19| Ditutupi

70 4 0
                                    

Ryan menekan tombol merah di layar ponselnya tanda mengakhiri panggilan. Ia menghela napas sebelum akhirnya melangkahkan kedua kakinya kearah sofa, tempat Mamanya terduduk dengan raut wajah lelah seperti kurang tidur.

Ryan mengambil tempat di sebelah wanita paruh baya yang sudah mengandungnya selama sembilan bulan itu. Wanita itu menoleh sebentar, menatap anak bungsunya yang sedang menyunggingkan senyum tipis. Ia membalas senyum itu, lalu kembali melirik seseorang yang sedang tertidur diatas brangkar dengan pakaian biru khas rumah sakit. Menelan ludah pahit, ia kembali menoleh kearah Ryan yang duduk tepat di sebelahnya.

"Tadi siapa yang nelepon, Yan?" Tanya Via, yang membuat Ryan lantas menoleh kearah Mamanya.

"Kak Nina." Via tersenyum sendu mendengar nama Nina yang tadi diucapkan Ryan.

"Dia bilang apa?"

"Masih nanyain Bang Ata," Ryan mengembuskan napas. "Kasian Kak Nina. Kenapa, sih, kita gak jujur aja? Kenapa harus ditutup - tutupin?"

"Mama juga maunya gitu. Tapi Ata?" Via geleng - geleng kepala pelan. Ryan kembali mengembuskan napasnya. Ia baru saja hendak bicara, namun urung karena mendengar gumaman dari seseorang. Anak dan ibu itu kontan menoleh keasal suara.

"Ma ..."

Via bangkit dari duduknya, lalu berjalan kearah Ata yang sedang membuka matanya yang redup, Ryan mengekor dari belakang.

"Kenapa, Sayang?" Ujar wanita itu lembut sambil mengusap rambut putra pertamanya dengan sayang.

"Kapan kita pulang?" Tanya Ata dengan suara parau.

"Tapi 'kan, kondisi kamu belum benar - benar pulih, Sayang."

Ata berdecak. "Ata udah sembuh, Ma. Ata udah baik - baik aja," ujarnya bersikukuh. "Ata pengen pulang. Pengen sekolah."

"Tunggu dua hari lagi, Ta. Biar kamu benar - benar pulih dulu."

"Ck, Ata udah gapapa."

"Tapi dokter belom ngizinin lo balik, Bang," kini Ryan yang buka suara. Gemas sendiri mendengar Ata yang keras kepala. "Papa juga masih ngomong sama dokternya."

Kini Ata diam. Bukan berarti ia menerima kalau ia harus berada disini selama dua hari lagi. Melainkan, ia hanya malas berdebat dengan Ryan saat ini. Belum lagi, ia merasa kerongkongannya terasa pahit saat bicara, dan dia malas minum air. Jadi, lebih baik ia diam.

Suara pintu yang terbuka kemudian terdengar dari arah belakang. Ketiga orang yang berada di ruangan itu secara refleks menoleh keasal suara dan menemukan dua orang lelaki yang nampaknya seumuran namun dibedakan dengan pakaian. Satunya memakai kemeja dan satunya lagi memakai jas putih. Mereka adalah Papa dan Dokter.

Papa Ata berjalan kearah istrinya, sedang sang Dokter mengambil tempat di sebelah tempat tidur Ata. Ata memutar bola mata bosan ketika Pak Dokter itu memakai stetoskop-nya lalu mulai memeriksa keadaan Ata. Setelah selesai, ia pun memberi sebuah senyuman tipis pada semua orang yang ada di ruangan itu.

"Kondisinya sudah mulai normal lagi," ujarnya penuh wibawa namun ramah. Sesaat kemudian, ia melirik kearah Ata yang memasang tampang datar. "Dan jangan coba - coba buat minum kopi atau apapun itu, yang membuat lambung kamu memburuk."

Ata lagi - lagi memutar bola mata. Tentu saja ia tidak akan melakukan hal itu lagi. Ia tentu tahu, sangat tahu malah, kalau kopi dan apapun itu lagi-Ata bahkan tak mau tau-akan memperburuk kondisi ginjalnya yang sudah mulai parah. Ia minum kopi malam itu karena terpaksa. Jadi, begini ceritanya.

Ata baru saja habis mengantar Nina ke rumahnya sehabis acara makan - makan mie buatan Ryan. Ia bahkan baru saja mendudukan bokongnya di bibir kasur saat ponselnya berbunyi, tanda ada pesan masuk. Sebuah chat Line dari Maura. Ata dengan malas membuka isi pesannya.

Maura Gita: Ta, lo udah bikin tugas B. Indo? Gue butuh itu secepatnya biar gue cepet juga revisi terus nyiapin buat presentasi.

Mata Ata kemudian melotot. Ia menepuk jidatnya dramatis. Astaga, dia benar - benar lupa kalau ada tugas kelompok Bahasa Indonesia, dan dua hari lagi, sudah harus dikumpul untuk dipresentasikan di depan kelas. Gue bahkan belom ngerjain sepatah kata pun!

Tanpa membalas chat Maura, Ata langsung melempar ponselnya kearah kasur. Ia buru - buru mendekati meja belajar dan membuka laptopnya.

Tugas itu sebenarnya tidak sulit. Namun karena ini adalah tugas Bahasa Indonesia, Ata harus menulisnya dengan benar, tanpa ada typo atau segala macam yang mengancam nilainya di rapor nanti. Tugas Maura memang merevisi. Tapi, Ata juga tak setega itu padanya. Karena, pada hari-H, Maura-lah yang akan berbicara untuk presentasi. Sedang Ata hanya akan bergulat dengan laptop. Kasian kalau Maura sudah lelah menghapal materi, harus disuruh merevisi pula.

Malam itu pula, Ata jadi ngantuk berat. Ia berkali - kali menguap lebar dan mengucek matanya, bahkan bolak - balik ke kamar mandi untuk membasuh muka.

Tugasnya sudah setengah siap, tapi ia amat sangat mengantuk. Jam sudah menunjukkan pukul dua pagi, saat itu. Tapi Ata masih harus terus menggerakkan jemarinya untuk mengetik dan membolak - balik lembaran buku.

Saking paniknya, Ata sampai lupa akan sesuatu.

Lelaki itu malah pergi ke dapur,

Berhenti di meja bar,

Lalu mulai membuat kopi dan meminumnya.

Jujur setelah itu, Ata merasa kantuknya berkurang. Namun tak lama, ia merasa kesakitan dan matanya berkunang - kunang.

Setelah itu, Ata tak mengingat apapun lagi, selain cahaya yang ada di sekitarnya mulai redup. Dan keesokan harinya, ia terbangun di ruangan yang ia kenal betul.

Kamar rumah sakit.

"Lo dengerin dokternya ngomong gak sih, Bang?" Ujar Ryan akhirnya, yang membuat Ata tersadar dari lamunan kejadian beberapa hari yang lalu.

"Kamu jangan galak - galak sama Abang kamu, Yan. Gak baik."

"Ha! Dengerin tuh, kata Papa," tukas Ata semangat. "Durhaka mulu, jadi adek."

"Jadi, kapan anak saya bisa pulang, Dok?" Kali ini, sang Mama yang bicara.

"Lihat kondisi dulu. Kalau Ata membaik, besok sudah boleh pulang. Tapi, kalau memburuk lagi. Yah, terpaksa harus disini dulu."

Orangtua beserta Ryan menganggukan kepala sesaat setelah dokter itu berujar. Ata sendiri tetap flat. Bahkan saat Pak Dokter itu permisi keluar. Entah kali ini apa yang bercokol di otak lelaki berambut tebal itu.











TBC

Gastaseno [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang