Bersamaan dengan hujan deras, hati sakit teriris menahan perih. Menahan tangis yang sulit dibendung. Perasaan timbul di kala pikiran tengah kacau.
Malam itu, kenyataan sulit diterima. Sifat manusia takut akan terluka karena timbul perasaan takut akan kekecewaan dari orang yang sangat dicintai. Lalu, ketika kenyataan sudah di depan mata, bukankah tidak ada tempat lagi untuk mengindahkan?
Ketika masa lalu menghantam, seolah-olah membawa kembali ke tempat awal ... itu berarti luka yang tidak dapat hilang.
Saat beberapa lembar foto melayang di udara, mata hanya menatap datar sampai lembaran foto menyentuh lantai. Suara petir menyambar, cahaya dari rembulan menipis dari celah jendela.
"Aku tidak bermaksud untuk melukaimu," suara tengah gemetar tetapi berusaha terdengar tegar. "Mataku benar-benar tidak tahan melihat ini. Sejujurnya aku tidak ingin melakukan hal ini padamu, hubunganku dan Minato mulai memburuk. Aku tidak bermaksud membagikan perasaan ini, namun jika aku diam ... hatiku bertambah sakit."
Saat menghardik karena masalah kecil. Tidak berbicara beberapa hari, lalu kembali dalam pelukan. Itu adalah hal biasa yang terjadi dalam rumah tangga.
"Ah, sial!" Kushina menggeram, menarik kasar rambut panjangnya. Penampilan sedikit tidak rapi saat ia baru saja tiba. Mengambil duduk, lalu melempar heels dengan sembarang. Ia memandang menantu tengah diam tanpa berpikir akan bergerak, tahu bahwa perasaan ini pasti sulit diterima.
"Di mana anak-anak? Aku berharap mereka sudah tidur sekarang," kembali menggeram, jari-jari tidak berhenti mengetuk pinggir kursi. "Sial! Pelacur murahan! Ada banyak pria di dunia ini, kenapa harus dari orang yang memiliki gen serupa. Apa di dalam isi kepalanya itu?"
Tidak pernah menaruh rasa curiga, karena dalam diri timbul kepercayaan yang sangat tinggi pada orang yang dicintai. Untuk apa bersikap curiga padanya?
Masih diam di depan, Kushina tidak tahan dengan perasaan pahit ini. Pikiran tidak karuan, rasa sakit di kepala membawa diri ingin meledak malam ini. Tetapi dia tahu kalau semua akan sia-sia. Akan kalah bila tidak dapat menahan diri. Setiap masalah harus diselesaikan dengan kepala dingin ̶ ̶ begitu katanya dan selalu menasihati teman-teman seperti itu.
Tetapi ketika dalam situasi seperti ini. Apa yang selalu dikatakan, hanyalah sebuah kata tanpa ada tindakan. Ia menyebutnya ̶ ̶ tidak konsisten.
Wanita itu merosot dari kursi. Mengusap air mata yang tidak tahu kapan berhenti, meremas dada sekuat mungkin, ini jauh lebih menyakitkan. Sedangkan Hinata hanya bisa bergeming di tempat ̶ ̶ sebab dia masih sulit menerima kenyataan.
"Aku benar-benar benci perasaan ini," masih sesenggukan, Kushina berdiri demi mengambil heels. Ia berjalan lunglai, kembali mengambil napas ̶ ̶ mencoba setenang mungkin. "Mungkin aku tidak sebaik dirimu. Lakukan apa yang ingin kau lakukan, aku tahu perasaan ini seperti apa. Jika aku berpisah dengan Minato, tidak ada beban yang aku pikirkan. Kau memiliki dua orang anak, aku harap kau dapat berpikir baik."
"Tidak," gumam itu terdengar. Kushina melebarkan mata tidak percaya. "Aku tahu apa yang harus aku lakukan ...," Hinata menatap foto keluarga, senyuman itu malah menambah luka di hati. "Ibu tolong tinggalkan aku sendirian di sini ... aku baik-baik saja."
Ini rumah mereka, tinggal di rumah utama Uzumaki. Kushina saat itu tidak bisa menolak, tidak merasa sensitif dengan kalimat yang didengar barusan.
Hati gentar, menggores luka yang lebih dalam. Mereka seorang perempuan, perasaan ini sulit dijelaskan. Namun tidak jauh dari ̶ ̶ mereka sama-sama terluka.
Kushina tidak memiliki hak untuk ikut campur dalam rumah tangga putranya. Ini urusan mereka ̶ ̶ tentu. Meskipun hati memaksa untuk tetap bertahan, tetapi masih ada hati lain yang tidak memiliki pola pikir serupa dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pure Amour
FanfictionKedua putranya tidak pernah menginzinkan ayah mereka untuk menginjakkan kaki di rumah lagi setelah memilih berpisah. Kawaki dan Boruto sudah menaruh dendam lebih dulu. Bahkan kakak kandungnya melarang keras dirinya. Hinata tahu maksud baik kedua put...