"Sepertinya hari ini dia tidur di sini, maaf ya ... Kawaki." Hinata menarik selimut, mengusap lembut wajah putranya tengah tertidur lelap. Wajah itu benar-benar sembap, pula dengan hidung yang memerah.
Kawaki menggeleng kepala. Sama sekali tidak keberatan kalau malam ini Boruto tidur di kamarnya. Terjadi sesuatu di sana, ia tidak ingin sekadar bertanya saat hati tengah rapuh. Tentu hanya memunculkan emosi lain dalam diri ̶ ̶ dengan kata lain seperti kesedihan berlanjut.
Tengah memandang wajah sembap di sana, ia tersentak akan tujuan. "Ibu," gumam Kawaki, panggilan itu membuat Hinata mengernyit bingung. "Ada hal yang ingin aku bicarakan serius malam ini. Tetapi semua kembali pada Ibu."
"Apa pun itu."
Mereka turun dari anak tangga, seperti biasa Hinata mengambil satu botol absinthe dari dalam lemari. Hanya di saat-saat seperti ini dia bisa minum, tentu akan sangat melegakan jika bercerita sambil meminum alkohol.
"Ibu, apa kau tidak bisa menghentikan kebiasaan itu? Sekarang aku menyesal karena mengajak Ibu bercerita."
Wanita itu tergelak, sudut bibir terangkat. Sulit mengabaikan senyuman manis sang ibu. "Ya ... kalau sudah begini apa boleh buat, 'kan?" Kawaki mengambil gelas yang baru saja dituang absinthe. Mereka bersulang, lalu meneguk sampai habis. Perisa adas yang dihasilkan dari minuman absinthe membuat Kawaki bersendawa, mengecap lidah. Bohong bahwa dia tidak menyukai hal ini. Sekarang dia tahu kenapa ibunya sangat menyukai absinthe daripada minuman lain seperti bir atau wine.
"Banyak peracik minuman menambakan pemanis pada absinthe karena rasa yang pahit. Tetapi bagiku, menghilangkan rasa murni di dalam tidak akan sama dan berbeda saat dirasakan." Kawaki menerima gelas kedua saat ibunya menuangkan kembali minuman, tetapi dia memilih untuk tidak meminum langsung.
"Alasan kenapa aku selalu memilih absinthe, rasa pahit di dalam adalah pilihan yang tepat dirasakan saat pikiran dan hati tengah kacau. Tetapi, karena kandungan perisa adas di dalamnya, pikiranku benar-benar sedikit tenang."
Hinata menopang dagu, memandang wajah putranya terlihat sedikit lebih murung. Ia mengamati perubahan Kawaki sampai dewasa seperti ini. Wajah dingin dan tampan, tubuh bagus seperti para atlet. "Apa kau tidak memiliki kekasih?"
Kawaki hampir tersedak dengan pertanyaan itu. "Ibu ...," ia mengambil tisu untuk mengelap bibirnya. Padahal ia sering mendengar pertanyaan itu, tetapi rasanya sungguh berbeda jika Hinata bertanya demikian. "Aku tidak pernah memikirkan hal seperti itu selain pekerjaan. Lagi pula aku baik-baik saja."
"Baik-baik saja?" gumam Hinata, kembali memandang wajah putranya. "Apa hatimu akan sakit saat kau memiliki kekasih? Atau kau takut bernasib serupa dengan kondisi Ibu?"
"Tolong jangan katakan seperti itu Bu, ini jauh lebih sakit ...."
Wanita itu tersenyum, tetapi di mata Kawaki terlihat berbeda. Ia melirik dari ujung mata, perasaan canggung menyelimuti mereka. "Kau putra ibu, kau ... tidak akan melakukan kesalahan. Jangan menjadi alasan karena takut ibu akan sendirian, hatiku merasa tidak tenang jika demikian. Kau tahu? Ibu akan merasa sangat terbebani jika seperti ini."
"Bu," suara itu terdengar lembut. "Lagi pula usiaku masih muda, jangan khawatirkan apa pun."
"Kau benar." Hinata mengusap punggung tangan di sana, lalu tanpa sadar air mata itu meleset begitu saja. Kalah menahan diri agar perasaan tidak tumpah. Kawaki, putra tirinya selalu pandai mengeluarkan isi hati dan pikirannya. Anak itu benar-benar dewasa.
Aku tidak pernah meminta Ibu untuk berbicara langsung pada poin utama. Tetapi, saat kedua bola mataku memandang matanya ... saat itu, aku tahu apa kelemahan Ibu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pure Amour
FanfictionKedua putranya tidak pernah menginzinkan ayah mereka untuk menginjakkan kaki di rumah lagi setelah memilih berpisah. Kawaki dan Boruto sudah menaruh dendam lebih dulu. Bahkan kakak kandungnya melarang keras dirinya. Hinata tahu maksud baik kedua put...