BINTANG-BINTANG "Mereka bersinar, walau hanya sekedar titik kecil"

130 11 7
                                    

Aku sudah melupakan kejadian yang membuatku kecewa beberapa hari lalu. Nama Yoga sudah berhasil kuhapuskan dari dalam hati, tentu saja dengan bantuan Rayhan yang terus menghiburku. Sekali lagi cowok itu bisa diandalkan, aku beruntung bisa memiliki sahabat sebaik dia. Kini keceriaanku sudah benar-benar kembali seutuhnya, lupakan dulu masalah perasaan. Rayhan tidak mengijinkanku terus memikirkan itu.
Mau tidak mau aku harus menurutinya, karena cowok itu pasti akan marah besar jika aku bandel. Haha, entah kenapa aku begitu penurut kepada Rayhan. Sikapnya seperti pernah mengalami jatuh cinta saja, padahal sekalipun aku belum pernah melihat pemuda itu dekat dengan lawan jenis walaupun banyak gadis yang menyukainya. Tetapi itu tidak masalah, karena aku tahu yang Rayhan lakukan adalah demi kebaikanku sendiri.
“Nanti saja, kalau kamu sudah benar-benar bertemu dengan cowok yang pantas buatmu.” Seperti itu nasehat Rayhan ketika kami sedang melakukan aktivitas kebiasaan kami, berbicara melalui telepon kaleng.
Malam ini aku sedang memandang bintang-bintang yang banyak bertaburan di langit melalui bingkai jendela. Menatap ke atas, menikmati keindahan yang terlukis sempurna oleh sang pencipta. Bulan di kejauhan bersinar terang, cahayanya mendominasi kegelapan malam.
Aku menopangkan dagu pada kedua tangan, membayangkan seandainya tubuhku dapat terbang di antara jutaan bintang itu. Tak kuasa senyum merekah di bibir, sampai ku dengar suara berdehem yang berasal dari rumah sebelah. Rayhan duduk di tepi jendela, sedang menatap dengan senyum yang mengejek.
“Sudah berapa lama kamu di situ?”
Rayhan mengangkat kedua bahunya, “Yang jelas sudah cukup lama untuk melihatmu senyum-senyum sendiri. Seperti orang gila saja.”
Kalimat itu jelas membuatku mendesis. Aku mengalihkan pandanganku kembali ke langit.
Dari arah Rayhan terdengar sedikit suara gaduh, membuatku menoleh. Aku terkesiap ketika kulihat laki-laki itu sedang berusaha meniti balkon di antara rumah kami. Rasa ngeri langsung saja merayap. Saat terakhir aku melihat Rayhan melakukan itu adalah ketika masih kecil dulu, ketika pertama kali kami menggunakan telepon kaleng dari kamar masing-masing.
“Rayhan, apa yang kamu lakukan?” Rasa khawatir jelas sekali terdengar dari suaraku.
Ia tidak menjawab, laki-laki bermata hitam itu justru duduk dengan santai di tengah-tengah balkon sekarang. Apa Rayhan tidak merasa takut duduk di situ? Tempat itu kan lumayan tinggi. Tubuhku bergidik ngeri melihat dia sedang mengayun-ayunkan kakinya.
“Hey, kalau kamu berani ke sini dan duduk di sebelahku, aku akan berikan apapun yang kamu mau.”
Rayhan gila, dia menyuruhku untuk menyusulnya ke tempat itu? Mana mungkin aku berani. Dan lagi, bisa-bisa aku di marahin mama kalau sampai beliau tahu anak gadisnya pecicilan sampai ke balkon setinggi itu.
“Ogah ah, kamu aja situ. Aku mah di sini aja cukup.”
“Yakin? Dari sini bintang sama bulannya lebih terlihat jelas, lho. Indah banget ternyata.”
Rayuan Rayhan mulai mempengaruhiku sekarang. Tetapi rasa takut yang terasa masih lebih besar, aku kembali menggeleng untuk menolak.
“Huh, dasar cemen.” Ejeknya dengan wajah yang menyebalkan.
Aku membalasnya dengan menjulurkan lidah, Rayhan tertawa renyah setelah itu. Ingin sekali aku menjitak kepalanya dengan sangat keras, sampai dia merasa kesakitan.
“Kadang aku heran, aku mempunyai banyak teman sekarang. Tetapi kenapa ujung-ujungnya pasti aku menghabiskan waktu sama kamu, bosan aku.” Tutur Rayhan.
Aku tahu dia hanya bercanda, tetapi dalam hati, aku tetap membenarkan kalimat yang terucap dari bibirnya.
“Iya, aku juga sebenernya merasa jenuh setiap hari melihat wajahmu.” Balasku, disusul dengan tawa kami berdua. Tidak ada yang sungguh-sungguh saat mengatakannya, mana mungkin seperti itu.
“Cari pacar sana.” Perintahku spontan, membuat tawa Rayhan semakin keras.
Memangnya ada yang aneh dengan ucapanku sampai dia berhak tertawa seperti itu?
“Ogah ah, aku belum pengin ada yang ngerusuhin kehidupanku. Ntar dikit-dikit minta dijemput, anter sana anter sini. Minta di temenin kemanapun. Cewek kan kaya gitu.”
“Dih, emang aku pernah gitu?”
“Seriiiiiiing pakek banget. Wah, nggak oke nih. Kamu nggak inget kalau kamu sering bikin repot.”
Aku tersenyum mendengar keluhan Rayhan. Memang tidak ada selain dia yang bisa ku andalkan, bukan bermaksud untuk merepotkan atau memanfaatkan pemuda itu. Tetapi selain Rayhan, aku tidak punya teman dekat lagi. Tidak sedekat aku dengan Rayhan, sampai membuatku sungkan untuk meminta bantuan.
“Aku selalu mengucapkan terima kasih, bukan?”
Rayhan merubah posisi duduk, ia memeluk kedua kakinya sendiri.
“Aku tidak keberatan melakukan apapun untukmu.” Cowok itu mengambil jeda pada kalimatnya, “Karena aku tahu kamu tidak bisa apa-apa tanpaku.”
Tawa keras kembali terdengar dari bibir Rayhan. Sial, dia memang paling bisa meledekku. Tetapi mau tidak mau akupun ikut tertawa, entah bagian mana yang lucu. Tetapi itu sering terjadi, saat salah satu diantara kami ada yang tertawa.
“Kakakmu kapan pulang? Betah banget dia di Semarang.” Aku mengganti topik pembicaraan.
Rayhan mengangkat bahu, “Nggak tahu. Terakhir dia BBM katanya masih banyak tugas yang nggak bisa ditinggalin.”
Aku mengangguk-angguk paham, “Kamu nggak kangen sama dia?”
“Apaan sih pertanyaanmu? Ada-ada aja.”
“Lho, apa salahnya dengan pertanyaanku?”
“Laki-laki kangen sama laki-laki, biarpun itu saudara sendiri tetapi tetap ada rasa canggung, kan.”
Kali ini aku tidak bisa menahan tawaku mendengar nada bicara Rayhan yang terkesan ingin berkata, ‘iya aku kangen Kak Sakti tetapi malu untuk mengatakan kepadanya.’
“Segitunya kamu, padahal sama kakak sendiri,”
“Sudahlah. Mending kita nikmati saja bintang-bintang itu, bukankah malam ini banyak sekali bintangnya?”
Aku kembali melempar pandanganku, menatap langit yang memang sedang dipenuhi bintang.
“Kamu percaya kalau sebenarnya bintang juga ada di langit siang?”
“Mana ada?”
Senyum melengkung di bibirku, “Menurutku bintang tetap ada di langit saat siang hari, hanya saja sinarnya tertutup oleh matahari yang memiliki sinar jauh lebih terang.”
“Kamu memang selalu punya teori sendiri untuk hal-hal yang kamu yakini,”
“Bintang memang punya berbagai keunikan. Bisa membentuk sebuah rasi, membentuk keajaiban yang tidak bisa kita lihat di siang hari. Bintang yang walaupun sangat banyak, tetapi tetap memberikan tempat untuk satu buah rembulan,”
“Sejak kapan kamu menyukai bintang?”
“Sejak papa mengajaku berlibur di puncak. Dulu, dulu sekali. Sudah sangat lama.”
Rayhan tidak menanggapi omongaku, membuat bola mataku melirik ke arahnya. Dia sedang tersenyum sambil menatap bintang rupanya, entah apa yang sekarang sedang Rayhan pikirkan. Membuat bibirku turut serta tersenyum.
“Sudah malam, tidur yuk. Besok kan harus sekolah.” Ajakku kemudian.
Rayhan menoleh dan mengangguk. Cowok itu berdiri, membersihkan celana bagian belakang dengan dua tangannya lalu kembali berjalan menuju kamar dengan perlahan. Aku masih ngeri saat melihat Rayhan melakukan itu, walaupun kini ia sudah berdiri aman di dalam kamar.
Cowok itu nampak menunjukkan kaleng miliknya, dengan heran akupun meraih kaleng milikku dan menempelkan ke telinga.
“Selamat tidur, cewek cemen.” Aku dapat mendengar suara tawa Rayhan dengan jelas, suasana yang sunyi membantu untuk meningkatkan pendengaranku. Rayhan, bahkan ketika akan tidurpun dia masih mengejekku.
“Awas kamu besok.” Ancamku sambil tersenyum.

“Buruan dong.”
Rayhan menyuruhku untuk bergegas naik ke atas boncengan motor dengan cepat. Aku langsung menurut. Wajah Rayhan yang tegang membuatku tidak berani untuk berdebat. Walau begitu, aku tetap memasang wajah yang tidak kalah garang dari Rayhan. Cowok ini harus tahu aku juga bisa galak.
“Bisa-bisanya jam segini baru siap, jadi telat kan kita. Semoga pintu gerbangnya belum di tutup sama pak Saleh.” Rayhan masih menggerutu tidak kalah keras dari suara knalpot motornya yang menggerung, ingin sekali aku mencekik lehernya dari belakang.
Pukul tujuh kurang sepuluh menit, kami baru akan berangkat menuju sekolah yang jaraknya sekitar lima belas menit jika Rayhan melajukan motor dengan kecepatan normal. Tetapi jika melihat situasi saat ini, aku harus bersiap-siap dengan kecepatan tinggi yang akan membawaku ke dalam keadaan yang berantakan. Dan yang paling membuat khawatir adalah kondisi rambutku nanti ketika sampai di sekolah, pasti akan mencuat kemana-mana. Bukan sebuah hal yang bagus untuk seorang gadis tentunya.
Pemuda ini mengendarai sepeda motor dengan lincah walaupun kecepatan lajunya membuatku berkali-kali harus memejamkan mata karena takut. Rayhan memang memiliki tingkat disiplin yang cukup tinggi jika dibandingkan denganku, membuatnya paling anti dengan yang namanya terlambat.
Pintu gerbang sudah hampir didorong sepenuhnya oleh pak Saleh ketika kami tiba di depan halaman sekolah. Dengan wajah yang memelas akhirnya kami diijinkan masuk asalkan mesin motor tidak dinyalakan, tanpa pikir panjang aku dan Rayhan menyanggupi syarat tersebut. Jadilah sekarang kami mendorong motor sport Rayhan yang besarnya hampir seperti kerbau ini.
Napasku mulai tidak beraturan, ditambah dengan peluh yang menetes dari dahi dan beberapa bagian tubuhku yang lain. Badanku terasa lengket semua sekarang, benar-benar membuatku tidak nyaman.
“Bagus, sekarang dandananku berantakan semuanya.” Aku meneliti penampilanku sendiri ketika motor itu sudah terparkir di tempatnya.
“Sudah, nggak usah mengeluh, ini juga kan gara-gara kamu. Ayo bergegas ke kelas, daripada semakin terlambat.” Rayhan menarik tanganku yang sedang merapikan seragam sekolah. Dengan wajah yang bersungut-sungut aku terus membuntutinya menuju kelas.
Langkah kaki kami berubah melambat ketika melihat pak Rianto sudah lebih dulu berada di dalam kelas dan tampak memulai pembelajaran. Dengan ragu-ragu Rayhan mengetuk pintu, aku bersembunyi di balik punggungnya.
“Masuk.”
Suara berat pak Rianto semakin meciutkan nyaliku. Rayhan mendorong pintu, seluruh mata di dalam kelas memandang ke arah kami sekarang. Tetapi tatapan tajam guru Bahasa Indonesia inilah yang seakan paling menghakimi.
“Maaf, Pak, kami terlambat.” Rayhan sekaligus mewakiliku berbicara dengan guru yang sudah termasuk senior di sekolah ini.
Pak Rianto meneliti keadaan kami yang berantakan dan berkeringat, “Kenapa bisa sampai terlambat?”
“Tadi motor saya mogok, Pak, kehabisan bensin. Sampai-sampai kami harus mendorong motor untuk mencari penjual bensin.” Rayhan berbohong tentang alasan yang menyebabkan kami berdua terlambat.
“Ada-ada saja. Ya sudah, sana duduk.” Perintah beliau akhirnya.
Aku bisa bernapas lega sekarang, kulihat wajah Rayhan juga tidak sepanik tadi. Kami melangkah menuju bangku dan duduk. Pak Rianto kembali memberikan materi pelajaran di depan kelas.
Aku menyeka keringat di kening dengan punggung tangan, dengan kondisi yang seperti ini tentu membuatku tidak dapat berkonsentrasi mendengarkan pelajaran. Berkali-kali kugunakan buku catatan untuk mengipasi wajah. Ditambah, ini adalah hari pertamaku menikmati kodrat sebagai seorang wanita di bulan ini.
Dengan rasa risih yang semakin tidak bisa kuatasi, aku memberanikan diri maju ke depan untuk menemui pak Rianto, “Permisi, Pak. Saya minta ijin ke belakang.”
“Kamu kan baru masuk, kenapa sudah minta ijin untuk keluar lagi?”
Aku bisa mengetahui kalau siswa yang lain memandangku dengan berbagai ekspresi, termasuk Rayhan di dalamnya.
“Maaf, Pak. Saya ingin ke kamar kecil.” Kubuat wajah memelas mungkin agar Pak Rianto mengijinkanku ke toilet.
“Ya sudah sana. Jangan lama-lama.”
Aku langsung berlari kecil keluar dari dalam kelas dan bergegas menuju toilet sekolah. Tanpa pikir panjang kumasuki salah satu bilik yang kosong, lalu membasuh wajah dengan air, seketika aku merasakan kesegaran menjalar di seluruh tubuh.
Beberapa menit aku berada di dalam toilet.
Kulangkahkan kaki untuk kembali ke dalam kelas setelah semua urusanku di toilet selesai, melewati kantin sekolah yang masih nampak sepi dengan sedikit tergesa-gesa. Tetapi langkahku terhenti ketika kulihat seorang siswa sedang mengendap-endap keluar dari gudang kosong di sudut paling belakang sekolah. Rasa penasaran membuatku terus mengamatinya.
Entah bagaimana bisa terjadi, tetapi sekarang cowok itu balas menatapku. Membuatku langsung membuang pandangan ke arah lain. Dan jantungku berdegup cepat ketika ia berjalan menghampiriku.
“Sedang apa kamu di sini?”
Aku melihat tiga strip berwarna biru menempel di lengan sebelah kanan pada seragam sekolahnya, sebagai identitas angkatan. Kelas tiga rupanya, kakak kelasku.
“Habis dari toilet, Kak.”
“Kelas dua apa?”
“Dua IS dua, Kak.”
Aku dapat melihat bibirnya yang pucat dan sedikit bergetar hendak mengeluarkan kata-kata kembali. Tetapi kuputuskan untuk sesegera mungkin memohon diri dan masuk ke dalam kelas, Pak Rianto pasti akan marah kalau aku terlalu lama di luar.
“Tunggu,”
Aku kembali menghentikan langkah ketika kudengar cowok itu memanggil, kupalingkan wajahku kepadanya.
“Aku belum menanyakan namamu.”
Kuputuskan untuk tidak menjawabnya, hanya mengganti dengan sebuah senyuman yang tersungging di bibir. Sempat kulihat cowok itu menggaruk tengkuknya sebelum aku kembali balik badan dan melangkah menuju kelasku.

“Gara-gara kamu hari ini kita terlambat, huh.” Rayhan masih saja mengeluarkan protes di hadapanku.
Kami sedang berada di kantin, menikmati makan saat istirahat pertama ini. Aku tengah menyantap bakso, sedangkan Rayhan hanya memesan es jeruk untuk melepas dahaganya. Selain aku dan Rayhan, ada dua orang teman kami yang juga duduk satu meja. Rahma dan Fitri.
“Aku sudah minta maaf berkali-kali, masih aja disalahin.” Nada bicaraku terdengar ketus kali ini.
“Makannya, lain kali jangan lambat.”
Aku mendengus sebal, “Kan baru pernah kayak gini, biasanya juga nggak pernah telat kok. Salah sedikit aja terus-terusan dipojokin, nyebelin kamu.”
“Dih, malah balik sewot. Yang ada kan harusnya aku yang marah.”
Dua orang di sebelah kami nampak bingung dan salah tingkah melihat pertengkaran kecil antara aku dan Rayhan.
“Ya udah kalau mau marah, marah aja situ. Yang lama juga nggak apa-apa. Kamu nggak tahu sih ya repotnya jadi wanita,”
Rayhan tersenyum kecut, “Sensitif banget sih, sampai bawa-bawa gender segala?”
“Rayhan, Disya itu sedang menghadapi siklus wanita. Kamu kalau mau galak-galakan jelas kalah lah.” Tiba-tiba Rahma menyela perdebatan kami sambil tersenyum.
“Maksudnya?”
“Sahabatmu ini sedang datang bulan, mens-tru-a-si,” Fitri sengaja mengeja kalimatnya yang terakhir dengan senyum tersungging di bibirnya.
Rayhan menatapku dengan hening, kemudian tawa keras keluar begitu saja dari mulutnya. Aku membuang napas dengan kesal, cowok ini mudah sekali tertawa keras. Sangat beda dengan dirinya saat kecil dulu.
“Bilang dong kalau lagi ada tamu.” Kata Rayhan di sela tawanya.
“Bodo,” Aku menggigit bibir bagian bawah karena menahan sebal.
“Hai,”
Tiba-tiba sebuah suara mengejutkan kami, aku menoleh. Kudapati kakak kelas yang tadi bertemu denganku sedang tersenyum. Dan aku hanya melongo ketika tiba-tiba dia menjulurkan tangan kanannya.
“Kenalin, aku Tristan.” Selanjutnya ia menyebutkan nama, membuatku semakin terpaku.
Sampai beberapa detik aku membiarkan tangan itu tetap menggantung.
“Emm, aku boleh tahu namamu?”
Aku tersadar karena ucapannya, ku balas tangan Tristan.
“Namaku Disya.”
“Akhirnya bisa tahu namamu juga, Disya. Nama yang cantik, seperti orangnya.”
“Makasih, Kak.”
Tristan mengangguk, “Oke deh, aku kumpul sama temenku dulu. Kapan-kapan kita ngobrol lagi ya, tadi pagi belum puas.”
Aku mengangguk dengan kikuk, tatapan Rayhan, Rahma, dan Fitri membuatku semakin salah tingkah.
“Tadi pagi emang kamu ngapain sama dia?” Rayhan menaikan satu alisnya saat bertanya.
“Hah? Oh, tadi waktu aku habis dari toilet ketemu sama dia. Kami ngobrol sebentar.” Aku menjawab seadanya.
Tristan, cowok itu memiliki mata yang tajam namun terlihat sayu. Dan lingkaran hitam yang berada di sekitar matanya itu, seakan menjadi nilai kurang untuk wajahnya yang tampan.

CINTA DALAM TELEPON KALENG (Sudah Beredar Di Toko Buku Di Seluruh Indonesia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang