Narisawa, Minato, Tokyo.
Sesuai dengan tempat yang telah ditentukan, Kawaki pergi bertemu dengan Toneri di restoran mewah tersebut. Ia mengumbar senyuman selama berjalan ke arah ruangan yang telah resevasi lebih dulu.
Pelayan yang berada di sampingnya bahkan memandang curiga. Karena tamu yang datang tidak sesuai dengan apa yang dikatakan.
"Tidak perlu seperti itu," Kawaki melirik dari ujung matanya. "Aku putranya, tidak ada yang perlu dicurigai. Seharusnya aku yang memasang wajah curiga seperti itu," pelayan itu tersentak lalu menunduk. "Aku pikir, ini pertemuan formal untuk membahas bisnis. Sepertinya tidak begitu ya?"
Mereka berhenti tepat di depan pintu, dari sini lelaki itu bisa melihat seorang pria tengah duduk menghadap jendela. Ruangannya benar-benar mewah dan terkesan romantis.
"Saya permisi ..."
"Oh, tunggu sebentar," dia memberikan sebuah tip pada pelayan tersebut. "Kau sudah bekerja keras." Kawaki melambaikan tangan sembari memandang punggung yang mulai menjauh. Ia tidak bisa menahan tawa di sini.
"Lalu ...," melirik ke arah pintu. Senyuman kembali terukir di wajah, ia tidak bisa menahan diri. Perasaan senang meledek seseorang mampu membuatnya ingin meledak bukan main. "Hanya mengambil peran sedikit tidak masalah."
Sebelum memasuki ruangan, ia merapikan pakaiannya. Lalu berdeham mengatur suara. Baru saja membuka pintu, Kawaki disambut hangat oleh Toneri. Senyuman itu perlahan memudar, muram durja berganti. Ia menahan tawa ketika melihat ekspresi di depannya.
"Kau?"
"Ya? Ada apa?" Kawaki tidak bisa menahan tawa, ia memegang perutnya dan tergelak di ruangan yang hanya diisi oleh mereka. "Ekspresi itu membuatku lucu," masih tergelak, tidak peduli bagaimana durja di depan terlihat kesal. "Oh ayolah ... kau sungguh mengharapkan ibuku datang?"
Kawaki mengambil duduk tanpa menunggu perintah. Terlanjur kesal, pasti tidak akan mendapatkan sikap ramah tamah dari pria itu.
Toneri berusaha bersikap tenang, meskipun sebenarnya ia sangat kesal. Sudah susah payah mengatur waktu demi mendapatkan kesempatan makan berdua. Sekarang apa yang ia harapkan tidak akan menjadi kenyataan. Ia menghela napas kecewa, mengambil duduk kemudian.
Mereka berdua duduk berhadapan, Kawaki menuangkan satu gelas wine. Restoran ini pasti menyediakan wine yang terbaik. "Aku tidak ingin menaruh curiga padamu," ia mencicipi sedikit, sama sekali tidak tertarik setelahnya. "Tapi aku tidak bisa berhenti memikirkanmu. Astaga ... bukankah itu sangat manis?"
Toneri bergidik ngeri mendengarnya, ia langsung mengambil wine dan meneguk sampai habis. "Ternyata rumor itu benar."
"Rumor?" sesungguhnya Kawaki tidak ingin menghabiskan waktu di sini, jika ia terpancing, dia akan masuk ke dalam lubang. Apa pun itu, jangan sampai ia terbawa suasana.
"Tidak ada yang bisa mengambil hati mantan istri Uzumaki Naruto, selama kedua putranya masih hidup."
"Apa kau berencana membunuhku, agar bisa mendapatkan hati ibuku?" ia tersenyum simpul, Toneri yang melihat itu bahkan mengalihkan muka setelahnya.
"Bukan orang lain saja," tatapan mereka bertemu. "Bahkan mantan suaminya sendiri begitu sulit untuk mengambil hati ibuku. Aku dan adikku melakukan apa pun untuk mencegah dua orang itu bertemu."
Mereka bergeming, memandangi satu sama lain demi membaca pikiran masin-masing. Tetapi bagi Toneri, ia tidak akan mendapatkan apa-apa. Lelaki di depannya bahkan selalu terus terang. "Tujuh tahun sudah berlalu, berita itu bahkan tidak ada lagi di artikel. Kau menutupnya dengan sangat rapi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pure Amour
FanfictionKedua putranya tidak pernah menginzinkan ayah mereka untuk menginjakkan kaki di rumah lagi setelah memilih berpisah. Kawaki dan Boruto sudah menaruh dendam lebih dulu. Bahkan kakak kandungnya melarang keras dirinya. Hinata tahu maksud baik kedua put...