Bagian 11 : Maaf

205 18 0
                                    




"Jadi gimana bisa kamu tau kalau ada tanaman obat di sekitarmu?" Tyo bertanya sambil menyantap pisang kelima. Padahal pisang yang mereka dapat itu berukuran sangat besar. Aga saja baru memakan pisang keduanya. Dari beberapa makanan yang tadi dicari oleh Aga dan Tyo, hanya pisang besar itulah yang aman. Padahal makanan lain itu terlihat lebih menggoda ketimbang pisang. Beruntung mereka memiliki Anka yang bisa mengetahui mana makanan aman dan yang beracun.

"Entahlah, aku bisa merasakannya walaupun nggak kumakan." Anka sudah menyelesaikan makannya. Ia merebahkan diri di perut cerpelai. "bolehkah aku berjaga terakhiran? Karena ketika aku bangun nanti, aku akan mengolah tanaman obat itu agar berguna untuk kedepannya."

Padahal belum ada persetujuan dari Aga maupun Tyo, tapi gadis itu sudah meringkuk dan jatuh tidur dengan cepat.

"Dasar!"

Demi mendengar seruan Tyo yang terlihat kesal, Aga tersenyum kecil. ia lalu mengumpulkan sampah pisang dan membakarnya di api unggun. "Tidurlah. Biar aku yang berjaga pertama," ucapnya pada Tyo. Lelaki itu tersenyum cerah lantas memasukkan sisa pisangnya ke mulut.

"Theripmha khatsih, Agha!"

Aga melempar batu kecil melihat tingkah Tyo yang kekanakan. Lelaki itu mengambil posisi untuk tidur dan langsung tewas pada menit pertama. Tersisa Aga yang berjaga di tengah hutan yang lebat. Sunyi dan mencekam. Hanya suara bebakaran api unggun yang terdengar. Tidak ada waktu untuk takut. Aga sudah mencoba membuang rasa takutnya pada apapun, meski sesekali rasa takut itu masih datang tanpa permisi.

Lelaki itu melempar kayu bakar untuk membuat api tetap terjaga. Ia menatap api yang berkobar di depannya dengan pikiran melayang. Api sedikit membuatnya tenang. Di saat ia sudah merasa jauh lebih tenang, saat itulah sang api menunjukkan sosok Mellta dan Hemma.

Tangan Aga mengeras. Ia harus menemukan mereka berdua. Ia tidak akan membiarkan seorang pun menyakiti sahabatnya. Meski terlihat dingin dan acuh, sebenarnya Aga-lah yang paling peduli.

"Tunggu aku, Ta, Hem. Aku nggak akan biarin siapapun nyakitin kalian."

Menit dan jam berlalu tanpa diketahui. Aga yang berjaga pertama seharusnya sudah membangunkan Tyo sekarang untuk bergantian. Tapi lelaki itu sudah tewas sejak dua jam lalu. Bukan hanya Anka dan Tyo yang lelah, tapi Aga juga. Biar saja untuk malam ini mereka beristirahat total. Karena siapa yang tahu bahwa hari esok bisa saja menjadi hari yang mengejutkan.

* * * * *

[Flashback On]

Aga kecil menatap pembantu rumah tangganya yang sedang menyiapkan sarapan. Pemakaman orang tuanya berjalan lancar kemarin, begitu juga dengan orang tua gadis kecil bernama Mellta. Ini adalah hari pertamanya hidup sebatang kara.

"Bukankah sudah waktunya aku tau, Bi?" kata Aga pelan.

Dari apa yang tangannya tangkap sejak pertama kali ia menyadari kemampuannya, ia selalu merasa ada yang berbeda dari pembantunya itu. Pembantu itu adalah pengasuhnya sejak kecil. ia sudah merasa dekat dengan pembantunya itu.

Tapi ketika tangannya bersentuhan dengan pembantu itu di pemakaman kemarin, ia menangkap sesuatu yang lebih aneh. Ia merasakan bahwa ada sesuatu yang ditutupi pembantu itu.

Pembantu itu menegang. Terkejut mendengar ucapan Aga.

"Maksud kamu apa, Aga?" tanya pembantu itu berusaha menutupi rasa tegangnya. Tapi percuma, Aga tahu ia berpura-pura.

"Bibi tau maksudku apa. Sekarang Papa dan Mama sudah nggak ada. Bukankah sudah saatnya aku tau? Ini kan, yang bibi tunggu selama ini?"

Pembantu itu menghela napas dan menghampiri Aga yang duduk di meja makan. "Maafkan saya, Tuan Aga," kata pembantu itu tiba-tiba berbicara formal. "ini memang apa yang saya tunggu. Tapi saya tidak menyangka bahwa Tuan akan menyadarinya dengan usia Tuan yang baru 9 tahun . Bahkan keturunan terdahulu baru menyadarinya ketika berusia dua puluhan."

THE SENSESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang