Kedua pedang yang terbuat dari bambu itu saling menghantam. Ruangan kedap suara yang dihuni mereka, kini terdengar suara yang cukup berisik di antara keduanya. Tidak ada suara yang keluar dari mulut, hanya gesekan pada pedang yang saling beradu.
Tidak lagi fokus ketika lawan yang dihadapi cukup kuat, pada akhirnya Kawaki memilih menyerah dan membiarkan pedang bambu di tangannya lepas karena sebuah ayunan kecil.
Masih dengan napas terengah-engah, ia membuka pelindung kepala, lalu mengangkat kedua tangannya. "Aku menyerah," kata lelaki itu, lalu memilih mengambil sikap duduk dengan meluruskan kakinya. "Kau licik Paman," Neji tersenyum tipis ketika mendengar kalimat itu. "Kau memilih seni beladiri yang tidak aku kuasai sebagai pertandingan untuk melepaskan amarahmu."
Pria itu membuka pelindung kepala. "Tidak cukup menguasai satu beladiri, aku tahu kau sangat pandai di bidang tinju. Itu tidak akan cukup," lalu mengambil sikap duduk serupa seperti keponakan tirinya. "Ototmu benar-benar kuat, kau memiliki bentuk tubuh yang bagus."
"Itu karena Iwabe sering menjadi lawan mainku."
"Kau tidak menjadikan dia sebagai samsak tinjumu, 'kan?"
Kawaki tergelak, menerima sebuah botol minum dari pamannya. "Terimakasih."
Neji memperhatikan lelaki itu dari atas sampai bawah, jujur saja kalau Kawaki memiliki bentuk tubuh yang sangat bagus. Tinggi mereka sekarang bahkan tidak seimbang, selain itu ada hal yang menarik dari lelaki di sampingnya. Ia selalu memuji cara berpikir yang terbilang jenius, setiap tindakan selalu berbau dengan logika tanpa perasaan. Dan itu terkadang membuatnya sangat khawatir.
Pandangan mereka beralih ke arah pintu, di sana ada Iwabe yang baru saja membawa dua pasang glove tinju. Lelaki itu tersentak saat mata tidak sengaja memandang Kawaki, lalu memilih keluar ruangan setelahnya ̶ ̶ seperti baru saja mendapatkan kode untuk memberi waktu sebentar. Neji yang melihat dua lelaki itu hanya bisa bergeming dan menilai sendiri. "Apa kalian baru saja melakukan telepati?"
Hal itu mampu membuat Kawaki tergelak. "Tidak," katanya, ia mengambil botol minum kembali untuk melepaskan dahaga sejenak. "Hari ini kami sudah berjanji untuk latihan bersama, aku lupa memberi tahu padanya tentang berubahan jadwal."
Kote pada tangan dilepaskan, satu persatu Kawaki melepaskan semua yang dipakai pada saat berlatih. Seperti tare dan do. Semakin lama dia memakai alat-alat kendo ini, semakin membuat dirinya sesak. Berbeda dengan tinju, hanya bermodalkan celana pendek dan glove tinju membuatnya bebas bergerak.
"Omong-omong ...," dia melirik dari ujung mata, sama halnya dengan Neji. "Dari mana kau tahu kalau Naruto menguntit ibumu?"
"Oh," helaan napas terdengar begitu berat, Kawaki memutuskan membuka kaus hijau miliknya. Ketika dia meremas kaus itu, banyak keringat jatuh di atas lantai. "Hanya firasatku saja," katanya. Kemudian dia bergeming beberapa saat seperti mengingat sesuatu. "Mungkin itu suatu kebetulan. Aku memeriksa ruangan CCTV restoran ibu yang berada di distrik Ota. Tidak peduli dia berpenampilan apa pun, postur tubuhnya tidak akan pernah aku lupakan. Gerak-gerik itu juga sangat mencurigakan."
Tidak mungkin dia memberitahu, kalau ada beberapa orang yang ia suruh untuk mengawasi ayahnya sendiri. Kawaki tidak tahu, apakah kalimat ini membuat pamannya itu mencurigainya. Ia tidak terlalu dekat dengan pamannya, Sasuke Uchiha. Namun, pamannya ini ̶ ̶ Neji Hyuuga sangat teliti dalam membaca situasi.
"Kau mencoba membohongiku, 'kan?"
"Tidak ada gunanya bagiku untuk berdalih."
Neji bergeming, memandang datar ke depan. Sorot mata anak itu benar-benar berbeda jika mereka begitu serius membicarakan Naruto. "Aku tahu kau sangat membencinya, memang benar perbuatannya sulit dimaafkan," suara itu terdengar lirih. "Jika kau terus seperti ini, bukan Naruto yang membuatku khawatir. Tapi dirimu, yang mungkin saja bisa salah mengambil langkah. Meskipun apa yang kau lakukan adalah berniat untuk melindungi Hinata dan Boruto."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pure Amour
FanfictionKedua putranya tidak pernah menginzinkan ayah mereka untuk menginjakkan kaki di rumah lagi setelah memilih berpisah. Kawaki dan Boruto sudah menaruh dendam lebih dulu. Bahkan kakak kandungnya melarang keras dirinya. Hinata tahu maksud baik kedua put...