Masih dalam keadaan setengah sadar, mendengar suara berisik mampu membuat amarah perlahan naik. Tepat pada pukul tujuh pagi, mereka dikejutkan dengan kehadiran Minato dan Kushina. Muram durja berganti, ketika wanita paruh paya itu memberikan ciuman.
"Nenek, ini masih pagi. Kenapa kau datang ke mari?"
Kushina tidak mengindahkan, memilih menarik kedua cucunya untuk duduk di meja makan. Ia sudah menyiapkan makanan di sana. "Apa kami melewatkan hari yang penting?" Kawaki menatap kakek tengah tertawa.
"Nenekmu selalu mengeluh karena kau tidak pernah hadir, seperti biasa dia melakukan hal ini agar bisa melihat kedua cucunya." kata Minato. Ia memperhatikan ekspresi bingung cucunya di sana.
Kalau sudah seperti ini pilihan terbaik adalah mengindahkan, mereka selalu menghindar dari Kushina. Tetapi wanita paruh baya itu selalu mengambil kesempatan untuk datang mendekat. Sialnya, hari ini bukanlah hari biasa, sehingga tidak memiliki alasan untuk kabur. "Kau tahu saja waktu yang tepat, Nenek." gumam Kawaki, mau tidak mau dia memilih duduk dan makan bersama.
Boruto mengedar pandangan, tidak melihat ibunya. Ia melirik jam di dinding, mengingat ibunya selalu sibuk, tentu tidak berani untuk membangunkan wanita itu. Berpikir bahwa wanita itu membutuhkan istirahat yang cukup. Pandangan beralih ke arah pintu, kamar tidur tepat di lantai satu.
Kushina mengikuti arah pandang cucunya, "Kau tidak perlu khawatir," katanya. "Kami sudah bertemu dengan ibumu sebelum kalian bangun."
"Lalu, apa ibu sekarang pergi?" sahut Kawaki.
"Tidak, ibumu ada di balkon," kemudian dia melirik ke arah sang suami tengah menaiki anak tangga. Kushina kemudian mengajak kedua cucunya untuk menikmati sarapan. "Makanlah, apa kalian tidak merindukan masakan Nenek kalian ini?"
Kawaki dan Boruto saling melempar pandangan. Menyebut bahwa ini sebuah pengalihan, ini terlalu mudah ditebak. Mereka bukan anak kecil yang mudah diberi satu bungkus permen cokelat. Pemuda pirang itu menatap wanita paruh baya, ekspresi datar ditunjukkan. Mereka tengah memasang ekspresi serius.
"Aku tidak ingin menyakitimu," nada suara itu terdengar berat. Kushina tersentak saat mata tengah memandang seolah-olah meminta penjelasan, ia menghela napas kemudian. "Jangan berdalih, karena itu akan sia-sia. Kau tahu bahwa kami bukanlah anak kecil yang bisa dibodohi," kata Kawaki. "Meskipun aku begitu penasaran, namun aku memilih untuk diam apa yang akan mereka bicarakan di sana. Biar aku tebak, masalah itu tidak jauh dari ayah tiri. Nenek cukup terus terang pada kami, karena itu peraturannya."
Hidung memerah, kedua bola mata itu tidak berani menatap lama. Memang benar bahwa dia ke mari merindukan cucunya, tetapi ada hal lain yang ingin mereka bahas bersama di sini. Tahu bahwa bagaimana sikap cucunya selalu terus terang, namun tidak sekali pun Kushina ingin melakukan demikian. Berakhir seperti ini, bohong bahwa dia tidak merasa sakit hati dengan kalimat itu. Meskipun cukup sederhana. Tetapi ketika Kawaki membuka suara, seharusnya dia berhati-hati. Karena kalimat yang selalu diucapkan terkadang mampu menggores luka.
"Terserah bagaimana Nenek menilaiku, aku tahu kalau aku sangat buruk dalam pemilihan kata. Namun, bukankah apa yang aku katakan adalah fakta? Hanya saja terkadang orang sulit menerima kenyataan itu dan berakhir sakit hati."
Boruto bergeming, takut membuka suara untuk menyela kalimat lelaki itu. Maka dari itu, ia memilih mendengarkan semberi mencicipi makanan. Ia tersentak saat Kushina mengambil duduk di depan mereka. Melirik sang kakak yang tidak mengindahkan dan kembali fokus pada makanan.
"Apa kalian tidak ingin memberi kesempatan?"
Setiap orang pernah melakukan kesalahan, namun tidak semua orang memiliki kesempatan. Terkadang dia berpikir demikian tentang hal itu. Namun ada ego, karena masih ada luka yang ditinggalkan. Tentang perspektif ̶ ̶ Kawaki terkadang tidak sependapat tentang kesempatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pure Amour
FanfictionKedua putranya tidak pernah menginzinkan ayah mereka untuk menginjakkan kaki di rumah lagi setelah memilih berpisah. Kawaki dan Boruto sudah menaruh dendam lebih dulu. Bahkan kakak kandungnya melarang keras dirinya. Hinata tahu maksud baik kedua put...