9. Pengakuan.
Tugas. Tugas. Tugas. Semua murid tengah bergelut dengan si kampret itu demi mendapat nilai pas KKM. Sudah menjadi kewajiban pula kami sebagai pelajar mampu menyelesaikan tuntutan itu semua.
Well. Di siang ini, perpustakaan penuh dengan para student zombie yang haus akan materi untuk presentasi ataupun makalah. Terlebih lagi para siswa kelas duabelas yang sejatinya tinggal hitungan bulan lagi bersekolah. Belum lagi beban yang begitu berat harus kami pikul sendiri. Ya, ujian sudah di depan mata. Mulai ujian tengah semester, ujian semester, ujian sekolah, ujian praktek hingga ujian nasional basis komputer. Bahkan tak luput dari ujian hidup!
Bagi sebagian orang akan stres bahkan menjurus arah kata gila jika terus-terusan kepikiran hal itu. Tapi tidak bagi kawananku. Aku, Andry, Javen dan Dito menghapi itu semua dengan rileks. Santai, kayak di pantai-moto Javen bila sedang di hadapkan dengan deadline tugas.
Aku terus mondar-mandir mengikuti Andry kemanapun ia melangkah. Kami sedang sibuk mencari bahan presentasi untuk minggu depan. Andry terlihat begitu serius memilih buku untuk ia ambil ilmunya. Sedangkan Dito dan Javen sedang mengerjakan sesuatu di meja yang terlihat begitu serius dengan bebagai macam buku dan kertas di hadapannya.
"Dry, serius mau ngerangkum buku sebanyak itu?" Tanyaku karena tangan Andry penuh dengan buku.
Andry mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari buku.
"Perlu bantuan?" Tanyaku sekali lagi. Andry menggeleng kemudian berlalu menuju rak sebelah. Sudah pasti aku membuntutinya. "Oh iya Andry. Lo udah ngerjain tugas matematika bab sepuluh belum?"
Andry mengangguk dan tersenyum kepadaku, "Udah. Kamu udah?"
Aku pun melakukan hal yang sama, "Udah sih, tapi masih ada yang belum gue jawab, soalnya gak ngerti. Nanti liat ya."
Andry mengangguk dan kembali terfokus pada deretan buku yang tersusun rapi di rak.
"Kalo tugas sosiologi udah dikerjain belum?" Tanyaku lagi.
Andry mengangguk, "Yang di kertas selembar kan?"
"Iya. Udah dikumpulin?"
Kini Andry menggeleng, "Belum."
"Ngumpulinnya bareng ya?"
Ia mengangguk.
Kemudian hening. Aku terus memerhatikan wajahnya yang selalu enak dipandang. Sampai kapan aku memendam rasa ini? Rasa yang sejujurnya tidak dapat ku ungkapkan dengan untaian kata sekalipun. Rasa yang tumbuh begitu saja tanpa ada yang memintanya. Rasa yang lebih enak dari rasa manisnya hidup. Rasa akh, rasa yang membabi buta di dalam hati ini.
Akankah ku simpan semua ini seorang diri? Atau akan membaginya agar rasa ini terus tumbuh dengan siraman kasih? Atau membiarkan rasa ini mendekam di dalam hati?
"Oh iya Dry, power point bahasa Indonesia udah kamu kirim ke Pak Kemal belum? Soalnya tadi gue ketemu Pak Kemal, eh dia nagih tuh" tuturku berusaha untuk mendapat tatapan dari mata jernihnya.
"Udah kok." Jawabnya singkat.
Otakku terus berputar, mencari topik agar aku dan Andry bisa larut dalam perpincangan. "Lo gak mumet apa? Tugas mulu yang di hadepin."
Andry menggeleng sambil tersenyum.
"Dry?" Panggilku pelan.
"Ya?" Kini ia membalas tatapanku.
Uhhh, rasa di hati ini tidak mau diam. Aku langsung menggeleng, "Gak jadi." lalu menundukkan kepala. Ih, kenapa jadi gak jelas gini sih? Aduh. Aku benar-benar kewalahan dengan rasa yang terus berkecambuk tiada henti. Aku harus apa?
KAMU SEDANG MEMBACA
LISTEN TO ME!
RomansDia itu emang ngak sempurna. Tapi, ketika aku melihat senyumannya, semua berbeda. Memang dia tak pandai berkata, tapi senyuman itu seolah berbicara siapa dia. Tangannya ikut berkata bahwa siapa dia yang sesungguhnya. "Dia itu emang tuli! Tapi hati...