choic

7.3K 402 14
                                    

Reyhan P.O.V
Aku berlari ke kamar Nasyah di rawat setelah Doni cerita semuanya padaku tentang kejadian tadi siang, sampai sana langsung aku membuka pintu lebar lebar sosok yang ku lihat sedang menagis meringkuk di atas tempat tidur.

Aku duduk di tepi ranjangnya "Syah...." tanganku berjalan membelai rambutnya "maafkan Mas..." ucaku lirih, "seharusnya mas cerita dari awal...."

"Kalau Nasyah memaafkan Mas Reyhan, apa Mas Reyhan tetap akan membunuh bayi ini..." ucapnya penuh dengan isakan.

Aku tidak ingin mendengar kata kata itu "aku mencintai Nasyah, Nasyah juga mencintai Mas kan...?? Ini jalan satu satunya agar kita bisa sama sama..."

"Aku menginginkan anak ini..." ucapnya sambil terisak

"Kita bisa adopsi bayi..."

"Adopsi bayi..." Nasyah berbalik menatap ke arahku, ku lihat matanya yang merah karena terlalu banyak mengeluarkan air mata "Anakku sendiri aku bunuh bagaimana bisa aku malah merawat anak orang... apa Mas Reyhan tidak merasa bersalah...??"

"Syah... Mas mohon perkara satu ini Nasyah nurut sama Mas..." Nasyah tidak menjawab lagi, ia memiringkan badanya kepalanya di tengelamkan ke bantal, suara isakannya semakin keras terdengar di telingaku.

Apa yang harus aku lakukan, apa aku memilih jalan yang salah, kalau aku memilih jalan yang salah lalu jalan yang benar seperti apa? membiarkan bayi itu lahir lalu Nasyah mati, itu kenyataan yang paling tidak bisa aku bayangkan.

Suara detak jarum jam yang menempel di dinding menjadi musik malam, tanganku masih terus menepuk nepuk bahunya dengan lembut, agar memberi ketenangan dalam tidurnya, aku tau penderitaan yang dia alami tapi aku tidak tau betapa sakitnya dia menangung semua ini, aku bahkan tidak mengijinkan dia untuk memilih, yang aku mau hanyalah dia tetap di sisiku walaupun tidak lama aku berharap sedikit lebih lamapun tidak apa apa, apa aku egois??

Kenapa..?? Kenapa harus alzheimer, Setiap hari aku merawatnya, memberinya obat menceritakan tentang hal yang sudah ku lalui bersamanya dan mengajaknya jogging setiap pagi, dengan itu aku berharap alzheimer tidak mengambil memorinya terlalu banyak, tapi aku salah, aku bahakan tidak bisa menyembunyikan rasa sedih ku saat dia memberiku kopi yang terasa asin, aku juga tidak bisa mengembunyikan air mataku saat dia melupakan ku, ku terima kenyataan bahwa penyakitnya semakin parah, aku harus kuat aku harus tersenyum di hadapan dia agar dia tetap semangat menjalani hidupnya.

"Kenapa...." aku menoleh ke arah tubuh sedang berbaring di hadapanku, apa dia tergangu karena suara tangisan ku.

Ia mencoba untuk bangun dari ranjangnya, aku langsung mengusap air mataku yang bercucuran, ku rasakan sebuah tangan membelai rambutku dengan lembut, aku tidak bisa menahanya lagi, ku tarik dia dalam pelukanku dan ku peluk dengan erat, mulutku tidak bisa bicara air mataku keluar terlalu banyak bahkan tengorokanku sampai terasa sakit karena terlalu banyak menelan ludah.

"Aku mau ke pantai...." ucapnya lirih.

"Malam malam begini...."

Dia menganguk, "maukah Mas membawaku...??"

Kakiku berpijak di hamparan pasir pantai, suasananya sepi hanya suara angin dan gemuru ombak yang terdengar di telingaku.

Tidak pernah ada yang mengajakku pergi ke pantai malam malam begini bahkan temanku dan mantan mantanku pun tidak pernah, di sini bulan terlihat begitu bulat cahayanya sangat kuning seperti kilauan emas, dan juga hiasan bintang menambah nilai kecantikan langit.

"Nasyah mau sesuatu, aku mau ke tokoh sebentar..." dari tadi wanitaku terus berdiri sambil memperhatikan ombak yang berguling guling.

"Ehhhh...." hanya gumaan yang ku dengar, kemuadian ia mengelengkan kepalanya, sedikitpun dia tidak menoleh kepadaku, aku hanya memperhatikan dari blakang.

Ku tinggalkan dia sebentar ke minimarket terdekat, lidahku terasa pahit aku badanku juga sedikit mengigil karena terpaan angin, aku butuh rokok.

Ku taruh kantong plastik yang berisi cemilan dan minum di sampingnya, dia hanya melirik sesaat dan kembali memperhatikan ombak, ku selipkan rokok di antara bibirku, tanganku menyalahkan korek api.

Asap mengepul dari mulutku seperti kenalpot saat aku meresapi rasa nikotin, kali ini kulihat Nasyah tidak lagi memperhatikan ombak, ia memperhatikan aku.

"Kenapa....??" Tanyaku ia terus memperhatikanku.

Nasyah mendekat ke arahku membuat jarak yang sangat dekat hingga ia menyatukan bibirnya ke bibirku, tidak seperti biasanya kali ini dia yang memulai, bibirnya terus menghisap bibirku saat aku menarik kepalanya untuk melepaskan ciuman kami ku lihat butiran air bening membasahi pipinya, kemudian ia kembali menciumku lagi.

Tubuhnya terasa sangat ringan di pungung ku padahal terakhir kalinya aku menggendong Nasyah di tempat tidur tidak seringan ini.

"Mass...." ucapnya yang terdengar pelan.

"Hmmmm....."

"Sebenarnya.... yang aku takutkan bukan saat aku pergi..." nada bicaranya kini terdengar lemas.

"Apa yang kamu bicarakan...."

"Yang aku takutkan kamu akan sedirian saat aku tinggal nanti..."

Air mataku menetes lagi kenapa Nasyah harus berbicara tentang perpisahan, aku tidak mau mendengarkannya.

"Tidak ada yang sendirian, Nasyah akan terus bersama Mas sampai akhir hayat..."

"Apa aborsi rasanya sangat sakit..." aku menarik nafas, mendengar pertanyaanya yang terdengar menyakitkan.

"Tidak, tidak akan sakit...."

"Dia tidak akan memaafkanku, jika aku melakukan itu...." suranya semakin terdengar lemah.

"Dia akan paham ini semua demi ibunya...."

"Mas aku lelah...."

"Tidurlah di punggungku..."

"Hmmmm...."

Sudah tidak ku dengarkan lagi ucapan Nasyah apakah dia tidur, aku melanjutkan langkah kakiku meninggalkan pangai menuju tempat mobil kami di parkir.

Wajahnya sangat terlihat begitu kelelahan saat ku pindahkan ke dalam mobil.
*************

Satu hari aku tidak tidur, Doni terus menyuruhku untuk istirahat namun aku menolak, tidak mungkin aku meningalkan tugasku sebagai seorang dokter, lagi pula nyawa pasien ku lebih penting dari pada kelelahanku.

Setelah kembali menangani pasien darurat aku kembali ke ruangan ku, entah apa yang di lakukan dua suster di ruanganku, mereka berdua memandang ku dengan raut wajah cemas.

"Pak Reyhan...." suster Eri mulai angat bicara namun sedikit kebingungan di raut wajahnya, aku masih diam menunggu mereka bicara "istri anda sudah dua jam yang lalu tidak kembali ke kamarnya, tadi dia pamitan dengan saya jalan jalan ke taman tapi setelah itu tidak balik lagi sampai sekarang kata"

Tanpa menunggu mereka menyelesaikan bicaranya aku langsung berlari keluar menuju kamar Nasyah, tidak ada siapa siapa di dalam hanya selimut yang sedikit berserakan, ku buka kamar mandi juga kosong, aku lari lagi ke arah taman mataku melihat sekeliling namun sosok wanitaku tidak tertangkap indra pengelihatanku.

Doni ku lihat berlari ke arahku di ikuti suster Eri di belakangnya "Rey katanya tadi ada beberapa suster yang melihat Nasyah keluar dari gerbang...." ucap Doni sambil mengatur nafas.

Kakiku dengan cepat berlari ke tempat parkir, ku putari jalanan sekitar rumah sakit hingga berkali kali tidak ada ku temukan Nasyah, aku sempat turun dari mobil saat aku melihat perawakan yang mirip dengan Nasyah namun setelah aku raih orang itu ternyata wajah lain bukan Nasyah, kemana kamu sayang, bukankah baru semalam kamu bilang takut meninggalkan Mas sendiri, kenapa kamu malah pergi.

Nb:  2 part lagi cerita akan tamat.

Rain Tears (End Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang