2. 4. Separuh jiwaku pergi!

847 70 27
                                    

2. 4. Separuh jiwaku pergi!  

           

2. 4. Separuh jiwaku pergi!

Meninggalkan sesuatu itu memanglah sulit. Apalagi merelakan semua dengan cara paksa dan jadi terpaksa.

Langit sudah menghitam. Tugas matahari untuk meneragi bumi sudah selesai, sift selanjutnya untuk bertugas adalah bulan, tapi bulan belum kunjung menampakan dirinya.

Terdengar sayup-sayup suara burung hantu ketika memasuki wilayah yang didominasi oleh pepohonan tinggi dan rimbun. Kini rumah-rumah penduduk sudah tidak terlihat lagi. Jalanan gelap gulita, tak ada penerangan lagi dari lampu jalan. Jalanan pun sudah tak semulus tadi, membuat mobil terguncang cukup kencang. Medan yang dilalui cukup sulit untuk jenis mobil kota seperti ini, jalanan yang berlubang, tidak rata, menurun, menanjak dan berbelok secara bersamaan, belum lagi di luar sana itu sangatlah gelap.

Tak lama terlihat gapura yang dilengkapi portal yang menghalangi jalan. DESA CIALIT. Tulisan yang tertera pada gapura itu. Di kedua sisi gapura itu terdapat dua gubuk kecil yang terdapat beberapa orang di dalamnya. Papah memberhentikan mobil dan membuka kaca samping. Ada dua orang yang menghampiri mobil. Kedua orang itu terlihat seumuran Papah.

"Selamat malam Pak. Macet tidak?"sapa seseorang yang berpakaian marinir lengkap seperti seragam milik Papah.

"Macet. Rumah sudah rapi?" logat bahasa sunda Papah sangat kental.

"Sudah Pak! Ini kuncinya. Pokoknya siap dihuni!" jawab seseorang yang mengenakan pakaian sederhana yaitu kaos oblong dengan sarung yang menjuntai di pundak dilengkapi peci khas pak haji baru pulang dari Arab sambil memberikan kunci.

"Haturnuhun. "    (Terima kasih)

"Sama-sama Pak!"

Kemudian Papah kembali menginjak pedal gas secara perlahan setelah portal terbuka dan meninggalkan gapura.

Setengah jam sudah kami melewati bukit. Kini jalannya menurun, tak lagi gelap maupun sepi. Sisi kanan dan kiri sudah banyak rumah penduduk. Orang-orang juga banyak berlalu-slalang menggunakan sepeda motor.

Dan akhirnya Papah memarkirkan mobil pada halaman rumah yang cukup besar. Tidak sebesar rumah yang kutinggalakan di Jakarta. Rumah bergaya klasik dan etnik. Semacam rumah panggung dangan dinding rumah yang terbuat dari papan kayu. Papah langsung membuka pintu rumah. Mataku langsung melihat sekeliling isi rumah ini. Yang pertama kulihat adalah ruang tamu yang tak begitu luas dengan interior yang berbau dengan kayu gelondongan. Seperti kursi bentuknya seperti akar pohon dan ranting pohon yang besar dengan meja yang senada. Rumah ini hanya memiliki ruang tamu, dua kamar tidur, satu kamar mandi dan dapur.

Papah menunjuk satu kamar untukku. Cukup nyaman itu perasaanku ketika memasuki kamar ini. Aku langsung merebahkan tubuhku yang terasa kaku di kasur. Hahh... Akhirnya bisa berbaring juga. Rileks rasanya dengan udara yang cukup ringan untuk dihirup. Aku memejamkan mataku, merasakan punggungku yang terbaring lurus. Tunggu! Tunggu sebentar! Kasurnya keras. Tidak seperti milikku yang di Jakarta. Aku langsung melangkah menuju kamar Papah. Kulihat Papah sedang merapikan tumpukan buku di meja kerjanya.

"Pah! Masa kasurnya keras banget sih!? Terus udah gitu ..."

"Pakai saja yang ada. Di sini terpencil. Susah dapat barang yang bagus!" potong Papah tanpa membalikan tubuhnya.

"Terus kok di kamar aku ngak ada AC? Aku kan orangnya gampang gerah Pah!"

"Ini bukan kota Feyca! Udah sana!" sahut Papah dingin dan datar.

LISTEN TO ME!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang