Bagian 10 : Jangan lagi

212 16 2
                                    

Mellta terbatuk untuk kesekian kali ketika paru-parunya sudah tidak kuat menahan bau racun yang memenuhi ruangan berukuran 3x3 ini. Ia memang The Senses of Smell, tapi kekuatannya juga punya batasan. Meski ia bisa menahan aroma racun, tapi ini sudah berlebihan. Sudah hampir seharian ia dikurung di ruangan beracun ini.

"To... tolong...," ucapnya lirih. Kepalanya sudah pusing sejak dua jam yang lalu, tenggorokannya kering, dan dadanya terasa sakit. "Kumohon lepaskan aku."

Tiba-tiba pintu terbuka. Seseorang bertubuh besar pun masuk. Ruangan yang semula dipenuhi kabut racun perlahan menghilang. Mellta menarik napas untuk menetralkan paru-parunya.

"Apa kamu merindukan teman-temanmu?"

Mellta terbatuk. Ia mengusap wajah pucatnya dan menatap lemah orang yang ada di depannya. "Tidak. Aku tidak merindukan mereka." Bohong. Mellta sebenarnya merindukan mereka, khawatir lebih tepatnya. Tapi ia tidak bisa mengorbankan mereka demi keselamatan dirinya. Jika memang harus ada yang mati, ia rela mati untuk mereka.

Orang di depannya tertawa kecil. "Benarkah? Sayang sekali, padahal aku membawakan salah satu di antara mereka untukmu." Setelah itu Mellta melihat Hemma didorong masuk ke dalam ruangan. Lelaki itu tersungkur, mengaduh pelan dengan wajah kesakitan.

"Hemma!" Mellta memekik seketika dan mendekat. "Hemma, kamu kenapa?" baju lelaki itu terlihat seperti bekas terbakar.

"Aku nggak papa," jawab Hemma pelan. sesekali ia terbatuk karena aroma racun masih samar tercium.

"Nggak papa gimana! Kamu keliatan kacau banget, Hemma!"

Hemma meraih lengan Mellta dan menatap mata gadis itu sekilas. Meski tidak bisa mendengar apa yang ada di kepala Hemma, tapi Mellta mengerti dengan tatapan itu agar ia tidak mengkhawatirkannya.

"Tunggulah, aku akan membawa sisa teman kalian kemari agar ritual bisa segera dimulai. Bos pasti sangat senang." Lalu orang itu pun keluar dari ruangan. Meninggalkan Mellta dan Hemma yang sangat terlihat tidak baik-baik saja.

Hemma merebahkan diri untuk membuat seluruh badannya yang sakit sedikit lebih relax. Sedangkan Mellta menggigit bibirnya yang bergetar. Ingin rasanya ia menangis, tapi ini bukan waktu yang tepat. Ia harus tegar dan meredam ketakutan yang ia rasa.

"Mereka baik-baik aja, Ta. Kamu nggak perlu khawatir. Ada Aga bersama mereka."

Mellta menatap Hemma dengan mata berkaca-kaca. "Aga baik-baik aja, kan, Hem?"

Hemma mengangguk meyakinkan. Banyak sekali pertanyaan dalam kepala gadis ini, dan hampir semuanya berisi kekhawatiran terhadap lelaki bernama Aga itu.

"Kamu harus percaya bahwa yang lain akan baik-baik saja, karena kalau kamu ragu, mereka pasti akan ikut goyah."

* * * * *

Aga berpegangan erat pada kucing yang tengah berlari laju menyusuri hutan lebat, begitu pula dengan Anka yang menunggangi cerpelai, sedangkan Tyo terbang di atas mereka sebagai penunjuk arah.

Mereka melaju ke arah sinyal Hemma berada. Tyo berhasil melacak keberadaan lelaki itu. Meski sesekali sinyal hilang, tapi titiknya tidak bergerak. Bisa dipastikan bahwa Hemma sudah berada di Dark House.

"Berhenti!" Aga berseru nyaring hingga membuat para hewan berhenti. Sudah seharian mereka berlari menuju Hemma, tapi titik itu terlalu jauh. Entah dengan cara apa merpati itu membawa Hemma dengan cepat, tapi yang pasti hanya mengandalkan kelincahan hewan masing-masing tidak akan mudah mengejar merpati itu.

Aga melompat turun, kucing itu langsung berbaring, tampak kelelahan. "Kita istirahat di sini."

Aga mengedarkan pandangannya. Tempatnya singgah kali ini bukan lagi berdekatan dengan sungai, tapi hutan sejauh mata memandang. Beruntung ada beberapa tanaman buah familiar yang mungkin bisa menjadi santapan mereka.

THE SENSESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang