Empat Belas

14 3 0
                                    

Seminggu setelah dia pergi, aku menatap barang barang kenangan kami berdua, aku penuh duka karena ditinggalkan orang yang paling berharga.
Penyemangat dan cahaya kebahagiaan, tega benar dia berbuat itu padaku.
Apa salahku pada dia? Kenapa memberitahuku saja dia tak sempat?
Nomor teleponnya pun ganti, semua akun media sosialnya tidak dapat aku temukan. Facebook, twitter, lenyap seketika.
Dia apa memang sudah gila? Dia apa memang mau menghindar dari aku?
Tolong balaslah dia Tuhan atas segala perlakuan tidak adil ini, balas dengan rasaku yang sama, aku hanya ingin itu. Sudah aku hanya ingin itu saja.

"Anya? Kamu mau pulang? Aku tahu hatimu sekarang, ayo pulang saja, kamu bisa gunakan bahuku untuk bersandar sepuas kamu Nya"

Sebelum aku sempat menjawab, sosok brengsek itu sudah hadir dihadapan kami berdua.
Aku tidak bisa lagi menahan air mata ini, tidak, mataku mau lepas rasanya, ini bukan banjir lagi namanya tapi tsunami air mata!!

"Anya? Bisa kita bicara?"

Gila.

"Nya? Aku mau menjelaskan"

Edan.

"Nya? Tolong lihat aku Nya, aku shock kamu juga sekolah disini"

Basi.

"Nya.." suaranya parau.

Tapi tidak, aku tak akan runtuh aku akan tetap diam saja, selama Kiara disampingku dia tak akan macam macam.

"Kumara, tolong pergi dari sini, kehadiranmu membuat kita berdua kaget, saking lamanya kamu menghilang, disini bukan saat yang tepat menjelaskan masalah, aku rasa Anya masih muak denganmu", Kiara membantu mewakiliku bicara.

Sampai dipanti setelah izin ke guru piket dengan alasan tidak enak badan yang sebenarnya tidak enak hati akhirnya aku bisa sedikit bernapas, tampak ibu Delisa dan ibu Savitri berlarian menghampiriku dan anak anak lain mengkhawatirkan aku, tetapi aku hanya ingin bicara dengan ibu Delisa saja.

"Kamu kenapa sayang?"

"Kumara,Bu."

"Ada apa dengan dia?"

"Dia pindah sekolah ditempatku Bu, rasanya sakit melihat dia lagi, aku harus bagaimana?"

"Ah kamu sudah melihat dia rupanya, maafkan ibu merahasiakan ini dari kamu, sebenarnya beberapa hari yang lalu ibu melihat dia berjalan jalan didekat taman yang biasa kalian gunakan bermain, awalnya ibu tidak yakin, tapi setelah melihat lebih dekat ternyata dia disini sayang, Kumara kembali"

Ibu Delisa menceritakan dengan detail kepadaku, pada awalnya beliau melewati taman tersebut karena urusan beliau di toko roti dekat taman sudah selesai. Baru beberapa meter berjalan, beliau melihat sesosok laki laki familiar yang sangat sangat ibu Delisa rindukan. Tetapi karena ibu Delisa tidak yakin dengan pemandangan itu, beliau pun berjalan lebih dekat dan mengamati wajahnya. Dan benar, dia adalah Kumara, tanpa ada perubahan apapun di wajahnya, kecuali tambah tampan. Ya, Kumara memang selalu tampan, dan akan tetap begitu seterusnya. Ibu Delisa yang masih bertanya-tanya akhirnya memutuskan langsung pulang tanpa menyapa dia, karena ibu Delisa rasa saat itu bukan waktu yang tepat, karena Kumara saat itu terlihat gontai dan gamang.

Setelah beliau bercerita, aku mengungkapkan semuanya.

"Aku benci dia bu, kenapa dia jahat sekali denganku? Mencampakkanku yang katanya dia tidak akan berpisah dariku?"

"Sayang, kamu hanya perlu waktu, kamu adalah anak baik, toh seberapa jauh pun dia pergi, sekarang dia kembali kan?, Ibu rindu sekali dengan senyuman manis dia dan sikap baiknya, ibu berharap kalian bisa cepat membaik, tanpa ada kata menyakiti satu sama lain"

Ponselku berdering, ada telfon dari Wira aku mengangkatnya meskipun agak sedikit parau

"I...iya wira. Ada apa?"

"Anya aku dengar tadi waktu kamu di sekolah tiba tiba pulang karena sakit, kamu sakit apa?"

"Gapapa"

"Lekas sembuh, oh iya, Randi sekelas dengan kamu Nya, Randi sahabatku, kamu pasti sudah mengenal dia kan? Kumara Andika Wijaya, Randi?"

Remuk sudah.....

Aku sengaja izin beberapa hari karena hati dan otakku tidak bisa sinkron, hari kemarin dia tak datang, si brengsek itu tidak datang, tapi lain dengan hari ini, dia tampak membawa berbagai macam buket bunga dan boneka teddy bear, cih! Dipikir ini sinetron begitu? Dirayu rayu pakai benda benda konyol langsung luluh?. Aku tahu aku masih suka sesuatu yang berbau anak anak, tapi untuk yang satu ini, tolong sudahi saja.

Aku menatapnya penuh benci, dia itu manusia macam apa bisa bisanya menghilang lalu muncul lalu bilang tidak tahu bahwa aku satu sekolah dengan dia, ini hidup asli woy bukan film! Bilang saja dia stalking kehidupanku selama ini lewat mata mata yang dia kirim kesekolahku, biar semakin greget dan drama!

Kesal sekali aku dengan dia, aku harus bersikap sedingin mungkin, bagaimana bisa Wira bersahabat dengannya? Apa takdir sedang mempermainkanku? Belum lama aku berencana untuk membuka hatiku buat Wira, tapi kenapa dia muncul?
Aku lega awalnya ternyata dia kembali, tapi kenapa harus kembali seperti ini? Sebagai sahabat Wira? Wira adalah orang yang membuatku hampir saja melupakan kamu, bodoh.

Aku tidak tahu apa jadinya kalau Wira mengetahui masalalu kita, Kumara. Apa reaksi dia? Apakah dia akan marah padaku? Menjauhiku? Tidak mau lagi bertemu denganku? Yang ada dipikiranku saat ini adalah Wira, dan Kumara. Bagaimana bisa ini Tuhan?

Kumara masih memikat seperti dulu, masih gagah seperti sedia kala, tapi aku pun melihat kesedihan dimatanya, air mataku terus mengalir deras, dia tidak tahu seberapa besar aku merindukannya? He was such a jerk! 3 tahun lebih bukan waktu yang singkat! Aku menunggunya tanpa kepastian dan hampir saja menutup hatiku buat semua orang terutama Wira, disaat aku mulai MENCOBA membuka hati kembali dan mulai RUNTUH karena Wira, tapi kenapa kamu kembali seperti ini Kumara? Aku hampir gila. Bahkan aku tidak tahu apakah aku bisa konsisten membuka hatiku atau tidak, aku jadi seperti perempuan ababil karena jantung ku masih berdegup kencang melihat Kumara, rasa yang lebih dari apapun rasaku ke Wira.

Bagaimana jika aku tidak dapat mempertahankan kegigihanku untuk move on? Ah tidak, aku akan berusaha menghilangkan rasaku buat Kumara. Meskipun aku tahu akan semakin sulit dari sebelumnya karena dia ada sangat dekat denganku, sekelas denganku, dan duduk dibelakang bangkuku, aku diberi tahu informasi ini dari Diana, ah ya aku juga merasa bersalah dengan Diana, dengan enaknya cowo kecengannya sekarang mengejar ngejarku meminta maaf dan membawakanku barang barang yang sudah pasti Diana akan menyukainya.

Aku baru ingat ya Tuhan, Diana, teman baikku yang menyukai si Kumara, ah entah takdir apa ini. Aku harus bagaimana?

Bagaimana jika Diana tahu yang sebenarnya? Apakah selamanya aku akan menyembunyikan kisahku dengan Kumara? Wira juga bagaimana? Takdir seolah mengajakku bermain. Kulihat Kumara tepat di matanya, matanya berkaca kaca, tetapi dia masih diam di tempatnya, tidak beranjak masuk menemuiku di teras panti asuhan, dia masih termangu, menatapku penuh kesedihan.

Tapi sedetik kemudian, dia berani melangkah, menghampiri aku, dan memelukku sangat erat.

"Maaf sudah meninggalkanmu sendiri bertahun-tahun"

Hening, air mataku terus mengalir.

"Aku rindu Anya, sungguh aku rindu"

If This Was A MovieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang