Hari ini dia tidak memiliki niat untuk bekerja, tidak tahu apa yang salah dengan dirinya. Padahal ibunya sudah menukar jadwal, agar dia bisa menggunakan waktu istirahat dengan baik. Meskipun selisih waktu tidak terlalu panjang, ia memiliki satu jam untuk istirahat sebelum masuk ke dalam jadwal inti.
Ada perasaan yang sulit dijelaskan, pula pikiran yang tidak menentu arah akan tujuan. Kawaki bahkan bingung dengan perasaannya saat ini. Perkataan Toneri masih membekas di dalam kepala. Ia tahu bahwa selama ini dia menjadi jembatan yang menghalangi dua orang. Hanya satu tujuan yaitu ̶ ̶ tidak ingin kesalahan yang sama terulang kembali.
Meskipun sekali-sekali tengah memiliki waktu luang, terselip pikiran tidak nyaman, ia selalu tidak mengindahkan ̶ ̶ berbagai cara dilakukan. Salah satunya membuat diri merasa sibuk.
Tentang memberi kesempatan kedua, bagaimana ia bisa menjamin hal lama tidak menimbulkan luka kembali.
Apakah dia bisa percaya?
"Permisi," dia tersentak ketika seorang gadis berdiri di depannya. Kawaki memandang datar pada gadis berseragam SMA. "Apa boleh kita menukar nomor? Aku memperhatikanmu dari tadi."
Ia memandang datar, gadis itu tengah merona bahkan sudah mendorong ponsel agar dia menerima. Kawaki tersenyum, dan hal itu mampu membuat gadis di sana merona memandangnya. Bukan sekali atau dua kali berada di posisi serupa seperti ini. Dan selalu alasan yang sama ia lakukan untuk menolak.
"Aku tidak memiliki ponsel."
"Kau bercanda!"
Gadis itu terperangah, tetap bersikeras. Di zaman sekarang ini tidak mungkin tidak memiliki ponsel, dilihat dari penampilan lelaki di depannya seperti orang berada.
"Kau benar," sahut Kawaki, gadis itu menghela napas. Melihat muram durja di depannya membuat dia tertawa kecil. Ia merogoh saku celana, mengambil ponsel dan menunjukkan kepada gadis di depannya. "Apa kau ingin bernasib sama seperti mereka?"
Lelaki itu menunjukkan beberapa nomor yang sudah diblokir, tidak bisa dihitung berapa banyak. Gadis itu menelan ludah, putus harapan sudah, berganti dengan hati yang terluka. Tanpa mengatakan apa pun, gadis SMA itu pergi dari hadapan Kawaki.
Meskipun ia sering mendapat tuntutan mencari pasangan dari para tetua, tidak ada satu pun untuk mengindahkan semua kalimat di sana. Dia hanya duduk, diam, lalu memikirkan hal lain, meskipun beberapa orang tua berumur mencoba memberi nasihat.
"Kou," setelah menghubungkan panggilan, dia memilih berjalan ke arah tempat parkir. "Tidak perlu menjemput Boruto, aku akan segera ke sana." ponsel masih menempel di telinga, ia memandang kembali restoran tersebut.
Kawaki memandang teduh, "Tidak perlu juga menjemput ibu." katanya, nada suara itu terdengar pelan.
Kou melihat ponsel miliknya, memastikan kalau jaringan baik-baik saja atau tidak. Namun tidak menampilkan apa pun, semua terlihat stabil. "Apa Anda baik-baik saja?"
"Sepertinya begitu."
◊◊◊◊
Boruto memutuskan untuk berkeliling rumah setelah kakeknya pergi mendadak. Ia juga sudah meminta akan pulang setelahnya.
Sudah lama sekali tidak berkunjung ke rumah utama Uzumaki. Dulu, seminggu sekali mereka selalu rutin. Bahkan di dalam rumah banyak dipajang foto masa kecil. Neneknya pernah berkata kalau rumah ini akan menjadi milik mereka, sehingga tidak perlu bersusah payah mencari rumah baru. Meskipun membeli satu rumah adalah hal yang mudah bagi ibunya.
Kenangan memang indah, tetapi satu masalah menghancurkan semuanya. Dia tidak mengerti kenapa seperti itu. Hal yang dulu dibanggakan, kini hanya meninggalkan luka. Manusia lebih banyak mengingat hal buruk daripada hal baik. Bahkan satu kesalahan, bisa menghancurkan kepercayaan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pure Amour
FanfictionKedua putranya tidak pernah menginzinkan ayah mereka untuk menginjakkan kaki di rumah lagi setelah memilih berpisah. Kawaki dan Boruto sudah menaruh dendam lebih dulu. Bahkan kakak kandungnya melarang keras dirinya. Hinata tahu maksud baik kedua put...