15. 23. END

851 52 12
                                    


16. End.

Semangat hari begitu menghangatkan hati dengan kicauan merdu burung murai batu dalam sangkar yang tiada hentinya bernyanyi menemani cahaya. Langitpun begitu cerah, walau sang surya tak lagi menyidari bumi. Bulan begitu bercahaya dengan indahnya kelap kelip indah bintang menemami sang malam.

"Aduh bapak! Kenapa bisa sampe nangis sih!" Beberapa bulan ini, kata-kata itu sering terdengar, dengan tergesa-gesa wanita yang rambutnya diikat ekor kuda dengan asal itu menghampiri laki-laki berkacamata.

"Enggak diapa-apain kok, nangis sendiri." Jawabnya dengan panik sambil mengayun-ayun peri kecil yang menangis di pangkuannya.

"Uhhh sayang, sttt... sttt.. sttt..." wanita itu justru merebut bayi itu dengan perlahan dan berusaha menenangkannya, "uh, sayang haus iya? Iya haus? Mimi susu?" Celotehnya seakan bayi yang ada di gendongannya mengerti apa yang ia ucapkan. "Bapak, mending lanjutin masak gih sana gantiin aku." Perintahnya yang langsung dipatuhi tanpa paksaan.

***

Aku masih berdiri di lobby kantor tempat aku bekerja. Ya. Aku sudah bekerja sekarang, sejak Papah sakit, aku menggantikan Papah untuk mencari nafkah, dan Papah hanya ku suruh diam di rumah.

Sudah seperempat jam aku menunggu seseorang dengan gelisah, di langit yang jingga ini, aku terus melirik jam yang melingkar elok di tangan kiriku setiap semenit sekali.

"Tin!" sebuah mobil yang memasuki area lobby. Nah itu dia yang ku tunggu akhirnya datang juga.

"Hati-hati neng Feyca!" Ucap salah satu security yang dari tadi menemaniku saat menunggu jemputan.

"Temimakasih Mang Dadang!" Balasku sambil melambai ke arahnya kemudian aku membuka pintu mobil dan memasukinya.

Seseorang di balik kemudi itu melebarkan senyuman. Senyuman yang selalu aku sukai. Tanpa membuang waktu, kami langsung bersabar ria berkelana di padatnya jalanan Jakata.

"Gimana kerjanya?" Tanyanya dengan suara seadanya. Aku langsung mengalihkan pandanganku dari ponsel ke sesorang di samping kananku.

Aku tersenyum lepas. "Ya, gitu-gitu aja sih." Setelah mendapat jawabanku, laki-laki itu langsung mengangguk dan kembali terfokus pada bemper belakang mobil di hadapannya.

Tak lupa, musik remix yang dahulu aku sukai berdentum pelan. Ya itulah kebiasaanku. Aku sudah tidak pernah lagi untuk menjurus ke sana. Kini hidupku lebih berwarna, ketimbang warna-warninya lampu disko di gelapnya malam. Hidupku juga lebih hangat daripada segelas red wine yang biasa kuminum, hidupku juga lebih ramai daripada party-party, Yang lebih jelasnya lagi, hidupku, hari-hariku jauh lebih bahagia daripada malam-malam di club.

Itu semua benar-benar aku rasakan. Sebuah rotasi kehidupan, dan seduah transformasi diriku yang berjalan sangat baik. Ya, aku bukankah aku yang dulu. Feyca yang urak-urakan, yang susah diatur, keras kepala, yang terus mencari apa arti sebuah keluarga, dan aku sudah menemukan itu sekarang. Benar-benar keluarga yang ku impikan. Keluarga yang saling melindung, menjaga, menyanyahi, mencintai, mendengarkan dan lain-lain, semua itu menar-benar sudah kudapatkan.

Aku tambah gelisah saat cahaya mentari mulai meredup dan berganti dengan indahnya rembulan. Gelisah karena aku masih saja terpenjara di jalanan. Aku melirik laki-laki yang selalu ku sayangi, ia terlihat begitu tenang. Dari dulu ia tak pernah berubah, selalu menjadi sosoknya, karakternya. Padahal, ia sendiri yang bilang bahwa manusia itu setiap detiknya akan berubah, contohnya aku, tapi tak sedikitpun kulihat darinya yang berubah. Hmm, mungkin ada, seperti rambutnya sekarang yang terlihat gondong-ia sengaja memanjangkan rambutnya-dan ada kumis tipis yang kini menghiasi wajahnya.

LISTEN TO ME!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang