Chapter 13

223 16 11
                                    

Angan Taehyung masih melayang. Setengah sadar, setengah bermimpi. Ingatan singkat tentang semalam dia andalkan sebagai bukti. Hana seharusnya sudah pergi kemarin. Pergi selama-lamanya. Dia ingat betul.

Saat terbangun Taehyung benar-benar terkejut dengan realita yang ada dihadapannya: dia masih di rumah ibu; pesta ulang tahunnya baru kemarin berlangsung; dan dia tidak mengikuti meetingnya karena tertidur. Bahkan tadi bosnya sempat menelepon dan mengatakan jika dia kecewa karena Taehyung tiba-tiba tidak memperlakukan client mereka dengan baik.

Bukannya dia tidak senang. Tentu saja dia bahagia sekali, juga sangat-sangat bersyukur, jika memang semua yang dia rasa ternyata hanyalah mimpi, tapi melihat Hana juga kebohongannya yang masih dia simpan baik-baik nyatanya membuat Taehyung semakin kacau.

Sumpah, kepala Taehyung ingin meledak.

"Taehyung, kau melamun, ya?" Taehyung melirik setelah diberi pukulan lembut pada otot lengannya oleh Hana. Mereka sedang duduk di ruang tamu. Bersandar pada sofa dengan kedua kaki yang sengaja dilipat di atasnya, mereka menikmati iklan yang tak kunjung selesai di televisi (sebenarnya hanya Hana yang sedari tadi menonton).

"Huh?" Taehyung berkedip. Keningnya dia elus. Rambutnya dia sugar dengan jemari. Ketara sekali dia sedang banyak pikiran.

"Apa kau sedang memikirkan ibu?" tebakan Hana menarik fokus Taehyung.

"Apa?"

"Aku lihat kau di beri obat tadi. Dan aku juga dengar pembicaraanmu dengan ibu."

Taehyung mengangguk-angguk kecil. Sebelum mereka pulang ke rumah memang ibu memberinya obat depresan. Itu mengapa Taehyung makin sakit kepala. Segalanya seperti terjadi berulang-ulang. Logikanya masih sulit untuk memilah mana yang dunia nyata, mana yang tidak.

Gerakan halus serta hangat di ujung-ujung jarinya membuat dia membeku. Taehyung melirik tangannya yang sudah digenggam Hana entah sejak kapan. Jari-jemari mereka wanita itu pertemukan sebelum kedua tangan mereka saling memeluk.

Senyum Taehyung tertarik sedikit.

"Tidak perlu kau minum."

"Apa?"

"Kau tidak perlu obat, Taehyung. Aku akan jadi obatmu."

Taehyung terdiam sementara perutnya tergelitik. Matanya lekat memandang mata teduh istrinya yang dengan manja bersandar pada lengannya. Kalimat ini pernah dia dengar dari Hana kemarin di mimpinya. Dia menelan ludahnya kasar saat dia rasa apa yang dia tanam dalam hatinya mendadak mendesak, meminta ingin dikeluarkan.

"Ada sesuatu yang ingin kukatakan."

"Katakan saja. Aku akan mendengarkanya."

Pria itu mendekat dan memeluk Hana erat-erat. Air matanya menetes satu-satu tanpa ada yang mengetahui. Rasanya semakin menyakitkan saat wanita itu membalas pelukannya dengan hangat, bahkan sedikit dia berikan elusan pada punggung guna menenangkan pria itu. Taehyung mulai sesenggukan, Hana memeluknya semakin erat. Segalanya yang dia ingat terlintas lagi pelan-pelan pada pandangannya. Seperti film, semua penggambaran, dialog, serta emosi pun dijabarkan rapi.

Nara dan Hana.

Kebohongan dan mimpi.

Disaksikannya betul-betul kemarin, di dalam mimpi, bagaimana Nara, Hana, dia dan semua orang yang dia sayang berakhir akibat kebohongannya. Taehyung menyesal sekarang. Dia ingin semuanya berhenti sampai di sini walau dia tahu—sangat-sangat tahu—bahwa setelah ini paginya tidak akan sama lagi. Riuh dapur mungkin tak akan terdengar lagi. Tempat tidurnya tak akan sehangat dulu. Senyuman dari bibir tipis itu mungkin tak akan lagi menyambut kepulangannya. Suara lembut tidak akan lagi menenangkannya.

Semua akan berubah... kecuali cintanya pada Hana, istrinya.

***

Mata Taehyung terbuka lebar-lebar. Keringat bercucuran dari keningnya, melalang buana pada wajahnya yang rupawan, lalu jatuh dan membasahi kemeja. Dia menepuk-nepuk bahunya yang berat, sambil berusaha untuk duduk di atas sofa.

Pagi sudah datang dan Hana pasti sudah pergi. Benar-benar pergi kali ini entah kemana. Setelah pembicaraan panjang semalam, Hana benar-benar marah walau dia tidak berteriak pun tidak menangis meraung-raung.

Matanya memang berkaca-kaca, bibirnya sampai bergetar tapi dia marah saja, tidak menampar. Dia bilang dia kecewa dan butuh waktu untuk sendiri. Katanya sementara ini dia tidak bisa memberikan jawaban apapun. Taehyung mengerti. Dia harus maklum. Masih beruntung Hana meminta waktu alih-alih serta merta meminta berpisah. Namun biar begitu rasanya masih tak tenang. Dia tak ingin Hana pergi terlalu lama. Takut kalau-kalau hatinya yang patah itu sanggup diperbaiki oleh orang lain, yang tentu saja bukan dirinya.

"Jadi kita berakhir sampai di sini?"

Taehyung menebar arah pandangnya jauh ke arah sungai Han yang kira-kira berjarak dua meter dari tempat dia dan Nara duduk. Dia diam, tidak menjawab apapun. Pria itu hanya membiarkan angin menerpa wajahnya, membiarkan rambutnya ditiup sampai berantakan. Wajahnya kusut, matanya berkantung. Pikirannya melayang, hatinya carut marut tak terdeskripsi. Nara memandang dirinya dengan sedih, sementara Taehyung masih terkukung mimpi dua malam kemarin.

Taehyung sempat ingin melangkah pergi dari sana, setelah dengan sok berani memutuskan untuk bertemu Nara, dengan sok bijak ingin menyelesaikan segalanya. Tapi tungkainya melemah. Menghadapi Nara nyatanya sanggup mengegerus habis tenaganya.

"Aku minta maaf." Nara mengigit bibirnya kecil-kecil menahan agar dia tidak menunjukkan emosinya. Taehyung tak bergeming walau dia sempat terkejut sebentar. Wanita pujaannya meminta maaf padanya secara langsung dan Taehyung semakin hancur mendengarnya.

"Aku minta maaf karena sudah menekanmu, membohongi Hana dan memaki ibumu. Aku egois."

"Kita egois dan kau tidak perlu meminta maaf." Taehyung memperbaiki. Dia menatap mata Nara dalam keadaan canggung. Taehyung melihat bayangan dirinya yang kejam dari mata Nara. Wanita itu mendeklarasikan rasa bencinya pada Taehyung. Senyumnya tertarik sedikit. Dia sendiri pun benci dirinya.

"Kau benar-benar jahat, Taehyung." Nara menarik nafasnya dalam.

"Jaga Hana untukku. Hiduplah bahagia dengannya," lanjutnya. Lalu ia bersiap untuk pergi, sebelum akhirnya dia berhenti, kembali menatap Taehyung.

"Tidak ada niatan dariku untuk kembali padamu saat aku datang lagi ke Seoul. Sungguh. Karena semua bisa melihatnya jika kau sudah jatuh cinta dengan Hana, bukan padaku. Mencintai seseorang itu lebih dari sekedar jantung berdebar kencang, lebih dari sekedar kita yang dibuat melayang. Mencintai itu kau tak bisa tak bergantung padanya, kau tak bisa hidup tanpa dia. Tapi lebih daripada itu, sebenarnya kau tak bisa menjelaskan apa itu mencintai seseorang."

"Aku akan berusaha untuk melupakanmu jika kau mau." Taehyung bingung hendak menjawab apa, sedang Nara tertawa ringan mendengar kalimatnya.

"Hey, kenapa harus mecoba melupakanku? Jangan menyakiti dirimu lagi. Waktu akan bekerja untuk itu."

"Baiklah." Taehyung hanya mengangguk, kembali memancing kekehan dari bibir Nara.

"Taehyung, hmm, aku mencintaimu. Aku sungguh-sungguh. Dan kau tahu, rasa itulah yang buat aku sadar, sadar kenapa aku harus mencoba berhenti sekarang. Aku harus tahu diri jika aku bukan yang sejati untukmu. Karena cinta saja tidak cukup dan yang sejati seharusnya tidak pernah meninggalkan orang yang dia cintai, seperti aku. Aku bersikap seperti pecundang dan kau tersiksa sendiri di sini. Aku memang sepantasnya harus meminta maaf.

"Jadi kau harus benar-benar menjaga Hana, Taehyung. Aku menyayangi kalian berdua. Dan kau tahu? Terima kasih sudah mau mendengarkan ku berbicara sepanjang ini." Nara mengelengkan kepalanya tak percaya. Taehyung tersenyum tulus melihatnya.

"Baiklah aku harus pergi Namjoon sudah menungguku dari tadi." Nara menunjuk ke arah kiri. Taehyung memandang jauh ke arah yang ditunjuk Nara, tepat di luar taman. Ada Namjoon di sana berdiri, bersandar pada mobilnya. Namjoon tersenyum dan melambaikan tangannya. Taehyung membalas. Nara menjatuhkan dirinya pada pelukan hangat Taehyung. Sempat menitikkan air mata, namun buru-buru dia menyekanya.

"Kau juga harus bahagia, Noona."

Nara mengangguk keras.

***

Why Try | kthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang