Seminggu setelah semua kejadian di Jakarta, kami semakin dekat. Layaknya sebuah keluarga utuh yang saling menaungi.
Andry tiada hentinya mengucapkan terima kasih kepadaku, katanya, mungkin jika ibunya tidak tinggal bersamaku entah kemana ia akan mencarinya. Andry sama sekali tidak menyalahkan ibunya, ia mengerti, semua ini alur cerita Tuhan untuknya.
Hari ini aku berangkat sekolah dengan hati penuh kegembiraan. Semalaman suntuk aku dan Andry berbincang menggunakan aplikasi chating. Andry bilang, hari ini aku harus masuk dengan gembira, sebab ia akan memberi sesuatu kepadaku sebagai ucapan terimakasihnya.
Tapi sejak tadi aku sudah menunggu hadiah yang akan diberikannya itu kepadaku. Selama di sekolahpun Andry sama sekali tidak mengusik perihal itu, apa Andry lupa? Atau aku yang terlalu berharap akan Andry?
"Mau kemana ini?" tanyaku di tengah-tengah perjalanan pulang sekolah, karena rute yang di lalui tidak seperti biasanya.
"Ndak tau nih si Andry" jawab Javen.
Kami semua mendekati bukit yang dipadati pohon pinus, kemudian Dito dan Javen memarkirkan motornya di dekat salah satu kebun sayur milik penduduk. Dito menutup mataku dengan dasi miliknya.
Wah, wah, wah. Ada yang tidak beres nih, tanganku di tuntun memasuki hutan pinus. Hatiku gusar.
"Et, gue mau diapain ini?" tanyaku penuh curiga.
"Mau diapain hayoo?" ucap Javen yang terus menuntunku layaknya nenek-nenek panti jompo.
"Eh, jangan macem-macem ya lu pada!" gertakku.
"Enggak..." sahut Dito, "Emang maneh teu percaya kitu sama kita?"
"Kagak! Kagak! Kagak! Gue gak pernah percaya sama yang namanya laki-laki!" sambarku lancar.
"Eum, untung eyke awewe!" canda Javen menirukan para waria. Yang langsung mendapat gelak tawa dari yang lainnya. Kecuali aku, aku terus mawas diri dengan para lelaki ini.
Kami berjalan menaiki bukit, suhu udara disini semakin terasa sejuk walaupun matahari sudah berada di puncak tahtanya.
Kemudian jalan kami berhenti, Andry menyuruhku untuk membuka ikatan dasi yang menutupi mataku. Mataku terasa sedikit sakit saat menyesuaikan terpaan sinar yang menusuk pupil mata.
"Tara!" ucap mereka kompak.
Halisku saling bernaut menatap tak percaya sesuatu di hadapanku.
"Buat kamu" bisik Andri dari belakang.
"Buat aku?" pertanyaan ku yang tak berbobot.
"Naik dong!" perintahnya sambil mendorongku menaiki tangga yang tertempel pada batang pohon pinus.
Aku menaikinya secara perlahan penuh kehati-hatian. Mataku langsung menjelajahi pemandangan dari atas rumah pohon ini. Rumah pohon yang aku idam-idamkan sejak kecil.
"Oh jadi ini hadiahnya?" tanyaku kepada Andri.
Andry mengangguk kuat.
"Terimakasih" ucapku beserta bahasa isyaratnya.
"Sama-sama" responnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
LISTEN TO ME!
RomanceDia itu emang ngak sempurna. Tapi, ketika aku melihat senyumannya, semua berbeda. Memang dia tak pandai berkata, tapi senyuman itu seolah berbicara siapa dia. Tangannya ikut berkata bahwa siapa dia yang sesungguhnya. "Dia itu emang tuli! Tapi hati...