Mereka berhenti di depan lobi. Tidak perlu menunggu lama Sasuke membukakan pintu dan disambut oleh dua keponakannya. "Maaf menunggu lama, beruntung ada Paman di sini."
Pria itu merespons dengan senyuman, memandang ke arah Kawaki tengah fokus ̶ ̶ tanpa mau menoleh ke arahnya. "Kau terlihat tidak begitu senang padaku," alhasil itu mampu membuat lelaki itu menoleh, lalu mengumbar senyuman. Sasuke tersenyum tipis, dia yang paling tahu dan mudah menebak apa yang ada di dalam isi kepala lelaki itu. "Aku anggap itu sebagai sambutan darimu." dia menutup pintu, tidak lama kemudian mobil itu berjalan.
Sasuke memandangi mobil sampai keluar dari pagar. Muram durja berganti, menghela napas kemudian. Ia bisa menebak isi hati Kawaki, pula Boruto. Dua lelaki itu tidak pandai menutupinya.
"Oh, apa mereka sudah pergi?" Neji mengedar pandangan, pagar hotel baru saja terbuka. "Terjadi sesuatu? Kau terlihat tidak nyaman."
Mereka berdua saling melempar tatapan. Sasuke mengedikkan bahu, tanpa mengatakan pun sudah tahu. Tidak perlu berbasa-basi, Neji sering melakukan itu agar membuat dirinya lebih jujur. Tetapi baginya hal itu membuang waktu. "Seperti yang kau tahu, kalau mereka selalu mengambil peran saat suasana hati memburuk."
"Aku dengar dari Kou, Kawaki menjemput Boruto di kediaman Uzumaki. Seperti apa yang kau katakan, mungkin ada pertemuan mendadak di sana."
Pria itu mengangguk, Sasuke juga sudah tahu tentang perubahan jadwal. "Anak itu mengaturnya dengan baik. Sepertinya Sarada harus belajar darinya."
Neji mengernyit bingung. "Bukannya dia ingin masuk ke fakultas kedokteran?"
"Sepertinya dia berubah pikiran."
◊◊◊◊
Setelah sampai di rumah, Amado menyambut kedatangan mereka dengan baik. Berhubung ini pukul sepuluh malam, merupakan waktu bagi para pelayan rumah pulang. Pria itu selalu menjadi orang terakhir, karena termasuk kepala pelayan di rumah.
"Selamat datang," dia membungkuk memberi salama. Boruto memilih berjalan lebih dulu sembari menguap. Hinata tersenyum ramah, dan Kawaki memilih menunggu di luar. "Makan malam sudah saya siapkan sesuai dengan permintaan Anda."
"Terimakasih, selama kau di sini apa ada sesuatu yang mencurigakan?"
Amado tersentak, hal ini sering terjadi ketika rumah kosong. Kawaki merupakan orang pertama yang selalu bertanya demikian. "Tidak ada," jawabnya. "Nenek Anda berkunjung ke mari. Karena Anda tidak ada di rumah, beliau memilih pergi."
"Kau sudah menjamin kalau nenek datang ke mari sendirian?"
"Seperti biasa dia selalu membawa Rin."
Pula jika dipikir, ia sempat bertemu dengan ayahnya. Tidak mungkin jika wanita tua itu membawa putranya sendiri. Kawaki menghela napas, ini selalu timbul setelah bertemu dengan Naruto. Selalu merasa waspada pada apa pun. "Terimakasih, kau boleh pulang sekarang."
"Sudah selesai?" muram durja berganti dengan senyuman semringah. "Ibu sudah memeriksa kalau makanan masih hangat. Mari kita makan bersama hari ini."
Kawaki mengangguk, melepas pantofel dan mengganti dengan sandal rumah. Di meja makan terlihat Boruto sudah makan lebih dulu. "Apa kau tidak makan di rumah nenek?"
Boruto menelan nasi sebelum bersuara, ia tersedak dan langsung mengambil minum yang diberikan oleh Hinata. "Aku tidak merasa nyaman jika makan harus diperhatikan seperti itu," katanya. Meletakkan gelas di atas meja, hingga menimbulkan suara cukup berisik. "Mereka memilih memperhatikanku, daripada mencicipi makanan."
"Begitu," tahu bahwa bagaimana sikap kakek dan neneknya seperti itu, ia merespons acuh tak acuh. Tanpa tahu bagaimana perasaan sang adik tengah kesal. "Nikmati saja, tidak perlu menggeram kesal." Kawaki tersenyum tipis, lalu menerima mangkuk dari ibunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pure Amour
FanfictionKedua putranya tidak pernah menginzinkan ayah mereka untuk menginjakkan kaki di rumah lagi setelah memilih berpisah. Kawaki dan Boruto sudah menaruh dendam lebih dulu. Bahkan kakak kandungnya melarang keras dirinya. Hinata tahu maksud baik kedua put...