13| Tentang Ryan

74 8 0
                                    

Aldryan Villon. Anak bungsu dari keluarga Brawijaya. Ayahnya adalah seorang arsitek sukses yang cukup terkenal karena desainnya yang sederhana namun tetap terlihat elegan dan mewah. Sementara ibunya adalah seorang desainer pakaian di salah satu butik di Jakarta. Sebenarnya ia bisa saja bekerja di rumah, namun wanita yang sudah berkepala empat itu tak enak hati karena merasa diistimewakan karena istri seseorang yang cukup dikenal publik.

Ryan. Begitulah panggilan untuknya. Ryan memiliki wajah yang bisa dibilang tampan. Tak jauh berbeda dari kakaknya, Ata. Kulit Ryan putih bersih karena Ryan bukan tipikal orang yang suka maksain diri. Hidungnya yang mancung serta mata teduh berwarna cokelat terang, semakin membuatnya terlihat 'wow keren banget' dimata para gadis. Berbeda jauh dari Ata yang memiliki pandangan mata tajam nan mengintimidasi.

Tinggi Ryan juga lumayan. Hanya berbeda 3 cm dari Ata. Badannya juga cukup atletis. Ini yang sebenarnya cukup mengherankan. Darimana Ryan mendapat tubuh atletis itu? Ryan sendiri jarang olahraga, dan malah suka sekali makan. Ia juga terlalu santai dibanding remaja lelaki pada umumnya. Masih menjadi misteri.

***

"Ryan?"

Panggil seseorang dari sebelah Ryan yang membuatnya menoleh. Ia mendapati seorang pria yang memakai jas putih, ia yakin ini seorang dokter. Dokter itu tersenyum padanya. Ryan seperti kenal, tapi siapa? Ia berusaha mengingat - ingat.

"Denis. Kakaknya Nina. Masa udah lupa?" Ucap dokter itu.

"Aahhh, iya, kak Denis," ujar Ryan yang baru menyadari. "Duh, pikun banget sih." Gerutunya pada dirinya sendiri.

Denis terkekeh geli melihat kelakuan Ryan. Ia memandang Ryan yang masih saja nampak menyesal karena 'pikun'. Denis tak menyangka, Ryan yang 4 tahun lalu ia lihat sebagai bocah, kini sudah menjelma menjadi remaja tampan. Dan tingginya pun sekarang hampir menyamai Denis. Sebenarnya wajar saja kalau Ryan lupa, terakhir kali mereka bertemu itu 2 tahun yang lalu. Itupun tidak sering karena Denis yang harus sibuk kuliah.

"Udah, gapapa." Ujar Denis.

"Kak Denis ngapain disini? Jadi dokter ya, di RS ini?," Tanya Ryan ketika mereka sudah duduk di kursi taman. Denis tersenyum lalu mengangguk. Ryan nampak bingung. "Kok, saya gak pernah liat ya? Padahal saya sering kesini."

Denis nyengir melihat kelakuan Ryan yang tak berubah.
"Baru 3 hari yang lalu kok, mulai kerjanya. Dulu kak Denis praktek di RS di luar kota. Wajar kalo kamu baru liat sekarang," Ryan manggut - manggut. "Kalo kamu ngapain disini? Lagi sakit?"

Ryan baru akan menjawab, namun urung. Ia harus bilang apa kalau dirinya ke sini mengantarkan kakaknya. Ata sudah bilang, jangan ngomong sama siapa pun kalo ia kenapa - napa. Tepukan dari Denis kemudian membuyarkan lamunan Ryan.

"Kok bengong?" Tanyanya.

"Ehm, saya ...," Ryan gelagapan. Ia memandang sekeliling dan menemukan Ata yang bersembunyi di balik tembok sambil mengisyaratkan agar ia diam. "Saya ... nengokin nenek pacar saya yang lagi sakit kak." Ujar Ryan yang berhasil membuat alasan.

Tampang Denis sedikit terkejut namun senang.
"Oh, sekarang udah punya pacar.
Emang neneknya sakit apa?"

Ryan kembali gelagapan dan memutar otak untuk mencari alasan.
"Sakit ... ehm. Oh iya, neneknya maag-nya kambuh. Iya neneknya sakit maag." Dalam hati Ryan berdoa dan minta maaf pada 'calon pacarnya' nanti kalau Ryan gak bermaksud doain yang nggak - nggak.

Denis hanya ber'ohh' ria. Dokter muda itu melirik jam tangannya. Ia minta maaf pada Ryan karena gak bisa ngobrol lama - lama karena masih ada pasien. Dengan napas lega yang tak kentara oleh Denis, Ryan menjawab 'silahkan'.

Denis sudah hilang dari penglihatan Ryan. Ata yang menyadari hal itu langsung keluar dari tempat persembunyiannya dan menghampiri Ryan.
"Kak Denis nanya apa aja?"

"Dia cuman nanya gue ngapain ada disini. Yaudah, gue jawab aja lagi nengokin nenek cewek gue yang sakit," balas Ryan. "Gimana? Udah?"

Ata mengangguk dan mengajak Ryan pulang. Di dalam mobil, Ryan dan Ata tidak bersuara. Hanya lantunan lagu dari Against The Current yang terdengar dari siaran radio mobil.

"Bang." Panggil Ryan akhirnya. Ata menoleh dan menjawab 'apa?'

"Mau sampe kapan abang nyembunyiin ini? Emang gak kasian, sama kak Nina?"

Rahang Ata mengeras. Pegangannya pada setir kemudi menguat, serta tatapannya lurus ke depan.
"Lo gak usah ikut campur, Yan. Ini urusan gue, masalah gue, biar gue yang nyelesain, biar gue yang ngadepin. Lo gak perlu ikutan." Ucapnya datar.

"Tapi kita keluarga, bang. Gue berhak bantuin. Gue gak mau nantinya ada salah paham diantara lo sama kak Nina."

"Gue udah bilang, gausah ikut campur masalah gue. Lo ngerti gak sih?" Ketus Ata ketika mobil mereka sudah sampai di depan rumah.

"Gak. Gue gak ngerti. Gak ngerti sama jalan pikiran lo! Gue yakin, cepat atau lambat, kak Nina bakal tau." Jawab Ryan datar sekaligus kesal. Ia langsung turun dari mobil dan masuk ke rumah.

Dengan terburu - buru, Ryan menaiki anak tangga menuju kamarnya. Membanting pintu dan terduduk sambil bersandar di daun pintu kamarnya. Ia mengusap gusar wajahnya lalu memukul - mukul lututnya.

"Akhhh." Gelegar marah dan kecewa keluar dari mulut Ryan.

"Gue cuman mau yang terbaik buat lo, bang. Gue pengen lo baik - baik aja. Gue gak pengen nantinya hubungan lo sama kak Nina renggang karena hal yang lo sembunyiin ini," guman Ryan.
"Gue mau lo bahagia terus."

A.n

Hm, bab yang cukup aneh kalo menurut aku. Kalo menurut kalian gimana?

Udah ada bayangan belom, ada apa sebenarnya sama Ata? Hehe, pasti udah dong. Keliatan banget gini kok.

Keep vote ya.

Gastaseno [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang