Chapter 10

166 15 5
                                    

"Hana !"

"Ya? Aku di sini," jawab Hana lantang saat didengarnya Taehyug memanggil dari ruang tamu. Pria dengan setelan olahraga itu datang dengan tangan yang menjijing plastik putih besar. Senyum terpatri di wajahnya yang hangat. Dia melangkah maju lebih dalam menuju arah dapur dan mendapati Hana sedang sibuk menggosok peralatan masaknya.

"Apa itu?" tanya Hana saat dia berbalik dan melihat Taehyung yang baru datang dari olahraga paginya.

"Hadiah untukmu," kata Taehyung singkat. Dia pun terseyum lebar untuk menggoda. Hana segera mendekat setelah mengeringkan kedua tangannya, mengambil plastik itu dari tangan Taehyung dan mengeluarkan isinya. Satu bungkus besar teh rasa jahe instan. Hana tersenyum simpul saat menatap Taehyung manis.

"Ini untukku?"

"Yep," kata Taehyung sebelum dia meneguk air yang baru saja diambilnya. Dia bersandar pada pintu kulkas dengan tetap memperhatikan Hana.

"Terimakasih, Sayang."

"Sama-sama. Kau suka?" Pemuda itu berjalan mendapati meja untuk mengambil satu kue beras buatan Hana yang masih hangat.

"Akhir-akhir ini kau sering tidur larut malam karena harus menungguku pulang. Teh jahe bagus untuk menjaga staminamu, walau sebenarnya yang aku inginkan itu agar kau berhenti menungguku," lanjutnya dengan bangga.

"Aku suka. Kau romantis sekali," kata Hana sambil terkekeh.

"Terimakasih." Taehyung melempar pandangan ke kiri, ke arah bufet tempat ponsel Hana diletakkan. Ponsel itu berkelip dan bergetar. "Kurasa ada yang meneleponmu," kata Taehyung yang membuat Hana sigap mengambil telepon genggamnya.

"Ya, ini Hana," sapa Hana lembut.

"Taehyung?" Hana melirik suaminya sebentar, "Ada, Bu. Sebentar ya." Ia segera memberikan telepon genggam itu pada Taehyung yang berdiri di sampingnya. Taehyung tidak berbicara, dia hanya diam dan sesekali menghela nafas membuat suasana menjadi sedikit lebih tegang.

"Baik. Baik." Dia mengangguk dan segera mematikan telepon.

"Ibu menyuruhku meminum obat anti depresan yang dia berikan semalam. Aku tidak depresi, Hana. Aku tidak mau minum obat itu. Aku tidak mau." Taehyung menarik nafasnya panjang. Beban pada pundaknya terlalu berat ia rasa, sampai-sampai dia harus duduk di kursi dapur. Matanya memerah dan dia hampir menangis. Hana memperhatikannya dengan lembut.

"Kalau begitu tidak perlu kau minum," kata Hana lirih. Taehyung menantap matanya meminta kepastian.

"Apa kau serius?" Hana mengangguk lalu tersenyum. Senyum yang teduh sekali dan Taehyung tahu dimana dia bisa bernaung setelah ini. Mata Hana melihat Taehyung sebagai sosok yang sempurna dan Taehyung butuh itu semua. Tangan Hana bertengger pada pundak suaminya ketika ia berdiri dihadapan Taehyung.

"Kau tidak butuh obat itu, Taehyung. Biar aku yang menjadi obatmu."

°°°


Dua buah koper besar berawa hitam berdiri tegak di sampingnya. Dia duduk di hadapan Taehyung yang masih tidak percaya dengan apa yang baru saja dia lihat. Nara dan koper. Taehyung tidak bisa mengendalikan pikirannya.

"Kenapa? Kau mengurungkan niatmu?" Nara mencebik membuat Taehyung jadi gelagapan.

"Ini terlalu cepat?" Taehyung sendiri tidak yakin dengan jawabannya yang bernada pertanyaan. Dia pikir dia bermimpi semalam. Sial. Dia tidak menduga jika semuanya jadi bertambah rumit seperti ini.

"Cih. Sudah kukatakan padamu, Taehyung. Aku tidak punya waktu lagi untuk bermain-main. Kau sendiri yang mengajakku pergi, kan?"

"Iya, aku tahu."

"Lantas?" Taehyung diam. Dia hanya mampu mengigit bibirnya sendiri sedang Nara menghela nafasnya panjang.

"Ha... sudah kuduga jika kau memang sepecundang itu. Brengsek!" dia bangkit berdiri berniat meninggalkan pemuda itu, tetapi untuk sesaat dia memutuskan untuk berdiri, mematung, menatap Taehyung dengan tajam seolah bisa menelanjangi dirinya saat ini.

"Aku akan tetap pergi...ada atau tanpa kau."

"Nara, tunggu."

"Apa?!"

"Ini terlalu cepat aku butuh waktu."

"Persetan dengan terlalu cepat. Akui saja jika kau itu pecundang!"

"Aku bukan pecundang!" Taehyung hampir membentak.

"Apa? Kau bukan pecundang? Kau mengajakku pergi, Taehyung, tapi kau tidak mau meninggalkan Hana, dan kau bilang jika kau itu bukan pecundang! Wow, aku bisa gila." Suara Nara terlalu keras menurut Taehyung membuat dia jadi resah, takut kalau-kalau orang memandangi mereka sedang bertengkar. Alih-alih menjelaskan, wanita itu tiba-tiba sudah melesat menjauh darinya menuju keluar dari kafe. Taehyung mengejar Nara yang sudah mencapai teras kafe. Mereka beradu mulut di sana, sedikit ke kiri dari pintu kafe.

"Kau kenapa, sih?"

"Kau kenapa? Jelas kau yang kenapa? Aku bilang, katakan saja jika memang kau tidak bisa meninggalkan istrimu, jadi aku tidak perlu berharap. Kau bilang kau cinta padaku. Bullshit. Seharusnya aku tahu, kau hanya memperalat aku karena kau tidak pernah punya teman." Taehyung lihat dia semakin histeris jadi dia berusaha mendekat untuk menenangkannya.

"Nara, kau bicara apa? Tenangkan dirimu."

"Aku tidak bisa tenang!"

"Baiklah, baiklah," kata Taehyung dengan nada tinggi. Dia frustrasi. Entah apa dari arti kalimatnya, Taehyung sendiri tidak paham.

"Baiklah apa?" suara Nara mulai terdengar pelan, hampir berbisik, "Kau buat aku jadi terlihat seperti iblis, Taehyung. Kau buat aku bertindak jahat pada istrimu, dan sekarang kau malah tidak mau bertanggung jawab. Seharusnya aku tahu diri, kau tidak pernah mencintaiku."

"Taehyung?"

Mereka berdua serentak menghadap kiri Taehyung, mencari sumber suara.

"Ha-Hana?" Hana mendekat dengan matanya yang memerah. Dia lihat tangan Taehyung di sana menggenggam Nara—yang tiba-tiba berhenti terisak karena terkejut—agar wanita itu tidak pergi.

"Apa? Siapa mencintai siapa? Nara? Maksudnya?" tanya Hana bertubi-tubi. Dia kalut.

"Ini...aku...aku..," Taehyung bergumam tak jelas.

"Ya, Tuhan." Hana menutup mulutnya dramatis. "Kau?"

"Tidak, tidak." Taehyung tahu Hana sudah punya pemikirannya sendiri. Dan apapun pemikiran Hana, Taehyung tidak bisa membantahnya. Dia sudah tertangkap basah, jadi seorang pecundang gila, seperti yang orang-orang katakan padanya. Taehyung mengusap wajahnya kesal.

"Jadi? Astaga, aku...aku tidak percaya ini." Hana berjalan cepat setelah membalik badan, menghindari mereka berdua. Terlalu cepat hingga Taehyung kesulitan mengejarnya.

"Hana tunggu."

"APA? Apalagi? Kau mau apalagi setelah kau hancurkan aku?"

"Aku mi-minta maaf."

"Kau sudah bersumpah, Taehyung, dihadapan orangtuaku, dihadapan Tuhan. Sekarang kau lihat apa yang sudah kau perbuat, kau sudah menyakitiku." Air matanya jatuh satu persatu dan Taehyung hanya bisa diam membeku melihatnya.

"Hana, tunggu." Taehyung meraih pergelangan Hana. Sungguh, apapun itu dia tahu dia salah, namun dia tidak ingin melepas Hana pergi.

"Menjauh dariku. Menjauh!" Hana menghempas tangannya dan berlari lebih cepat. Taehyung kalang kabut mengikuti langkah Hana, pun dia masih sibuk melirik Nara yang kini mulai mengikuti mereka. Namun langkah Taehyung tiba-tiba harus berhenti, tepat saat dia dengar mobil ban mendecit terlalu nyaring. Juga bunyi dentuman yang terlalu keras.

Taehyung tidak sanggup melihatnya.

Orang yang dia cintai sudah tergeletak disana, dibalut darah merah yang begitu segar terus keluar dari kepalanya. Mata Taehyung memburam, dia berteriak sekuat yang dia bisa,

"HANAAAAAA"

A/N :  XD

Why Try | kthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang