XX

33 9 0
                                    

Lima tahun kemudian

Joana POV

Malam ini suasana di stadion Emirates begitu riuh oleh pendukung PSG di sisi selatan stadion, sementara di bagian utaranya di persiapkan khusus untuk pendukung Arsenal. Meski pertandingan belum akan dimulai setidaknya hingga tiga puluh menit ke depan, tapi bangku-bangku di tribun sudah mulai dipenuhi oleh para penonton. Aku datang kemari bukan untuk mendukung keduanya; aku tidak suka bola. Not at all. Jangan pikir hanya karena kakakku adalah pemain bola lalu aku menyukai permainan itu. Entahlah, aku hanya tidak menemukan alasan kenapa aku harus peduli pada orang-orang yang berlarian hanya untuk memperebutkan satu bola.

Lalu kenapa aku berada di sini? Di Emirates stadion? Orang-orang rela menghabiskan ratusan Euro hanya demi duduk di bangku depan tribun dan menikmati Liga Champion bersama penggemar lainnya dari seluruh dunia. Well... sedikit rumit memang, aku baru saja kembali dari Mesir setelah enam bulan yang lalu aku memulai kontrak dengan perusahaan jaringan di sana. Orang normal mungkin akan mulai mengunjungi tempat-tempat yang lama telah ditinggalkan. Kedai kopi, restoran, taman, atau bahkan rumah kenalan, sementara aku malah mengunjungi stadion.

Tiga tahun yang lalu Jordi pindah ke PSG dan bermain di Paris dengan sisa kontrak dua tahun lagi. Setelah apa yang terjadi padanya lima tahun yang lalu, Jordi seperti ingin meninggalkan kisahnya di Barcelona. Aku mengerti, bagaimana dia harus kehilangan orang yang dicintainya, dan juga calon anggota keluarga lainnya. Dan tetap berada di Barcelona hanyalah membuatnya semakin terpuruk.

Sudah setahun−setidaknya aku dan Jordi tidak bertemu, dia sibuk dengan segala pertandingan, dan aku pun sibuk di Afrika utara sana. Jadi malam ini sepertinya waktu yang sedikit tepat untuk melepaskan rindu dengan kakak lelakiku. Aku tidak mengatakan akan mengunjunginya,−mungkin setelah pertandingan aku bisa menyelinap ke kamar ganti dan mengejutkannya. Siapa tahu aku mendapat bonus melihat pria-pria atletis yang berjalan kesana kemari dengan handuk mereka. Hahahaha... aku bercanda. Aku tidak akan melakukannya, Jordi pasti akan membunuhku jika itu terjadi.

"Hey.... Are you ready for the game?" Seorang wanita sedang melilitkan syal ke leher anaknya dengan hati-hati. Mereka berada beberapa barisan di depanku.

" Of Course Mommy." Sang anak menjawab dengan antusias, dengan aksen British yang begitu kental. Aku mencoba melihat pasangan ibu dan anak itu lebih jelas. Si anak mengenakan jersey PSG dengan nama Jordi Alba, sementara si ibu mengenakan jaket klub yang sama. Mereka pendukung tim dari Perancis sementara sang anak bicara Bahasa Inggris. Wow... menarik.

Tak lama datang seorang pria yang rupanya akan duduk di samping si Jordi Alba kecil. Pria berkulit hitam yang datang itu berdehem sekali membuat si ibu tersadar.

" Oh I am sorry Sir. My son puts his drink on your seat." Wanita itu minta maaf dan segera mengambil gelas minuman anaknya.

" It's fine, little Jordi Alba." Kata si pria dengan ramah.

" His name is Thiago." Sang ibu memperkenalkan anaknya kepada pria itu.

" Ah... my name is Nigel. Nice to meet you Thiago." Si pria pun memberi tahu namanya pada mereka.

" Nice to meet you too Nigel." Oh Tuhann... lihat bagaimana cara anak itu membalas sapaan si pria bernama Nigel. Dia begitu lucu.

" And you are...." Nigel terlihat penasaran dengan ibu Thiago.

" I am Ellen. Ellen Moreno." Sahut si ibu.

" Permisi nona... kau duduk di tempatku." Seorang pria berumur sekitar lima puluh tahun tiba-tiba saja datang kepadaku. Dia membawa se-buket popcorn dan juga sebotol besar kola untuk pertandingan. Aha... sepertinya dia orang Amerika yang mengira bahwa dia bisa membawa football mereka pada football orang-orang Eropa. Baiklah... lupakan dia. Aku bangkit dari kursi yang kutempati dan berjalan ke depan.

" Ya Tuhan Joana. Aku pikir kau tidak jadi datang." Dia memelukku antusias saat melihatku tiba-tiba saja sudah berdiri di samping kursinya.

" Auntie Joana... I miss you." Astagaaa.... Aku begitu menyukai cara Thiago bermanja-manja padaku.

" Lepaskan pelukanmu Ell. Aku lebih merindukan anakmu dari pada dirimu." Kataku berontak, mencoba untuk melepaskan pelukannya dariku.

" Yayaya... aku akan membiarkan kalian berdua bersama setelah pelukan ini."

" English please." Kata Thiago mulai memprotes obrolanku dan ibunya. Ya Tuhannnn.... Aku tidak bisa berhenti mengutuk kalau begini. He's so damn cute...

" Yashhh sweet heart. How are you? I miss you soooo 'damn' much." Aku berusaha untuk membuat 'damn' itu teredam oleh suara riuh orang-orang di stadion, agar Ellen tak tahu jika ternyata aku menyumpah di depan anaknya.

" Fufff... I miss you a lot auntie." Ckkkk.... Bahkan Thiago masih ingat jika enam bulan yang lalu aku pernah menyumpah−secara tak sengaja, di hadapannya.

" Hey... its enough to say I miss you without that fufff..." Protes Ellen.

" Oopss... sorry mommy." Thiago menutup rapat mulutnya dengan kedua tangan.

" Hey yooo... kalian sudah datang rupanya." Huh... itu Bastian. Aku tak tahu jika Ellen juga mengundangnya kemari.

" Uncle Bastian, English please." Thiago melakukan hal yang sama pada Bastian.

" Ell... kau harus mengajari anakmu bahasa Spanyol. Seperti pengajaran bilingual. Saat ini bahasa Spanyol juga akan go internasional, seperti Bahasa Inggris." Ha... pede sekali pria ini.

" Hi there... Can I join you?" Oh My God.... Aku tidak percaya ternyata Nick juga ada di sini.

" Ah ya, kau akan selalu disambut disini." Kata Ellen dengan tersenyum.

Beberapa tahun yang lalu, kami berpisah tidak dengan cara yang semestinya. Setelah kematian Ella, semua orang perlahan mulai pergi. Jordi yang memutuskan untuk pindah ke Paris, Bastian juga rupanya sempat kembali ke Brazil untuk beberapa waktu, Nick terus-terusan mencoba mendapatkan apa yang ia inginkan lewat Paulo. Yap... selain Ella yang memalsukan kematiannya, ia juga meminta Nick dan aku untuk memalsukan kematian Paulo. Dengan demikian, mereka bisa mendapatkan identitas baru dan terlepas dari para pengejar yang selama ini meneror keduanya.

Ellen Moreno... itulah identitas baru yang kami berikan untuk Ella. Aku memintanya untuk tinggal dan beradaptasi denganku di London. Dia berhasil, akhirnya Thiago−keponakanku lahir tanpa ada ancaman dari pihak manapun. Jordi? Tidak... Ella tidak berniat untuk memberi tahu kakakku tentang rahasia ini. Dia memintaku untuk tetap diam sampai kapanpun. Baiklah... lagi pula jika Ella tinggal bersama dengan Jordi, aku tidak akan bisa sering-sering bersama dengan keponakan lucuku. Yang lebih penting adalah, dia tidak ingin lagi ada bagian masa lalu yang tersisa. Boixos Nois dan kakakku adalah dua hal yang ingin Ella tinggalkan. Bukan berarti dia membenci mereka. Karena jika terlibat dengan Boixos Nois ataupun Jordi Alba, dia tahu bahwa Thiago tidak akan aman.

Lima tahun lebih aku mengenal Ella, tetap saja aku tak mengerti dengannya. Aku mungkin salah mengatakan jika dia adalah wanita lemah yang hanya bisa menangis dan dengan itu ia bisa mendapatkan simpati. Aku salah besar. Bertahun-tahun aku mencoba untuk memahaminya, selalu ada saat dimana aku akan merasa salah tentang wanita itu. Aku tidak tahu apa saja yang pernah ia lalui. Potongan-potongan cerita baik itu ketika ia masih di Boixos Nois dan petualangannya di Brazil nyatanya tidak sepenuhnya bisa menggambarkan seberapa kuatnya seorang Ella. Namun yang sangat aku yakini adalah, Ella sudah begitu berani mengambil keputusan besar untuk meninggalkan kehidupannya di masa lalu dan memulai segalanya, bersamaku−orang yang awalnya tidak terlalu menerimanya dengan baik.

" You want to scream? Scream then." Ellen menyemangati anaknya saat para pemain mulai memasuki lapangan.

" Jordi Alba..... I love you." Thiago, −dengan suaranya yang lucu; yang mungkin tenggelam ditelan keriuhan para supporter, meneriakkan nama ayahnya sebelum pria itu bertanding.

.........

The FallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang