Chapter 09

175 15 8
                                    

Taehyung terbangun karena suara alarm yang berbunyi di dekat telinganya. Dia mengerang, hampir saja mengumpat jika ia tidak segera sadar bahwa ini bukan kamarnya.

Mata Taehyung belum bisa terbuka dengan baik, masih menyipit seperti anak kucing baru lahir. Pandangannya terganggu karena intensitas cahaya yang terlalu memenuhi ruangan bercat putih gading. Semakin parah karena ia mengidap mata silinder. Ia mendengus gusar. Tubuhnya berusaha ia duduki dan matanya mengerjap berkali-kali. Ini ruangan asing.

Taehyung memandangi sekitarnya. Ada jam beker di samping bantalnya. Jam sialan yang membuat kepala dan telinganya sakit itu dilempar Taehyung menjauh dari dirinya. Entah orang gila mana yang meletakkan itu dengan kejam tepat di samping telingganya, Taehyung terlalu pusing untuk menebak. Ia menatap tubuhnya sendiri—atas dan bawah—yang masih menggunakan kemeja dan celananya yang semalam. Getaran telepon genggam membuat Taehyung menoleh pada nakas kecil di samping tempat tidur. Itu telepon genggam miliknya dengan sticky note yang tertempel diatas layarnya.

"Aku ke mini market di simpang jalan. Bawa saja kuncinya jika kau tidak ingin menungguku."—Nara.

Taehyung menghela nafas berat. Dia teringat jika dia semalaman menginap di rumah Nara. Bersamaan dengan dibukanya layar ponsel oleh ibu jari, pemuda itu lantas beranjak tergesa-gesa dari tempat tidurnya. Ia memperbaiki diri seadanya; menyugar rambut menggunakan jari-jemarinya, juga menggosok wajahnya yang berminyak dengan tangan. Kemejanya ia masukan ke dalam celana seperti biasa. Sekitar lebih dari 30 panggilan campuran dari Ibu dan Hana semalam adalah alasannya untuk segera pulang.

Tamat riwayat Taehyung. Dia lupa menjemput Hana.

°°°

"Dia sudah pulang semalam bersama Namjoon." Ibu dengan celemek coklat kayu yang memeluk tubuhnya sedang mencuci piring di dapur ditemani Taehyung yang duduk di meja makan, memandangnya bergerak luwes.

"Namjoon hyung?" Kening Taehyung berkerut. Ia tidak suka dengan fakta bahwa Namjoon yang semalam menghantar Hana pulang.

"Iya, aku yang menyuruhnya. Kau tau dia menunggumu hinggal pukul 12 malam dan bersih keras untuk pulang karena takut mungkin kau sudah pulang ke apartemen kalian. Dia takut kau sendiri di sana."

"Aku minta maaf." Taehyung menggulum bibirnya, merasa bersalah.

"Minta maaf lah pada istrimu. Bukan padaku."

"Ini." Ibu tahu-tahu sudah siap mencuci. Dia berdiri di samping putranya dan meletakkan satu bungkus yang Taehyung kenal betul isinya. Hanya saja dia masih berharap menemukan hal lain selain apa yang sudah dia tebak.

"Apa?" Taehyung menghela nafas panjang. Matanya memburam dan ingatannya menghujam jantung tak ada ampun saat ia temukan satu botol anti depresan dari bungkus itu, resep dan botol yang mirip dengan miliknya dulu dari bungkus itu.

"Kau ingin aku membuangnya?" pemikiran Taehyung yang lain ia sampaikan penuh harapan.

"Tidak. Itu resep baru. Aku ingin kau mengonsumsinya."

"Bukankah kita sudah berjanji untuk menghentikan ini semua?" Dia bangkit dan meremas bungkusnya hingga ia lenyap dalam kepalan tangannya. Taehyung marah dan Ibu yang ketakutan mulai bergetar.

"Kalau begitu berhentilah mengganggu Nara! Aku akan menghentikanmu mengonsumsi obat itu jika kau berhenti mengganggunya."

"Aku tidak mengganggunya, Bu." Taehyung menjerit frustrasi.

"Taehyung-ah... kumohon berhentilah. Berhentilah membuat dirimu sakit. Berhentilah marah padaku dan pada ayahmu. Aku minta maaf." Ibu mendekat, mengambil kepalan tangan putra tunggalnya dan meletakkannya di dekat dada. Dia tersedu hingga anak merasa iba.

Why Try | kthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang