantin yang sudah ramai oleh murid-murid lain, Disya menarik tanganku menuju salah satu meja yang kosong dan duduk di tempat itu.
“Aku mau pesen dulu, kamu makan apa?”
“Emm, batagor aja. Pake ketupat ya. Terus es teh tawar juga.”
Aku mengacungkan jempol, lalu beranjak memesan makanan untuk kami berdua. Suasana istirahat membuat kantin ramai oleh siswa yang juga sedang membeli makanan untuk mengisi perut mereka. Aku menunggu cukup lama sebelum akhirnya mendapatkan pesananku dan berjalan kembali ke meja.
Langkahku sempat terhenti saat melihat Disya sedang tertawa, Tristan berada di kursi yang semula aku duduki. Sekali menghela napas, kulanjutkan langkah menuju mereka.
“Hey, kak Tristan.” Aku menyapa laki-laki itu sembari meletakkan nampan di meja. Senyum kaku tercipta di bibirku. Disya nampak langsung mengambil batagor miliknya.
“Eh, sori-sori. Silahkan duduk,” Tristan berdiri dan menyuruhku untuk menempati kursi itu kembali. “Aku balik kelas dulu ya,” pamitnya kemudian.
Aku dan Disya mengangguk bersamaan. Tatapan Disya masih mengikuti langkah laki-laki itu sampai beberapa detik. Aku menjatuhkan pantat di kursi, mencoba untuk tidak memikirkan apa yang baru saja kulihat. Lebih tepatnya, mencoba untuk tidak merasakan cemburu yang sedang muncul dalam hatiku.
“Aku akan pergi lagi sama dia nanti. Kak Tristan memintaku untuk menemaninya menjenguk teman yang sakit.”
Tiba-tiba Disya mengatakan itu kepadaku. Aku tetap menikmati makanan di hadapanku yang entah kenapa menjadi tidak memiliki rasa. Kemana hilangnya rasa lapar yang sejak tadi pagi mengganggu konsentrasi?
“Ya, tidak masalah,”
“Dan setelah itu mungkin kami akan jalan-jalan sebentar. Sekedar untuk makan es krim,” Lanjutnya.
“Sepertinya, sebentar lagi bakalan ada yang jadian, nih.”
Tawa kecil terdengar dari mulut Disya setelah aku mengatakannya. “Belum tentu juga, Rayhan. Sampai sekarang aku masih menganggapnya hanya sebatas teman kok. Bisa saja kan bakalan seperti ini terus.”
“Dan nggak menutup kemungkinan juga kan kalian saling jatuh cinta?” Sambarku.
Gadis di hadapanku ini mengangguk, “Biarkan berjalan sewajarnya saja. Aku nggak mau menyimpulkan apa-apa dulu sekarang.”
Meskipun pelan, aku menghela napas dengan cukup berat, tidak ingin Disya mendengarnya. Gadis ini pasti akan sibuk dengan teman barunya itu, biarlah saja. Toh aku masih bisa menemuinya setiap aku mau, karena rumah kami bersebelahan. Atau setidaknya, karena kami satu kelas.
Makanan yang seharusnya mengganti sarapanku masih tersisa beberapa suap ketika bel masuk terdengar di setiap sudut sekolah. Menyuruh kami untuk kembali masuk ke dalam kelas dan kembali menerima pelajaran yang diberikan oleh guru. Aku dan Disya berjalan dengan suasana hati yang mungkin kontras. Disya berbunga-bunga, dan aku masih dengan rasa cemburuku.

Mataku menatap kaleng yang biasanya aku jadikan alat untuk bercanda dengan Disya melalui kamar kami masing-masing, kini sudah begitu jarang digunakan, penampilannya sudah sedikit berkarat. Kalau sudah seperti ini, biasanya Disya akan merengek minta untuk diganti dengan kaleng baru yang lebih bersih. Tetapi kali ini mungkin Disya belum sempat untuk melakukannya.
Ah, kenapa harus menunggunya untuk meminta, mungkin aku bisa menggantinya sekarang juga.
Kusambar kunci motor yang tergeletak di meja belajar dan meraih jaket kulit dari belakang pintu kamar. Aku melangkah menuruni anak tangga, berniat membeli kaleng bekas yang masih bersih dari pasar, tempat biasa aku membelinya.
“Mau kemana, Rayhan?” suara ibu sempat menghentikan langkahku.
“Keluar sebentar, Bu. Nyari kaleng.”
“Jangan lama-lama, sebentar lagi kan mahrib. Ibu ingin makan malam lengkap sama keluarga kita, mumpung kakakmu masih di rumah. Besok kan dia berangkat ke Semarang lagi.”
“Iya, Bu.” Kucium kedua pipi ibu, lalu bergegas menuju motor.
Hari sudah sedikit sore, semoga toko-toko di pasar belum tutup semua. Batinku berharap. Kupacu laju sepeda motor cepat agar bisa sampai pasar dengan segera.
“Mau beli kaleng lagi mas?” Sambut pemilik warung ketika aku sudah berada di dalam.
“Iya, Bu. Yang kemarin sudah karatan,”
Aku menyambut plastik hitam yang berisi dua kaleng bekas dari pemilik warung, memberikan beberapa lembar uang dan melangkah keluar warung. Namun tanpa sengaja aku menabrak seseorang yang berjalan dari arah lain, membuatku terkejut ketika melihat sosoknya. Aku mengenalnya, kami satu sekolahan walaupun tidak satu kelas. Seorang gadis yang aku tahu bernama Popi.
“Popi, ngapain kamu di sini?”
“Ini warung ibuku. Aku hendak membantunya menutup warung.”
Tawa kecil tercipta dari mulutku, “Begitu ya? Padahal aku sering membeli kaleng di sini, tapi tidak pernah melihatmu. Baru tahu aku.”
“Kaleng buat apa?”
Sejenak kugaruk kulit kepalaku, mencari jawaban tepat untuk pertanyaan yang diajukan Popi. “Buat iseng-isengan aja sih,” entah kenapa itu jawaban yang keluar dari mulutku.
Kulihat Popi menganggukan kepala walaupun aku yakin gadis ini belum benar-benar mengerti alasanku membeli kaleng. Kami terdiam beberapa saat, aku mencoba berpikir untuk mencari topik pembicaraan yang lain.
“Ngobrol di sana dulu yuk,” ajakku kemudian.
Popi mengangguk, meminta ijin kepada ibunya sebelum membuntutiku menuju pedagang es di depan toko.
“Jadi, kamu sering beli kaleng di toko ibuku cuma untuk iseng-isengan?”
Aku tertawa renyah, “Nggak juga sebenarnya. Gini, kamu tahu Disya kan?”
“Jelaslah, cewek yang selalu bareng kamu itu,”
Aku mengangguk, “Nah aku mengenalnya sejak kecil karena rumah kami bersebelahan. Dan, sejak kecil kami sering berbicara melalui telepon kaleng. Itu bertahan sampai sekarang, keren kan?” Tawaku kembali terdengar setelah selesai menjelaskan, begitu juga dengan Popi yang saat ini ikut tertawa.
“Dasar, aneh-aneh saja kalian. Ada gitu ya orang yang punya kebiasaan seperti itu, sejak kecil pula.”
Menyenangkan juga tawa yang kudengar dari bibir Popi ini. Berbeda dengan yang sering aku dengar dari Disya. Namun harus kuakui, keduanya sama-sama memiliki tawa yang enak untuk didengar.
“Begitulah kenyataannya,”
Tawa Popi sedikit demi sedikit mereda, “Kamu sama Disya pacaran ya?”
Aku tersedak jus jambu yang sedang kuminum, “Enggak, kami hanya bersahabat sejak kecil kok.”
“Habis, banyak teman sekolah kita yang ngira kayak gitu. Kalian emang deket banget sih, jadi kelihatan seperti orang yang lagi pacaran. Sampai-sampai banyak lho murid-murid cewek yang cemburu sama Disya.”
Bibirku menciptakan senyum kembali, “Kayak yang aku bilang tadi, aku sama Disya udah sahabatan sejak kecil. Jadinya ya emang deket, udah kayak kakak adik malah. Jangan heran deh kalau melihat kami di sekolah kayak gitu. Aku mah belum punya pacar.”
“Oh, ya ya ya. Jadi yang semua orang kira selama ini itu salah, kamu sama Disya nggak pacaran.”
“Yap.”
“Bakalan pada seneng nih cewek-cewek di sekolah kita kalau tahu kamu nggak punya pacar.”
“Termasuk kamu?”
Wajah Popi memerah sekarang, dia menunduk, membuatku tersenyum simpul.
“Udah sore nih, aku pulang dulu ya. Ini biar aku aja yang bayar, sebagai terima kasihku karena sudah ditemenin ngobrol.”
Popi seakan hendak mencegah, namun ketika melihatku menyodorkan uang kepada penjual, ia urung untuk melakukannya. Setelah itu, kami saling berpamitan dan melempar senyum, sebelum akhirnya aku meninggalkan tempat itu.
Senyum di bibirku ini belum menghilang walapun laju motor sudah membawaku melintasi jalanan, jauh dari warung milik keluarga Popi.

CINTA DALAM TELEPON KALENG (Sudah Beredar Di Toko Buku Di Seluruh Indonesia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang