Sesuatu yang tidak terduga sering sekali terjadi. Dan hal yang tidak dapat diduga, terkadang sulit dihindari. Salah satunya adalah kematian.
" ... akan sangat repot jika tiba-tiba kau pingsan, lalu mati dalam keadaan konyol."
Dari banyak kalimat yang selalu dilontarkan, Kawaki mengingat bagian kalimat itu. Bukan karena beberapa hari lalu dia berkata demikian pada kakeknya, tetapi kalimat itu ̶ ̶ seolah-olah doa yang baru saja dikabulkan.
Meskipun ponsel baru saja masuk ke dalam bak kamar mandi, suara masih terdengar jelas diiringi dengan bunyi aliran air shower yang masih menyala. Ponsel baru yang ia beli kemarin, sebentar lagi akan rusak tenggelan air.
"Tuan muda," masih berdiri di tengah derasnya air shower, melirik tanpa minat ke arah pintu. Itu suara Amado. "Sudah lebih dari satu jam Anda di kamar mandi. Ibu Anda sudah menunggu di bawah."
Bibir terasa kelu mengeluarkan suara. Hati tidak dapat menebak bagaimana perasaan ini, tetapi satu hal pasti ̶ ̶ terselip perasaan menyesal dalam hati.
Suara berisik dari arah pintu sulit untuk mengindahkan, memejamkan mata melalui air yang mengalir. Tidak ada perasaan sedih yang dirasakan, bahkan tidak ada satu pun air mata menetes.
"Ini bukan perasaan sedih ... ini penyesalan."
Amado tidak akan mendengar apa pun dari kamarnya, ruangan kedap suara ini tidak akan membantu dirinya menjawab panggilan dari luar. Hanya dia seorang yang dapat mendengar, bahkan suara ibunya mampu mengusik telinga.
"Ah ... sial, sudah aku katakan jangan mati konyol 'kan ... Kakek."
◊◊◊◊
Halaman rumah itu dipenuhi dengan papan bunga dari orang-orang terdekat. Begitu banyak orang yang memberikan bunga duka. Rumah yang ramai akan kedatangan orang hanya membagi rasa simpati. Semua orang berdiri di depan peti mati.
Ruangan itu serba putih, semua ditutupi dengan kain putih. Menandakan kesucian akan kematian orang terdekat. Tengah berdiri di sana, mengamati wajah yang mungkin hanya dikenang dalam hati. Tidak ada hal yang dapat mengguncang perasaan ingin meledak seperti orang-orang di sekelilingnya.
Wanita paruh baya itu menangis, begitu pun ibunya. Lalu saat melirik ke arah saudara tiri, pemuda itu merasakan hal serupa seperti orang-orang di dalam sini. Berbeda dengan dirinya yang hanya diam mematung, sembari menunggu perasaan itu muncul. Tetapi nihil, tidak ada perasaan apa pun yang dirasakan.
Penyesalan dan kesedihan ... dua makna itu berbeda bagiku. Tidak bagi mereka?
"Tuan muda," Kawaki melirik dari ujung matanya, ketika Kou hadir di samping. "Bukan pembunuhan, beliau jatuh dan terpeleset dari kamar mandi. Kepalanya mengalami pendarahan. Karena pertolongan pertama tidak dilakukan, pendarahan berhenti lalu mengalami kematian. Kushina-san juga sedang tidak berada di rumah saat itu."
Lelaki itu bergumam sesuatu yang tidak dapat dimengerti, membuang muka menyembunyikan muram durja. Ini mati dalam keadaan konyol. "Sudah aku katakan, jangan sampai mati dalam keadaan konyol. Apa kau tidak mendengarkanku, Kakek? Berhentilah keras kepala dan meniruku dengan kalimat tajamku."
"Tuan muda ..."
Pergi dari kerumunan orang adalah hal yang terbaik. Berdiri seperti orang bodoh, menunggu perasaan itu muncul hanya akan sia-sia.
"Aku akan berbicara dengan kakak, kau ̶ ̶"
"Tidak," Hinata menahan pergelangan putranya. "Kawaki ingin sendirian hari ini." nada suara itu terdengar lirih, penuh harap akan dimengerti kali ini. Ia paham dengan perasaan gundah yang begitu menyebalkan saat muncul.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pure Amour
FanfictionKedua putranya tidak pernah menginzinkan ayah mereka untuk menginjakkan kaki di rumah lagi setelah memilih berpisah. Kawaki dan Boruto sudah menaruh dendam lebih dulu. Bahkan kakak kandungnya melarang keras dirinya. Hinata tahu maksud baik kedua put...