Saat pikiran terhantam oleh masa lalu, gundah menyelimuti, merupakan hal yang paling menyebalkan. Sekali pun berusaha menghindar, tetap saja terselip perasaan yang tidak kalah besar dengan sebuah penyesalan.
Tujuh tahun lalu, Naruto tidak sadarkan diri karena perbuatan putra tirinya. Pula saat terbangun di kasur rumah sakit, pikiran melayang ̶ ̶ tidak tentu arah. Tidak ada yang bagus untuk dijelaskan perasaan saat itu, justru sangat menyebalkan dan menyesakkan bila diungkapkan.
"Oh, aku tidak menduga kalau kau akan sadar," tengah berusaha mengambil sikap duduk yang sangat sulit dilakukan, bersamaan dengan itu ia mendapatkan kalimat ketus dari sahabatnya sendiri. "Kawaki memukul kepalamu dengan tongkat baseball, seharusnya aku memarahinya karena itu tidak sopan. Tetapi ... jika dipikir itu merupakan hal yang baik, bukan? Aku malah berharap kau tidak sadarkan diri selamanya."
Kepala itu berdenyut sampai ke ubun-ubun, ruangan serba putih, cahaya menyilaukan, bau parfum ruangan. Semua itu menambah rasa sakit di kepala.
"Aku tidak membiarkan mereka di rumah sakit yang sama, tidak peduli saat ibumu memintaku untuk membiarkan mereka yang mengurus semuanya. Kau pikir aku akan tinggal diam begitu saja?"
"Hei, apa kau tidak bisa diam? Kepalaku sakit sekali." pria pirang itu meringis sembari memegang kepala yang telah dibalut dengan perban.
Muram durja berganti, pandangan mata tidak lagi bersahabat. Sasuke menyisir rambutnya dengan jari-jari tangan. "Apa kau sadar, apa yang telah kau lakukan?"
Naruto tersentak, menurunkan tangan di atas selimut. Pandangan itu memandang teduh ke arah bawah. "Tangan Boruto hampir patah karenamu, kepala Kawaki berdarah. Hinata masih terbaring di rumah sakit. Lalu, kau akan meminta maaf setelah semua ini? Apa yang ada di dalam isi kepalamu itu, bajingan!"
Tidak peduli ia membuat keributan di dalam ruangan. Sasuke tidak peduli bagaimana dengan keadaan Naruto saat ia menarik selang infus secara paksa, hingga membuat jarum suntik keluar dari sana.
"Hei," dia mendekat, meletakkan jari telunjuk di dahi pria pirang itu, sembari memberi tatapan peringatan. "Apa yang ada di dalam kepalamu ini, bedebah? Hanya karena bertemu dengan pelacur, kau membuat rumah tanggamu sendiri hancur."
"Sasuke." pintu dibuka paksa, Neji berdiri di sana bersama dengan Kushina. Pria itu memilih masuk, tetapi wanita paruh baya di sana merasa malu dan memilih untuk menunggu di luar.
"Kau sangat buruk dalam mengatur amarah," Neji memberi tatapan peringatan ke arah Naruto. Pria pirang itu memilih mengalihkan wajah, tetapi justru membuat pria itu ingin menyudutkan lebih. "Ah ... tidak perlu berbelit-belit atau pun berdalih. Kepalaku jauh lebih sakit memikirkan ini." ia menepuk mantel Sasuke, seolah-olah ada debu yang menempel di sana.
"Istrimu baru saja menghubungiku, gantikan aku untuk menjaga mereka sekarang."
"Sial, kau mengaturku lagi."
Neji tergelak, namun terdengar hambar. "Maaf, maaf, karena sekarang ini adalah bagianku." Naruto tersentak, menunduk kemudian, tidak berani mendongak untuk menatap kembali tatapan peringatan di sana.
Tepat setelah pintu tertutup, Neji mengambil duduk pada kursi di sampingnya. Ia menunduk, cairan infus bocor dari tempat yang disediakan. Miris sekali. Sepupunya satu itu memang tidak dapat mengendalikan amarah.
"Aku tidak bisa melihat satu sisi terhadap suatu permasalahan," nada suara itu terdengar berat. "Tetapi dalam hal ini, memaksaku untuk berpikir demikian. Setiap orang pasti memiliki alasan atas tindakan yang mereka lakukan. Jika tidak seperti itu, maka aku akan menganggap bahwa dia orang yang bodoh. Bertindak tanpa berpikir dahulu, kesalahan fatal bisa terjadi, orang-orang bodoh selalu melakukan hal tersebut."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pure Amour
FanfictionKedua putranya tidak pernah menginzinkan ayah mereka untuk menginjakkan kaki di rumah lagi setelah memilih berpisah. Kawaki dan Boruto sudah menaruh dendam lebih dulu. Bahkan kakak kandungnya melarang keras dirinya. Hinata tahu maksud baik kedua put...