Part 24

9.8K 592 15
                                        

Kami sampai di tempat yang sudah ditentukan Ryan. Aku merasa cukup lelah hari ini karena sudah mencari Darrel kemana-mana ditambah aku juga harus mengurusnya beberapa minggu ini. Mengurus bayi tentunya melelahkan tapi, mumpung mendapat traktiran, kurasa akan menjadi dosa kalau aku membuangnya begitu saja. 

Ryan membukakan pintu mobil untukku yang sebenarnya tidak perlu. Kami berjalan bersama memasuki tempat makan tersebut yang didalamnya penuh dengan orang. Well, tidak heran lagi karena ini adalah jam makan malam dimana mereka akan berkumpul bersama. Aku bahkan sempat khawatir kalau tidak ada meja yang tersisa namun Ryan dengan sigap langsung memesannya sebelum orang yang mengantri di belakangku memesannya.

Begitu kami duduk, Darrel tidak bisa diam dan terus-terusan memainkan apapun yang ada diatas meja. Aku merasa kesal karena Ryan sama sekali tidak mau membantu untuk mendiamkan Darrel, dia malah asyik membuatku kerepotan dengan menggunakan Darrel. Benar-benar tipikal Ryan.

"Ryan, berhentilah bermain-main dan bantu aku mendiamkannya!" aku memelototinya yang hanya menjawabku dengan senyuman polos seakan-akan mengatakan "Apa maksudmu?". Aku hanya memutar bola mataku. Aku tidak pernah tahu ada orang tampan senakal dan seidiot ini.

"Daripada bermain-main, lebih baik kau memesan makanan supaya kita cepat pulang" ucapku lagi, berusaha mengalihkan perhatiannya. Dia langsung mengangguk dan mengangkat tangannya, memanggil pelayan terdekat yang langsung bergegas bergerak menuju tempat kami.

Selagi Ryan memesan makanan, aku berusaha untuk mendiamkan Darrel dengan memberikannya dot kesayangannya yang lama-lama berhasil. Aku langsung tersenyum puas dan bangga akan usahaku sendiri untuk mendiamkannya. Begitu Darrel tenang, Ryan juga sudah selesai memesan dan kami hanya tinggal menunggu makanan  kami datang. Satu hal yang kuharapkan, dia tidak memesan yang aneh-aneh untuk menjahiliku seperti misalnya, kerang mentah (Jepang suka makan makanan mentah).

"Apa yang kau bicarakan dengan Christ?" Ryan mulai membuka pembicaraan dengan topik yang paling ingin kuhindari. Niatku untuk mengatakan yang sebenarnya menjadi pudar karena takut dia akan langsung meledak dan kabur untuk membakar rumah Christ. Akan lebih memalukan lagi kalau kami berdebat disini.

"Entahlah" aku mengangkat bahuku dengan tatapan menunduk memandang meja. Apa aku harus menceritakan yang sebenarnya? Mengatakan bahwa Christ melamarku barusan sama saja dengan bunuh diri. Aku bisa saja tidak mengatakan yang sebenarnya kepadanya dan langsung menolak lamaran Christ tanpa perlu diketahui Ryan. Tapi memangnya apa untungnya? Toh bukan berarti aku akan terus berada dengan Ryan. Setelah aku mengembalikan Darrel kepada ibunya yang asli, kami tidak akan berhubungan lagi, ya kan?

"Apa kita akan terus bertemu walaupun Darrel sudah kembali dengan ibunya?" tanyaku, memastikan kalau hal itu tidak benar. Ryan diam sejenak, mengerutkan dahinya sedikit.

"Kurasa, jika kau menerimaku" jawabnya. Oke, pertanyaan baru. Apa aku menerimanya? Kurasa untuk semenit tadi aku sempat berpikir kalau aku menyukainya. Apa maksudnya ya?

"Ya?" aku menjawabnya dengan ragu.

"Kalau begitu, mungkin saja" Ryan menjawab, tersenyum sedikit "Tunggu, apa kau berusaha menghindari pembicaraan?"

"Tidak? Aku hanya sedang memastikan sesuatu" Aku sendiri tidak sadar kalau aku berusaha menghindari pembicaraan. Mungkin, aku memang harus menceritakannya. Maksudku, Christ bisa saja membahas lamaran itu dengan Ryan di tempat kerja, dan Ryan akan lebih marah lagi karena aku tidak menceritakannya terlebih dahulu. Lebih parah lagi kalau tiba-tiba Christ membahas hal itu disaat kami sedang berkumpul bertiga.

"Berjanjilah kau tidak akan marah" ucapku padanya. Dia nampak ragu sejenak namun kemudian mengangguk setuju. Aku menarik napas, bersiap-siap.

"Chist melamarku" jawabku singkat. Ryan nampak seperti sedang mencernanya sejenak.

"Melamar pekerjaan? Kau disuruhnya bekerja sebagai apa? Model pakaian dalam?" Ryan dengan polosnya, mengatakan itu dengan wajah seriusnya. Aku hanya menatapnya kosong. Apa dia seidiot ini?!

"Bukan! Melamar, mengajakku menikah!" aku meninggikan suaraku karena kesal. Dia bisa mengatakan 'aku mencintaimu', tapi kenapa dia tidak mengerti artinya melamar?

"Apa maksudnya?" Ryan bertanya, dengan wajahnya yang serius. Aku hanya bisa menepok jidatku. Ingin rasanya aku menampar diriku sendiri karena kesal.

"Begini ya, disaat sepasang kekasih, namun sayangnya aku dan Christ bukan salah satunya, sudah menjalin hubungan panjang dan lama, si laki-laki yang sudah siap akan melamar si perempuan, mengajaknya menikah, agar mereka bisa membuat bayi dengan legal dan membentuk sebuah keluarga. Mengerti? Bukankah kau sendiri mengerti tentang pernikahan karena setidaknya kau pernah mengucapkan itu kepadaku sekali?!" aku menjelaskan kepadanya panjang namun singkat. Dia mengangkat kedua alisnya, seakan sudah mengerti.

"Oh, aku paham. Tolak saja dia" diluar dugaan. Kupikir dia akan meledak karena kesal ada orang lain yang mengajakku menikah.

"Bagaimana kalau aku terima saja?" aku mencoba mempermainkannya sedikit. Setelah aku mengatakannya, dia langsung memukul meja dengan keras, berdiri, bersiap-siap untuk langsung pergi menghajar Christ.

"Aku hanya bercanda, astaga" aku memutar bola mataku. Dengan tenang dia langsung kembali duduk. Ternyata dia peduli.

"Kau mempermainkanku" ucapnya dengan geram.

"Habisnya kau nampak tidak peduli sama sekali"

"Well, itu karena aku percaya kau tidak akan mau menikah dengannya" ucapnya dengan percaya diri. Well, dia punya poin disitu. Sedetik setelah Christ melamarku, aku sudah berpikir untuk menolaknya. Jadi, dia memang tidak salah untuk hal itu.

"Memang benar" aku tertawa sedikit "Kurasa memang sudah saatnya untuk mengatakan ini" aku mendekatinya dan berbisik di telinganya.

Begitu aku selesai membisikkan kata-kata yang paling ingin didengarnya, dia langsung melotot, terkejut.

"Lica!!!" dia memelukku kuat-kuat sampai aku tidak bisa bernapas. Jadi ini efeknya jika aku mengatakan 'Aku memilihmu'?

Semua orang langsung menatap kami dengan pandangan aneh dan pelayan yang ingin menaruh pesanan kami dimeja hanya memandang kami dalam diam, tidak yakin apa dia harus meletakkan pesanan kami atau tidak.

"Anda baik-baik saja?" si pelayan mulai bertanya, khawatir kalau-kalau tingkah kami akan memberikan pengaruh bagi yang lainnya.

"Tentu saja, dia hanya kehabisan obat yang biasa diminumnya" aku tersenyum, berusaha untuk meyakinkan bahwa kami baik-baik saja.

Ryan langsung melepaskan pelukannya dan kembali duduk, namun tidak bisa berhenti tersenyum sama sekali. Sedangkan Darrel, hanya menatap kami dengan tatapan jijiknya. Oh, sejak kapan bayi ini bisa mengeluarkan ekspresi seperti itu.

Setelah itu, Ryan masih terus tersenyum sambil makan dan tidak bicara apa-apa. Terlalu senang untuk berbicara, nampaknya. Aku mengambil kesempatan itu untuk mengirimkan pesan maaf kepada Christ.

Yah, berharap saja kalau semuanya akan berakhir baik-baik saja.

****

AHH akhirnya bisa update lagi. Author mohon maaf kalau baru sekarang updatenya (dan chap ini terlalu sedikit ik). Baru aja kelar UN dua hari lalu dan hari ini bolos sekolah karena, ngapain sekolah, udh mau lulus xD saya bakalan sering update from now on, jadi mohon dukungannya lagi ya <3 thx buat semua reader yg setia menanti dan rajin memberi semangat TAT i'm grateful.

Found The Baby & YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang