11[Cinta Dalam Diam]

3.7K 134 0
                                    

~Selamat Membaca~

Ketika telinga tak mau lagi mendengar kejujuran
Ketika kejujuran hanyalah seperti angin lalu
Yang masuk ke telinga kanan dan keluar langsung ke telingan kiri
Namun kejujuran tetap kejujuran
Bahkan tanganpun tak mampu menutup telinga saat kejujuran diperdengarkan

“Bi, Bayu kemana kok saya dari tadi gak liat?” Tanya Bu Ika saat berjalan menuju dapur.

“Den Bayu sudah pergi sejak tadi pagi, Nyonya.”

“Pergi? Ya sudah, bawa yang ini ke meja makan ya, Bi!” Ucap Bi Ika sambil menyodorkan sepiring lauk sarapan.

“Baik Nyonya.”
Hari ini mungkin terasa sedikit berat bagi keluarga Pak Dimas setelah perbincangan semalam, hawa aneh mulai menyelimuti rumah Pak Dimas.

“Bayu dimana, Ma?” Tanya Pak Dimas saat keluarga kecil itu berkumpul di meja makan.

“Kata Bibi, Bayu sudah pergi sejak tadi pagi.”

“Ini pasti karena Reza. Kehidupan Bayu sudah tenang, tapi kini semua berubah saat aku datang.” Reza mulai tertunduk lesu.

“Bayu memang begitu, kamu ini seperti belum tahu sifat adikmu” Ucap Bu Ika berusaha menghibur Reza, “Sini berikan piringmu!”

“Mamamu benar Za, nanti kalau Bayu lapar pasti dia pulang.” Tambah Pak Dimas.

“Ia kayak Papamu, kalau laper pulang, kalau kenyang tidur.”

Tawa Bu Ika pecah kembali karena berhasil mengembalikan lelucon suaminya. Sedangkan Reza hanya tersenyum simpul, pandangannya masih kosong memikirkan Bayu.

Reza menyuapkan sesendok nasi goreng ke mulutnya, “Mama jadi mau ikut ke Rumah Sakit?”

“Kenapa? Kamu gak percaya kalau Mama mau jenguk Rury?”

“Jelas saja Reza gak percaya, orang Papa juga gak percaya. Wanita sesibuk Mama mau meluangkan waktunya untuk menjenguk Rury.” Ejek Pak Dimas pada istrinya.

Bu Ika terlihat sebal dengan ucapan Pak Dimas, “Oh jadi Papa mau balas dendam, Papa ngejek Mama karna tadi Mama bisa ngejek Papa ya kan?”

“Bukan Reza gak percaya sama Mama, Reza hanya,”

Bu Ika tidak membiarkan Reza menyelesaikan kalimatnya, “Mama tahu, Reza putra Mama dan putra Mama gak baik. Gak kaya Papanya.”

Pak Dimas menjulurkan lidah ke arah Bu Ika.

Ya, kelakuan keduanya masih seperti sepasang remaja yang sedang perpacaran.

Selepas sarapan, Bu Ika menyiapkan 2 kotak sarapan untuk dibawa ke Rumah Sakit.

Reza sudah memberitahu Bu Ika mengenai Ibu kandungnya yang kini tengah menemani Bu Rani di Rumah Sakit.

“Ruangnya dimana, Pa? Masih jauh?”

Pak Dimas sedang sibuk memandangi layar ponselnya mencari jawaban atas pertanyaan Reza, “Tadi kata Dokter Candra, Rury dipindah keruang Dahlia nomor 5.”

“Yang ini.” Dengan yakinnya Pak Dimas masuk ke ruangan yang ia anggap sebagai ruang perawatan Rury.

“Rury.”

“Tante Ika,” Rury berusaha bangkit dari posisi duduknya.

“Sudah-sudah. Jangan dipaksakan kalau belum kuat.” Bu Ika memegangi lengan kanan Rury, “Sepertinya anakmu semakin kurus saja, Ran.”
Bu Rani hanya tersenyum membalas candaan Bu Ika.

“Dan ini,” Tiba-tiba mata Bu Ika mengarah pada seorang wanita yang duduk disamping Bu Rani.

“Itu Bu Titi, Ma. Ibu kandung Reza.” Jawaban Reza sepertinya tidak berpengaruh banyak, bahkan tidak membuat Rury terkejut.

Sebelum Reza menjelaskan situasi yang sebenarnya pada Bayu semalam, Pak Dimas sudah mengatakan kebenaran yang ada kepada Rury. Itu sebabnya Rury memanggil Reza sebagai orang pertama yang menemuinya di ruang ICU.

Meski tidak ada yang terkejut dengan pernyataan Reza, tetap saja semuannya diam hingga akhirnya Pak Dimas berdeham, “Bagaimana keadaanmu, Ri?”

“Lebih baik dari sebelumnya kok, Dok.” Lesung dikedua pipi Rury terlihat manis ketika ia tersenyum.

Pak Dimas ikut tersenyum, “Ini baru Rury yang saya kenal.”

*****

Nampaknya Bayu tidak bisa ikut merasakan kecerian yang kini mulai hadir di Rumah Sakit. Ia pergi pagi-pagi sekali untuk menghindar dari semua kenyataan yang ada, meski Bayu sadar kalau ia tidak akan pernah bisa lari.

“Bay, minum dulu!”

Bayu mengambil secangkir kopi yang telah tersaji diatas meja ruang tamu.

“Bagaimana Bay, enak tidak?”

Bayu tidak bisa menjawab karena meski raganya ada disana namun fikirannya melayang pergi entah kemana.

“Bay?” Bayu terkejut saat ia merasakan ada yang menepuk bahu kanannya, “Lo kenapa sih Bay? Dari tadi bengong aja.”

“Enggak, gue gak papa.” Jawab Bayu sekenanya.

Bayu mengambil jaket yang berada disamping kursinya.

“Lo mau kemana, Bay? Buru-buru banget sih.”

Bayu mengenakan jaket hitam kesayangannya, “Sorry Lin, tapi gue harus pergi.”

“Loh Nak Bayu mau kemana? Bukannya baru sampai?”

“Maaf Om Rudi, tapi saya benar-benar harus pergi, saya permisi.”

Secepat angin Bayu memacu motor miliknya menuju Rumah Sakit. Ia harus menenangkan fikirannya dengan mencari jawaban atas semua pertanyaan yang muncul, dan ia tahu kepada siapa ia harus  pergi sekarang.

“Bayu mau kemana, Lin?”

“Lina juga gak tahu Pa, sepertinya dia sedang khawatir.”

“Nampaknya kau sudah mulai bisa memahami dia, Lin.” Ucap lelaki itu yang kemudian berjalan masuk kedalam rumah.

Lina menyadari bahwa Papanya beranjak pergi dari ruang tamu, “Papa mau kemana?”

“Mau cari tau kemana Bayu pergi. Jangan panggil Papa dengan nama Zamrudin kalau Papa gak bisa cari tahu kemana Bayu pergi dan apa yang membuat sikapnya berubah aneh.”

Lelaki itu Pak Rudi, Pak Zamrudin. Atau bisa disebut Pak Zam, Papa kandung Reza dan Lina. Ia berlalu meninggalkan Lina.

“Ya, kenapa gue bisa lupa. Hanya perlu sekal pencet maka Papa bisa tahu semuanya, SEMUANYA.” Batin Lina

Cinta Dalam Diam [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang