Bagian 12 : Anogartun

195 20 1
                                        

Saat matahari berada tepat di atas kepala, saat itulah Tyo menghentikan lebahnya. Aga dan Anka mengikuti di belakang. Sudah empat jam mereka berlari tanpa henti, tapi danau yang kini terbentang luas di depan mereka ini memotong perjalanan. Tyo mungkin bisa saja melewati danau ini dengan mudah bersama lebahnya. Tapi bagaimana dengan Aga dan Anka yang menuggangi hewan tak bersayap?

"Kenapa kita nggak sampai-sampai, sih?" gerutu Anka yang baru saja turun dari cerpelai. "sejauh apa sebenarnya Dark House itu?!"

Aga ikut turun lalu menatap danau tak berujung itu saksama.

"Aneh."

Anka dan Aga menoleh bersamaan. "Kenapa?" tanya Aga kemudian pada Tyo yang menatap heran pada alat pelacaknya.

"Titik keberadaan Dark House menghilang waktu alat ini menghadap danau. Sedangkan waktu aku menghadapkannya ke arah berlawanan, titik itu justru berada jauh di seberang danau ini."

Aga mendekat dan meraih alat itu. Ia coba menghadapkan alat itu ke danau dan titik di sana langsung hilang. Namun ketika ia membelakangi danau itu, titik justru muncul jauh di belakang titik yang menunjukkan posisi mereka.

"Alat ini nggak rusak, kan?" tanya Anka yang kini juga ikut mencoba.

"Gimana bisa alat ini rusak tanpa sebab?" Tyo justru menanya balik.

"Kalau alat ini nggak rusak, cuma satu jawabannya," ucap Aga tiba-tiba setelah sebelumnya kembali menatap danau.

Anka dan Tyo menatap Aga tidak mengerti. Sedangkan lelaki itu justru menarik sudut bibirnya kecil. "Welcome to the Dark House."

Lalu tiba-tiba suara gemerisik semak belukar terdengar hingga membuat para hewan mengeram was-was. Kucing mengeram marah ketika gemerisik itu semakin nyaring. Dan ketika kucing loncat menerjang, pekikkan seseorang terdengar.

"Hey! Lepaskan aku, kucing nakal!"

Aga dan Tyo maju mendekat. "Siapa di sana?" seru Tyo. ia menyingkap semak itu dan mendapati sesuatu yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.

Aga menyuruh kucing untuk menjauh hingga membuat sesuatu itu semakin terlihat jelas.

Sesuatu itu bertubuh kecil, mungkin sepinggang orang dewasa, terlihat mirip orang utan tetapi memiliki wajah yang nyaris sempurna seperti manusia. Kaki, tangan, telinga dan matanya besar, berbulu tebal berwarna ungu tua. Sekilas terlihat mengerikan, tapi jika dilihat lebih jelas, mungkin lebih cocok disebut lucu.

"Aaa, kenapa dia lucu banget?" Anka berseru senang. Namun ketika ia hendak mendekat, sesuatu itu menggerung marah.

"Siapa yang kamu sebut lucu?!"

Anka berjingkat mundur, ia menarik ucapannya tadi yang menyebut sesuatu itu lucu.

"Siapa kamu?" Aga bertanya. Sebenarnya pertanyaan 'siapa' itu kurang tepat, seharusnya ia bertanya 'apa kamu'.

Sesuatu itu mengibaskan bulunya yang sedikit kotor akibat sergapan kucing tadi. "Seharusnya aku yang bertanya. Siapa kalian? Kenapa kalian bisa sampai ke danau terkutuk ini?"

"Terkutuk?"

"Ya!" seru sesuatu itu. "kalian tidak boleh melewati danau ini kalau tidak ingin si monster mengamuk."

Tyo menatap Anka seolah bertanya apakah si monster yang dimaksud sesuatu itu adalah sama dengan The King atau bukan. Namun yang ditatap hanya mengangkat bahu.

"Si monster?" kali ini Aga mewakili kebingungan dua temannya. "apa yang kamu maksud itu adalah The King?"

Diluar dugaan, sesuatu itu langsung pucat pasi. Ia termundur dan menatap Aga tidak percaya. "Ba, bagaimana kamu tau tentang The King? Padahal ... padahal sudah lama sejak terakhir kali aku mendengar nama itu."

THE SENSESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang