Minato berhenti di pertengahan anak tangga, kondisi di ruangan makan terlihat tampak tenang. Tidak seperti apa yang ia pikirkan sebelumnya, Kushina bahkan tengah mencuci piring, sementara Kawaki baru saja masuk ke dalam rumah. Ia memperhatikan tangan pemuda itu, "Apa tanganmu terluka?" memastikan dengan bertanya.
Kawaki tersentak, "Hanya luka kecil saat mengutip beberapa serpihan kaca." lalu ia kembali mengambil duduk di kursi, tidak mengindahkan saat sang kakek mengambil duduk tepat di depannya.
"Boruto tidak ada di sini," katanya tiba-tiba. Minato mengedar pandangan kembali. "Dia pergi karena mengurus sesuatu."
Anak itu terlihat tenang, menurut pandangan Minato. Namun gelagat sang istri di wastafel mampu membuatnya menarik simpulan. Ia mengambil apel di atas meja, mengamati apel tanpa berpikir untuk mencicipi. Minato hanya ingin melakukan sesuatu ̶ ̶ seperti menganggu pandangan cucunya yang tampak risi.
"Apa ada yang ingin kau bicarakan padaku, Kakek?"
"Tidak ada. Karena kalimatmu sangat tajam dan meninggalkan bekas di hati," katanya. "Apa kau tidak penasaran dengan apa yang kami bicarakan di atas sana?" Kawaki melirik tanpa minat, bersikap tenang ̶ ̶ acuh tak acuh. Bahwa sesungguhnya pria itu ingin membolak-balikkan perasaannya. Dengan kata lain, Minato ingin mencari keributan.
"Tidak jauh dari apa yang kau lakukan dahulu ̶ ̶ masalah yang sama. Tidak perlu dijelaskan, telingaku tidak nyaman saat mendengar semua itu."
Kushina melirik dari wastafel, mematikan kran air lalu memilih meninggalkan dua orang itu. Hawa di ruangan ini sangat mencekik leher. Suaminya sangat suka mencari keributan sebagai tanda bentuk ingin perhatian dari pemuda itu.
"Perkataanmu sangat tajam, sama seperti biasanya."
"Maka dari itu berhentilah bersuara, atau aku akan semakin menyakitimu dengan kalimat tajamku. Akan sangat repot jika kau tiba-tiba pingsan lalu mati dengan keadaan konyol."
Minato mengangkat tangannya ̶ ̶ seolah-olah menyerah untuk melawan. Sudut bibirnya terangkat, pandangan mata mereka bertemu ̶ ̶ saling melempar tatapan yang sulit diartikan. Dan saat itu pula bibirnya melengkung memandang, muram durja berganti.
"Aku tidak bisa mengabaikan apa yang terjadi," kata Minato. "Itu kesalahan fatal tetapi aku selalu menyebutnya hal lumrah."
"Kau terlalu berbelit Kakek," Kawaki menguap, melirik ke arah jam di dinding. Pukul sembilan pagi namun ia merasa letih. "Aku tidak ingin mendengar ucapanmu," dia berdiri dari kursi sembari memandang. "Hari ini aku benar-benar lelah, simpan saja semua kalimat yang ingin kau katakan padaku. Lalu kirim melalui e-mail."
"Kawaki ..."
Pemuda itu tersentak saat melihat ibunya berdiri di depan. Ia kemudian memilih mengalihkan wajah, tahu bahwa apa yang ia lakukan tidaklah sopan kepada orang tua. Selama ini dia selalu menjaga sikap baik di depan ibunya. Dengan kata lain, Kawaki tidak menentu pada sikapnya jika pada orang lain.
"Maaf Bu, aku benar-benar lelah hari ini. Jika Ibu meminta padaku untuk meminta maaf, maka besok akan aku lakukan."
Ia pergi, tanpa menoleh sekali pun pada wanita itu. Hinata bergeming, menatap teduh pada punggung putranya yang mulai menjauh.
"Biarkan saja, lagi pula aku sudah biasa menerima sikap seperti itu darinya."
"Aku benar-benar minta maaf padamu, Ayah."
Minato tersenyum, lalu memandang sang istri yang baru saja membawa kopi padanya. "Duduklah ... mari kita nikmati hari ini." kata Kushina. Hinata mengangguk dan menerima tawaran itu, meskipun ia tidak terlalu suka dengan kopi, namun untuk mengabaikan ibu mertua sangat sulit dilakukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pure Amour
FanfictionKedua putranya tidak pernah menginzinkan ayah mereka untuk menginjakkan kaki di rumah lagi setelah memilih berpisah. Kawaki dan Boruto sudah menaruh dendam lebih dulu. Bahkan kakak kandungnya melarang keras dirinya. Hinata tahu maksud baik kedua put...