Sakit.
Sejak hari itu, hubungan aku dan Andry baik-baik saja, Andry lebih banyak menengur atau berinteraksi terlebih dulu. Perlakuannyapun sangan manis dari hari ke hari. Senang? So pasti, tapi di sisi lain, di hati ini, terbersit rasa lain. Rasa sejak sebulan lalu, sejak permbincangan antara aku dan Papah yang membuatku kembali terjerumus ke dalam dunia yang kelam itu.
Kini di rumah hanya ada aku dan Papah, Andry pulang kampung, katanya ingin segera menyelesaikan masalah ini, tapinyatanya sampai saat ini tidak kunjung membuahkan hasil, bahkan perjuangannyapun aku tak tahu seperti apa. Dito dan Javen sedang pergi sejak jam sepuluh pagi tadi.
Aku terus mondar-mandir di kamar dan lenyap dalam pemikiranku. Ya, aku akan bilang ke Papah hari ini. Sekarang juga. Perihal perbincangan kala itu, sebab waktu semakin menipis. Aku menuruni anak tangga dan menemui Papah di ruang tengah.
"Pah?" Panggilku pelan dan sebisa mungkin aku bersikap biasa saja.
Papah melihatku kemudian menebar senyumnya, "Sini duduk." Pintanya sambil menunjuk kursi kosong di sampingnya.
Aku menurutinya, "Pah, hm..."
"Oh iya Fey, kamu sudah tahu kan? Rencananya habis lebaran."
"Tahu Pah, tapi..." dadaku mulai gelisah, bingung bagaimana harus menyampaikannya, "ta-tapi, sebenernya aku gak setuju Pah!"
Kini Papah menatapku dan melipat korannya, "Kenapa? Kalau Papah tidak menikah lagi, bagaimana kamu di sini ketika Papah tugas di Kalimantan nanti?"
"Bukan begitu Pah! Lagi pula, aku ini udah gede, udah dewasa, umurku bahkan udah dua puluh tahun pah!" Jelasku belum semua.
"Lalu?"
"Bahkan, di rumah ini kan ada Javen dan Dito yang udah aku anggap saudara aku sendiri!"
"Papah takut kamu seperti dulu lagi, kesepian dan segala macam. Kamu ngelarang Papah mencari pengganti Mamah kamu?"
"Aku gak ngelarang Papah buat nikah lagi!" Dadaku mulai sesak, "Terserah Papah! Mau nikah sama pun! Asal jangan sama..." aku tak sanggup melanjutkannya.
"Umi?" Papah melanjutkan. "Kenapa? Papah pikir ini yang terbaik buat kamu, Umi sudah mengurus kamu dari kecil, kamu juga sudah dekat dengan Andry, iya kan?"
Dadaku perih, sakit seperti ditusuk bilah belati nan runcing serta panas dengan sesak yang semakin menghantam diriku. "Tapi udah gak perlu dijagain lagi Papah!" lirihku.
"Ya, Papah tahu kamu sudah besar..."
"Pokonya aku gak setuju Pah!"
"Ya, kenapa?"
"Aku cinta sama Andry." Ucapku pelan sambil menunduk.
"Sejak kapan?" Tanya Papah lagi.
"Sejak sekolah Pah, kita udah pacaran."
"Kenapa kamu gak..."
"Papah selalu sibuk! Aku pikir sejak hari itu Papah bakalan berubah, iya sih berubah tapi cuma sehari-dua hari, nyatanya saat pindah ke Jakarta, Papah balik lagi kayak dulu!"
"Tapi kenapa Andry? Kenapa gak laki-laki lain? Andry kan..."
"Iya! Andry yang aku pilih! Kenapa? Karena Andry yang udah ngerubah aku, nuntun aku jadi yang lebih baik lagi!"
"Gak! Gak! Gak mungkin." Papah tak percaya.
"Apanya yang gak mungkin Pah?"
Papah menggeleng dan hanya terdiam.

KAMU SEDANG MEMBACA
LISTEN TO ME!
RomanceDia itu emang ngak sempurna. Tapi, ketika aku melihat senyumannya, semua berbeda. Memang dia tak pandai berkata, tapi senyuman itu seolah berbicara siapa dia. Tangannya ikut berkata bahwa siapa dia yang sesungguhnya. "Dia itu emang tuli! Tapi hati...